Elis Agustina Yotha dibunuh suaminya dengan sadis.
Kasus femisida di Jayapura disebut sebagai fenomena puncak gunung es atas kekerasan terhadap perempuan di Papua.
Kasus dugaan kekerasan terkejam terhadap perempuan atau femisida kembali berulang, kali ini terjadi di Kabupaten Jayapura, Papua.
Seorang istri dibakar suami yang berstatus anggota TNI di depan anak mereka yang masih berusia empat tahun.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat peristiwa ini sebagai kasus femisida kelima dalam satu tahun terakhir di Papua.
Namun, jumlahnya diperkirakan lebih banyak dari itu karena masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap diselesaikan secara adat yang patriarki.
Seorang pendeta di Papua menyerukan agar perempuan korban KDRT mengambil pilihan bercerai dengan suami jika berisiko pada kematian. Meskipun ia menyadari perceraian dilarang katolik maupun protestan.
Elis Agustina Yotha semasa hidupnya dikenal sebagai perempuan yang baik dan rajin beribadah.
Keluarga Elis Agustina Yotha menggelar ibadah penghiburan setelah tiga hari pemakaman ibu dua anak ini, Rabu malam (18/12). Hampir seluruh wajah yang hadir masih berkabut duka, meski ibadah bertujuan menyemangati hati yang lara.
“Ada waktu untuk kita lahir. Ada waktu untuk kita berdiri. Ada waktu untuk kita tertawa. Ada waktu untuk kita menangis dan segala hal,” kata Pendeta Sisca Yotha, perwakilan keluarga yang berbicara di depan podium.
Elis Agustina Yotha diketahui meninggal Senin pagi (16/12) setelah sempat bertahan 15 hari di rumah sakit. Dua pekan sebelumnya, Serka MM menyiram Elis dengan minyak tanah, dan menyulutnya dengan korek api. 90% tubuhnya mengalami luka bakar.
Bagaimana hal kecil memicu kematian Elis?
BBC News Indonesia menerima tangkapan layar dugaan percakapan terakhir Elis dengan suaminya, Serka MM melalui pesan whatsapp dari pihak keluarga Elis.
Percakapan yang didapat sekitar pukul 19:59 WIT, Minggu (01/12). Serka MM mengirim pesan gambar yang menunjukkan baterai ponselnya sudah 9%. Percakapan ini seputar Serka MM mencari pengisi baterai.
Bahasa yang tertulis dalam percapakannya telah diseusaikan:
“Kamu main dengan saya terus, sudah banyak sekali kamu coba-coba saya,” kata Serka MM diikuti dengan emoji wajah marah. “Datang, saya pukul kamu, sumpah,” lanjutnya lagi.
“Saya tadi cabut taruh meja,” kata Elis membalas.
Tangkapan layar dugaan percakapan WA Elis dengan suaminya
Tak percaya, Serka MM kemudian bertanya lagi, “Terus mana”.
Ia mengirim foto sebuah palu dengan gagang kuning. “Main-main terus dengan saya,” katanya.
“Saya sudah bilang, ponsel ini mati, saya datang kamu tunggu saja… Kamu kalau berusaha datang sekarang carikan (pengisi baterai), semua aman. Kalau mau coba-coba lagi terserah kamu,” kata Serka MM diikuti dengan emoji wajah marah.
Serka MM kemudian melakukan empat panggilan tak terjawab diikuti dengan kalimat, “Kamu main terus.”
Di kediaman orang tuanya, Elis dengan wajah cemas menemukan kepala pengisi baterai di dalam tasnya. “Elis ini tidak tahu. Mungkin kedua anaknya ini yang ambil,” kata Barbalina Felle, ibu dari Elis Agustina Yotha.
Dugaan percakapan Elis dengan suaminya melalui WA, yang salah satunya menunjukkan martil. Keluarga menilai ini sebagai ancaman.
Lalu, Elis dengan suara bergetar mengajak Barbalina ikut serta ke rumahnya. “Dia sudah SMS saya. Marah-marah. Saya takut,” kata Elis seperti ditirukan Barbalina.
Tapi saat itu, Barbalina sudah bersiap untuk berjualan pinang.
“Mama pikir hanya masalah kepala cas HP saja, tidak mungkin dia pukul kau pakai martil begitu,” kata Barbalina.
Elis meminjam sepeda motor kakaknya, sambil mengajak anak pertamanya yang berusia empat tahun.
