‘KADO NATAL TERBURUK UNTUK ORANG PAPUA’ – RATUSAN WARGA PEGUNUNGAN BINTANG MENGUNGSI USAI PENGERAHAN MILITER, BAGAIMANA KRONOLOGINYA?

Sebagian warga Oksop mengungsi ke hutan, sementara yang lainnya mendirikan tenda-tenda sementara di sekitar Distrik Oksibil.

Ratusan warga sipil di Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan, mengungsi ke hutan dan distrik lain pada 8 Desember lalu. Mereka cemas melihat pengerahan personel militer ke kampung-kampung mereka.

“Ini kado Natal terburuk untuk orang Papua di wilayah konflik,” ujar Eneko Bahabol, Staf Departemen Hukum dan HAM Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Kamis (12/12).

Eneko mengutip kesaksian seorang pendeta di Distrik Oksop tentang pasukan TNI yang memasuki daerah tersebut pada pekan pertama Desember lalu.

Di antara warga yang mengungsi itu, kata Eneko, terdapat puluhan balita, lansia, dan tiga ibu hamil.

BBC News Indonesia telah meminta konfirmasi TNI terkait insiden ini. Namun hingga Kamis (12/12) malam, juru bicara TNI mengatakan pihaknya “masih melakukan koordinasi” sehingga belum dapat memberikan tanggapan menyeluruh.

Selain di Pegunungan Bintang, baku tembak antara pasukan gabungan TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan Papua terjadi di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, pada 30 November lalu.

Kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB), mengaku mereka menembak tiga polisi di Tambrauw. Insiden itu kemudian direspons aparat Indonesia.

Dampaknya, warga dari sejumlah kampung di Distrik Bamusbama panik dan mengungsi. Namun menurut Melkianus Yesnath, anggota DPRD Tambrauw, masyarakat telah kembali ke rumah-rumah mereka.

Dua peristiwa ini adalah insiden terbaru dalam konflik berkepanjangan antara TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan Papua, memicu gelombang pengungsian warga sipil.

Komnas HAM Papua mendesak pemerintah daerah lebih proaktif dalam menangani persoalan pengungsi di wilayah tersebut.

Konflik bersenjata di Tanah Papua pada periode 2018-2023, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, telah mengakibatkan 76.228 warga sipil mengungsi.

LBH Papua mendesak pemerintah pusat segera mengambil kebijakan yang tepat untuk menghindari jatuhnya korban sipil.

Apa yang terjadi di Distrik Oksop?

Aparat militer disebut datang melalui jalan setapak yang biasa digunakan masyarakat untuk menuju kebun dan hutan.

Keberadaan mereka mengejutkan warga, kata seorang mahasiswa asal Oksop bernama Agus, yang kini sedang menempuh studi di Pulau Jawa. Dia berkata, selama ini tidak terdapat pos militer ataupun kantor polisi di distrik tersebut.

Orang tua Agus—yang menghendaki nama marganya untuk tidak dipublikasikan—termasuk warga Oksop yang memilih mengungsi keluar kampung.

“Aparat yang masuk sekitar tiga kompi—300 orang,” klaim Agus, merujuk pada keterangan yang diberikan kerabatnya di Oksop.

“Belakangan ada juga aparat yang diturunkan dari mobil dan helikopter.

“Masyarakat takut dengan kondisi yang ada, apalagi militer datang dengan senjata yang sudah di tangan,” kata Agus via telepon.

Helikopter terbang di langit Distrik Oksop pada pekan pertama Desember lalu, diduga menerjunkan aparat militer.

Menurut Agus, masyarakat di lima kampung di distrik itu tidak terbiasa hidup berdampingan dengan aparat.

Dia berkata, aparat biasanya datang ke Oksop pada acara besar, seperti perhelatan pilkada.

Pria berusia 23 tahun ini berkata distriknya tidak pernah menjadi lokasi baku tembak antara aparat Indonesia dan TPNPB.

