MK HAPUS AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN, ‘SEMUA PARPOL BERHAK MENGAJUKAN CALON’ – APA ALASANNYA?

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo.

Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kejutan di awal tahun 2025 dengan menghapus ketentuan ambang batas (presidential threshold) pencalonan presiden dan wakil presiden. Menurut MK aturan ini inkonstitusional karena bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat seperti dijamin di UUD 1945.

Putusan ini disampaikan MK pada Kamis (02/01) setelah mengadili empat perkara terkait uji materi pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang pemilihan umum.

Pada intinya, pasal itu mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung partai atau gabungan partai yang memiliki paling sedikit 20% jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.

Uji materi telah dilakukan berulang kali untuk pasal ini. Sebelum mengadili empat perkara terakhir, MK telah menangani 32 perkara serupa. Hasilnya, 24 perkara tidak dapat diterima, enam ditolak, dan dua ditarik kembali.

Namun, untuk empat perkara terakhir, MK “menggeser pendiriannya”.

Mengapa MK berubah pendirian?

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra pada Kamis (2/1), mengutip situs web MK.

“Yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold, berapa pun besaran atau angka persentasenya, adalah bertentangan dengan pasal 6A, ayat 2, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”

Dalam pertimbangan hukumnya, MK mencermati bahwa pemilu presiden selama ini didominasi calon-calon yang diusung partai politik tertentu.

Hal ini disebut membatasi hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan pilihan alternatif yang memadai.

Selain itu, aturan presidential threshold yang ada dinilai cenderung hanya menghasilkan dua pasangan calon di tiap pemilu presiden, yang bisa membuat masyarakat dengan mudahnya terjebak dalam polarisasi.

Jika aturan itu dibiarkan, MK khawatir ujung-ujungnya hanya akan ada satu pasangan calon di pemilu presiden. Apalagi, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong di pemilihan kepala daerah tampak kian marak dari waktu ke waktu.

Di sisi lain, MK pun menilai jumlah calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak berpotensi merusak hakikat pelaksanaan pemilu langsung oleh rakyat.

Karena itu, MK memberi pedoman bagi pembentuk UU untuk melakukan “rekayasa konstitusional” atau revisi UU untuk menghindari munculnya jumlah calon terlalu banyak saat pemilu presiden.

Apa saja pedoman dari MK?

Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Besan Jokowi mengajukan dissenting opinion

Dalam putusan ini, terdapat dua hakim yang mengajukan beda pendapat (dissenting opinion). Mereka adalah Hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Anwar Usman (besan dari mantan presiden Jokowi)

Dalam sidang, penjelasan tentang beda pendapat ini tidak dibacakan rinci oleh Ketua MK, Suhartoyo.

Tapi kata dia, intinya, “Dua hakim berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan”.

Pakar: Kemenangan bersama

Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini menyambut hangat putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya.

Melalui akun X, ia mengatakan “Putusan ini kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

“Tidak ada yang dirugikan. Semua partai politik peserta pemilu mendapat manfaat akses pada pencalonan presiden yang setara,” katanya.

Dengan keputusan ini, kata dia, masyarakat juga mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif.

“Anak-anak Indonesia jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka untuk direalisasikan saat ini melalui Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024,” kata Titi.

Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia sekaligus pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Ia juga menyerukan agar pemerintah, DPR dan semua partai politik menghormati putusan ini.

“Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersbut. Ini Putusan yang sangat baik dan membuat masa depan demokrasi Indonesia lebih adil, setara, dan inklusif,” katanya.

Ia berharap, sejak diketok putusan ini partai politik dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya sebagai calon-calon potensial untuk Pilpres 2029.

“Namun, terlebih dahulu partai harus memastikan partai politik mereka bisa lolos menjadi perserta pemilu pada Pemilu 2029 mendatang,” kata Titi.

Sementara itu, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal “menyukuri” putusan MK. Pada pemilu 2024, Partai Buruh tidak masuk parlemen.

“Dengan keputusan ini, demokrasi yang sehat telah dihidupkan kembali. Kini, seorang buruh pabrik memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden di Pilpres 2029,” katanya.

Segera dibahas Komisi II DPR

Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf menghormati putusan MK. Ia mengatakan, “Kalau saya pribadi menyambut positif”.

Ia melihat sisi positif dari putusan MK ini. Pertama, ambang batas yang ditentukan oleh angka menyebabkan masyarakat “dipaksakan” hanya memilih sedikit calon. Padahal, banyak calon lain tapi mungkin tidak mendapat kendaraan politik.

“Jadi positifnya bahwa setiap warga negara bisa dicalonkan oleh partai atau koalisi partai tanpa melihat persentase,” kata Dede melalui sambungan telepon.

Kedua, putusan MK dapat menghindari Pilpres putara kedua. “Ini tujuannya juga saya lihat positif, sehingga nanti tidak membebankan biaya negara juga,” katanya.

Berikutnya, parpol gurem dapat ikut berpartisipasi dalam mencalonkan jagoannya.

“Jadi tidak harus lagi mengikuti partai-partai besar. Dan ini juga memberikan ruang bagi rakyat tentunya untuk memiliki pilihan-pilihannya sendiri. Jadi tidak hanya semata-mata disodorkan oleh partai-partai besar,” lanjut Dede.

Politikus dari Demokrat akan membahas lebih lanjut putusan MK di internal partai, termasuk segera dibahas dalam rapat Komisi II yang membidangi pemilu.

Namun, waktunya belum ditentukan. “Karena kita belum masuk masa sidang… Ya pasti dibahas lah,” katanya.

Artikel ini akan terus diperbarui…
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.