Starter ditekan, gas dipacu. Mereka pulang ke rumah di Komplek Perumahan Lanud Silas Papare yang berjarak sekitar 2,5 kilometer.
Tak sampai satu jam, berita duka menusuk telinga. Hal yang tidak pernah dibayangkan Barbalina pun terjadi. Elis dikabarkan dibakar suaminya, Serka MM.
Anak pertama Elis bersaksi pada neneknya: “Bapak tutup mama pakai selimut. Bapak pukul mama dari kepala. Bakar mama. Bapak kutik korek api”.
Menurut pihak keluarga, Elis disiram minyak tanah sebelum api menjalar di tubuhnya melalui sulutan macis. Saat itu, anak pertamanya, berlari keluar rumah mencari pertolongan. Elis dengan tubuh terbakar sempat terguling-guling di pinggir rumah.
“Sudah terbakar dari kepala sampai ujung betis di bawah ini,” kata Barbalina. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 21:00 WIT.
Para tetangga yang melihat peristiwa, langsung berusaha memadamkan api. Setelah itu, Elis dilarikan ke rumah sakit.
Hampir seluruh tubuh Elis dibalut perban untuk menutupi luka bakar sekitar 90%. Ia sempat tiga kali dioperasi, namun nyawanya tak tertolong setelah menjalani perawatan dua pekan.
Ia sempat menjalani tiga kali operasi, akan tetapi nyawanya tak tertolong pada hari ke-15.
Sampai sekarang, anak pertama yang menjadi saksi kekejaman bapaknya selalu bicara: “‘Bapak bakar mama, bapak bakar mama’, selalu anaknya bicara begitu,” kata Barbalina.
‘Baru melahirkan anak kedua, tapi itu laki sudah pukul saya’
Kasus kekerasan Serka MM terhadap Elis bukan yang pertama.
Sebelum peristiwa pembakaran, Elis mengeluh pernah beberapa kali dipukuli suaminya, menurut Barbalina.
Salah satu yang paling diingat Barbalina adalah pemukulan beberapa hari setelah Elis melahirkan anak kedua.
“Dia SMS kemari mama, ‘saya baru melahirkan anak kedua, itu laki sudah pukul saya. Saya lari cari perlindungan di tetangga punya rumah’,” kata Barbalina. Kejadian ini juga bukan sekali.
“Selalu pukul pake besi, pake linggislah, pake helm, pake parang, apa yang ada di depannya itu dia pake alat saja gitu,” ujarnya.
Barbalina Felle, ibu dari Elis tidak membayangkan anaknya mengalami kekerasan karena persoalan sepele.
Barbalina sempat terbesit agar anaknya bercerai saja. Tapi ia mendengar Serka MM pernah mengancam akan membunuh Elis kalau terjadi perceraian. Jika terjadi perceraian, maka “Saya cari kau, saya bunuh kau”.
Niat memisahkan anaknya itu juga urung, “Karena saya punya agama tidak izinkan untuk cerai… saya takut Tuhan.”
BBC News Indonesia telah menghubungi pihak Lanud Silas Papare, namun belum mendapat respons.
Dalam keterangan kepada Detik, Komandan Lanud Silas Papare, Marsma TNI Mokh Mukhson mengatakan, “Kami tidak akan memberikan toleransi terhadap tindakan yang mencoreng nama baik institusi dan melukai nilai-nilai kemanusiaan. Kami akan memastikan kasus ini ditangani dengan tegas dan sesuai hukum yang berlaku.”
Menurut Mukshon pelaku sudah diamankan Satuan Polisi Militer Angkatan Udara (Satpomau) Lanud Silas Papare untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Yunika Felle, kakak sepupu dari Elis Agustina berharap hukum yang setimpal bagi Serka MM. “Kita semua serahkan pada pihak Lanud,” katanya sambil menambahkan agar anak-anak Elis, “diperhatikan supaya mereka tumbuh dewasa”.
Fenomena puncak gunung es
Kasus dugaan femisida di Kabupaten Jayapura, Papua hanya fenomena gunung es kekerasan terhadap perempuan di Papua, kata Pendeta Dora Balubun.
Salah satu faktor penyebabnya, “menjaga nama baik keluarga”. “Ada banyak sekali kasus kekerasan, penyiksaan kepada perempuan yang akhirnya diselesaikan saja secara adat,” katanya.