Menurut Agus, Oksop merupakan daerah yang selama ini tenang dan damai, terutama pada Desember—bulan yang disebutnya sakral bagi para penganut Kristiani di distrik tersebut.

Namun ketika rombongan personel militer datang awal Desember ini, Agus bilang bahwa warga Oksop, yang mayoritas hidup secara subsisten dari hasil kebun, was was menjadi sasaran dalam konflik antara aparat dan milisi pro-kemerdekaan.

“Itulah yang membuat mereka lari dari kampung,” kata Agus.

Agus bersama kelompoknya, Komunitas Mahasiswa Pelajar Aplim Apom, mencatat jumlah warga yang mengungsi di Oksop berjumlah 401.

Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC FP), Pastor Alexandro Rangga mengatakan, merujuk data yang dikumpulkan timnya di lapangan, saat ini ada 264 orang pengungsi asal Oksop di Distrik Oksibil.

Alexandro berkata, di tenda-tenda pengungsi di Oksibil ada lebih dari 30 anak-anak berusia dua bulan sampai 12 tahun. Adapun, perempuan, ibu-ibu hamil, lansia, dan pemuda mencapai 115 orang.

Jumlah ini belum termasuk pengungsi yang terpaksa berada di luar tenda-tenda karena minim kapasitas.

“Permintaan masyarakat pengungsi, militer yang saat ini menguasai Oksop harus ditarik keluar baru masyarakat berani kembali ke kampung,” ujar Alexandro.

Sejumlah warga sipil Distrik Oksop yang mengungsi ke Distrik Oksibil, Pegunungan Bintang, provinsi Papua Pegunungan pada 12 Desember 2024.

Eneko Bahabol Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menyayangkan pengungsian ini terjadi, apalagi menjelang perayaan Natal.

Dia berharap agar “pemerintah tergerak hatinya” untuk menarik pasukan militer dari Oksop agar warga bisa kembali ke kampung dan dapat beribadah dengan tenang.

“Mereka sedang mengungsi di hutan belantara yang sangat dingin dan tidak ada akses makanan di sana,” tutur Eneko.

“Dalam Natal, harus ada kedamaian di Tanah Papua,” tuturnya.

Data GIDI mencatat terdapat setidaknya 54 orang balita, 23 lansia, 5 ibu hamil, dan 2 pasien berat di antara para pengungsi Pegunungan Bintang.

Apa tanggapan TNI dan polisi?

Kepala Bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI, Kolonel Agung Saptohadi, berkata belum dapat memberikan keterangan terkait peristiwa di Distrik Oksop.

“Saya masih koordinasi. Sabar, ya. Mohon waktu,” ujar Agung melalui pesan singkat.

Adapun Kepala Penerangan Komando Daerah XVII/Cenderawasih, Letnan Kolonel Candra Kurniawan, mengatakan pihaknya akan melakukan konfirmasi ke aparat setempat.

BBC News Indonesia juga menghubungi Komisaris Besar Bayu Suseno, Kepala Humas Satgas Damai Cartenz 2024.

Namun Bayu bilang Pegunungan Bintang tidak termasuk wilayah kerja kepolisian.

“Silakan tanyakan ke TNI apakah benar mereka mengirim pasukan ke sana,” ujar Bayu.

Kapolres Pegunungan Bintang, AKBP Anto Seven, mengatakan kepada media lokal, Cenderawasih Pos, bahwa para pengungsi sudah kembali ke rumah mereka masing-masing.

“Mereka sudah kembali ke rumah masing-masing,” tuturnya. Anto membuat klaim, situasi di Oksop aman dan kondusif.

Dia juga berkata, “tidak ada aparat yang melakukan operasi”.

Perempuan dan anak-anak dari Distrik Oksop turut menjadi pengungsi di hutan Pegunungan Bintang.