Perwakilan Sinode GKI di Tanah Papua ini juga menyoroti adat pembayaran mas kawin dalam pernikahan. Begitu mas kawin diterima, maka istri akan sepenuhnya “menjadi hak suami dan keluarga suaminya”.
Dengan demikian, ketika istri mengalami kekerasan akan sulit melakukan perlawanan. Perlindungan yang bisa didapat istri hánya bisa berasal dari restu suaminya.
Serka MM (belakang) saat ini masih dalam pemeriksaan. Ini adalah momen-momen terakhir Elis bersama kedua anaknya.
Keluarga perempuan tidak bisa mencampuri KDRT keluarga ini. “Adat sangat kuat,” kata Pdt Dora.
Ia melanjutkan, giliran keluarga perempuan mencampuri kasus KDRT yang terjadi, maka ia harus “bayar adat”.
“Tapi juga keluarga suami akan merasa keluarga perempuan tidak menghargai keluarga suami,” tambahnya. Hal yang bisa menimbulkan pertikaian antar keluarga.
Polemik adat mas kawin Papua telah banyak diteliti. Salah satunya melalui riset pustaka oleh Selfisina Tetelepta dkk. dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dalam sebuah jurnal yang diterbitkan 2021.
Menurut Selfisina, setidaknya terdapat lima makna yang bias dalam adat mas kawin di Papua, antara lain:
• Meningkatkan nilai ekonomi keluarga perempuan.
• Menjadi beban keluarga laki-laki, sehinga bisa memicu pertengkaran.
• Memposisikan perempuan dengan barang.
• Memutus hubungan perempuan dan keluarganya.
• Mas kawin dijadikan keluarga perempuan meraih keuntungan.
Selain itu, bagi sejumlah kalangan di Papua, istri yang tak bisa punya anak juga punya risiko mengalami kekerasan. Ia tidak akan dihitung sebagai seorang istri dalam keluarga besar suami. Jika suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain, maka istri hanya bisa pasrah.
“Bisa saja dia mengalami pelecehan, penghinaan dari keluarga suami,” kata Pdt Dora.
“Memang pada gereja kami, baik di Protesan, Katolik, perceraian itu tidak dimungkinkan karena hanya maut yang memisahkan,” jelas Pdt Dora.
Hal ini masih menjadi perdebatan hangat kalangan tokoh agama di Papua. Agama dan KDRT membuat mereka “berhadapan dengan situasi etika yang dilematis”.
Namun, ia berpendapat perceraian menjadi pilihan tepat kalau KDRT sudah mengancam nyawa seseorang. Dengan catatan, perceraian ini harus diputuskan melalui pengadilan agama, karena “gereja tidak boleh memutuskan perceraian”.
“Kalau misalnya didera dengan kekerasan sampai ada risiko kematian, ya sudah itu (perceraian) pilihan yang terbaik. Ya itu tidak ada jalan lain,” kata Pdt Dora.
Mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua berbeda?
Papua menjadi salah satu wilayah Indonesia paling disoroti Komnas Perempuan. Wilayah ini disebut terbelakang dalam hal pendidikan, pembangunan, sampai kesehatan.
Hal ini berkontribusi terhadap kualitas kehidupan, termasuk layanan pengaduan kasus kekerasan berbasis gender yang tak terjangkau sampai pelosok.
Akibatnya, kasus kekerasan berbasis gender cenderung tidak mencuat sebagaimana terjadi di luar Papua.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani sepakat dengan pendapat Pendeta Dora. Menurutnya, laporan KDRT kerap diarahkan pada mekanisme adat, karena penegak hukum menghindari konflik yang lebih luas.
“Padahal mekanisme adatnya sendiri belum tentu memberikan ruang keberpihakan bagi perempuan-perempuan,” katanya.
Seorang perempuan membawa perangkat aksi saat merayakan hari perempuan internasional pada 2022.
Komnas Perempuan, kata Andy mendorong mekanisme adat di Papua yang berperspektif korban. Dalam penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender, menurutnya, hukum positif dapat melengkapi hukum adat.
Misalnya, denda adat bagi pelaku pemerkosaan. Dalam hukum adat ada kemungkinan denda tersebut habis digunakan bersama, dan tidak sampai kepada korban. Oleh karena itu, perlu dipastikan agar denda dipergunakan memulihkan kehidupan korban.
Pada 2010, Komnas Perempuan bersama Majelis Rakyat Papua dan belasan lembaga lain yang bekerja untuk HAM mendokumentasikan Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009.
Lembaga ini mendokumentasikan 261 kasus dan membaginya menjadi tiga tipologi kekerasan. Pertama, kekerasan yang didukung oleh negara dengan 138 kasus. Tipologi ini dikaitkan dengan operasi militer dan pengerukan sumber daya alam.
Warga yang mengungsi karena konflik bersenjata di Papua. Konflik bersenjata ikut menambah persoalan terhadap perempuan di Papua.
Tipologi ini ditemukan perempuan yang mengalami perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pembunuhan, penyiksaan, pengungsian, sampai penahanan sewenang-wenang.
Kedua, KDRT. Sebanyak 98 perempuan mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual. Ketiga, tipologi kekerasan berlapis. Dalam hal ini, tim menemukan 14 perempuan yang menjadi korban dari tipologi pertama dan kedua.
Meskipun hasil pemantauan dipublikasi lebih dari satu dekade lalu, tapi “sampai sekarang dia masih dianggap relevan”.
Andy Yentriyani yang ikut terlibat dalam pemantauan ini menilai intensitas kekerasan berbasis gender di Papua “semakin lama semakin kuat”. Alih-alih berharap pada upaya dialog damai, tapi pendekatan keamanan yang hadir.
“Apalagi penegak hukum maupun penyedia layanan itu sangat kecil. Tapi bisa jadi karena tidak tahu harus melaporkan, tapi mungkin terutama adalah tidak mau, karena kehilangan kepercayaan kepada kemungkinan memperoleh keadilan melalui proses hukum yang ada,” kata Andy.
Femisida di Papua dan Indonesia, bagaimana mencegahnya?
Kembali pada kasus Elis yang dibakar suaminya, Serka MM di Papua.
Komnas Perempuan mendorong kepastian hukum terhadap pelaku. Sementara itu, keluarga korban perlu dipastikan mendapat dukungan pemulihan yang dibutuhkan.
“Penting memeriksa kasus ini dengan lebih utuh untuk menarik pembelajaran agar tidak berulang. Kasus ini bisa jadi merupakan puncak dari situasi kekerasan yang telah berulang-ulang, atau juga dipicu oleh faktor-faktor yang seharusnya dapat diantisipasi lebih awal,” jelas Andy.
Kasus dugaan pembunuhan di Papua ini menambah daftar panjang kasus femisida yang dilaporkan Komnas Perempuan.
Kasus Elis masuk daftar baru dari empat kasus femisida dalam setahun terakhir.
Meskipun Papua tidak masuk dalam 10 besar, “Tetapi sekali lagi ini sangat terkait dengan situasi infrastruktur pemberitaan dan pelaporan kasus yang ada di sana,” kata Andy.
Secara keseluruhan, lembaga ini mencatat 290 kasus femisida di Indonesia (Oktober 2023—Oktober 2024). Jumlahnya meningkat hampir 30% dari tahun lalu yaitu 159 kasus.
Data ini diambil dari 73.376 pemberitaan di media massa. Oleh karena itu, angka-angka ini sangat dipengaruhi laporan masyarakat, termasuk pihak media dalam memberitakan kasus femisida.
Temuannya, kasus femisida didominasi motif emosi seperti cemburu dan sakit hati. Tetapi, perlu kajian lebih utuh agar dapat mengenali alasan di balik femisida dengan lebih baik, sehingga intervensi bisa dilakuakn lebih efektif.
“Tampaknya manajemen amarah, memutus internalisasi kekerasan sebagai cara respons situasi menjadi salah satu titik sentral,” kata Andy.
Suami menjadi pelaku terbanyak, menurut temuan Komnas Perempuan.
Lembaga ini mengatakan antisipasi dan pencegahan femisida harus terintegrasi dalam pembinaan pasangan yang hendak menikah.
Namun, ketika femisida yang terakumulasi dari kasus KDRT perlu adanya program rehabilitasi bagi pelaku agar bisa menekan kekerasan. Dalam kenyataannya, seringkali penanganan kasus KDRT pihak bertikai hanya dinasehati dan diminta berdamai.
“Pihak istri diminta bersabar… Sebaliknya karena hanya diminta berdamai lalu berproses sendiri, kekerasan terus hadir dan berujung fatal,” jelas Andy.
M. Ikbal Asra wartawan di Papua ikut berkontribusi dalam artikel ini.
sumber: bbc