Konflik berkepanjangan dan gelombang pengungsi

Ini bukan kali pertama gelombang pengungsi warga sipil akibat konflik bersenjata terjadi di Pegunungan Bintang.

Pada 2021 silam, konflik antara TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan pecah di Distrik Kiwirok, memicu pengungsian warga sipil.

Saat itu aparat Indonesia dituding menjatuhkan bom dari udara—klaim yang dibantah oleh TNI.

Dalam konflik ini di Pegunungan Bintang, TPNPB telah beberapa kali membakar fasilitas publik dan menyerang lokasi proyek infrastruktur.

Pada Juli 2024, misalnya, mereka membakar sejumlah bangunan sekolah di Distrik Okbap. TPNPB saat itu menuduh pendidikan yang diajarkan pemerintah “merusak nilai budaya, sejarah, dan ideologi masyarakat Papua”.

Korban tewas akibat konflik bersenjata di Pegunungan Bintang selama ini bukan hanya dari pihak aparat Indonesia, milisi pro-kemerdekaan, tapi juga warga sipil.

Hutan juga menjadi tempat pelarian penduduk Kiwirok saat kontak tembak dan serangan mortir terjadi di sekitar permukiman mereka, Oktober 2021.

Pegunungan Bintang telah menjadi salah satu lokasi konflik bersenjata sejak Papua Barat berintegrasi ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat yang kontroversial.

Konflik bersenjata di Tanah Papua pada periode 2018-2023, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, telah memicu setidaknya 76.228 warga sipil untuk mengungsi.

Jumlah pengungsi aktif terus berubah karena sebagian dari mereka telah memutuskan untuk pulang ke kampung. Sebagian pengungsi juga kerap berpindah dari satu lokasi ke tempat lain.

Di sisi lain, pemerintah tidak pernah membuat data terkait pengungsian ini.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, mengatakan pihaknya sudah “berkali-kali menegaskan” sederet kasus pengungsian terjadi di Papua akibat konflik bersenjata.

“Berdasarkan pemantauan kami sejak tahun 2018 jumlahnya terus meningkat,” ujar Emanuel.

Berdasarkan data yang dihimpun LBH Papua, 76.228 orang menjadi pengungsi pada periode 2018-2023 di tujuh kabupaten berbeda di empat provinsi di Papua.

Pada tahun 2024, kata Emanuel, terjadi pengungsi di lima kabupaten akibat konflik bersenjata. Jumlah keseluruhan pengungsi di tahun 2024 adalah 9.424 orang masyarakat sipil Papua, tuturnya.

Menjelang perayaan natal, sebagian warga sipil dari lima kampung di Pegunungan Bintang mengungsi ke hutan.

Apa pemicu konflik di Tanah Papua?

Menurut Emanuel Gobay dari LBH Papua, pangkal konflik berkepanjangan di Papua adalah pasal pembentukan Pengadilan HAM Papua yang urung belum diterapkan. Pasal itu tertuang dalam UU Otonomi Khusus 21/2001.

“Pasal itu mengatur pelurusan sejarah politik Papua. Tapi itu pun sampai saat ini belum dipraktikkan dari tahun 2001,” ujar Emanuel.

Menurut Emanuel, pemerintah pusat “belum berniat menyelesaikan persoalan HAM dan politik di Papua.

“Ketidakjelasan itu kemudian seperti dijawab oleh pemerintah pusat dengan melakukan pendekatan militer,” kata Emanuel.

Emanuel juga menyoroti ketidakjelasan mekanisme pengerahan pasukan di Papua yang menurutnya tidak sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dia berkata, belum pernah ada rekomendasi DPR maupun keputusan presiden yang mengatur pengerahan pasukan tersebut.

“Sebenarnya status Papua ini apa? Kok pasukan terus dikirim dan di lapangan terjadi konflik bersenjata yang berujung pada terjadinya peningkatan jumlah pengungsi,” ujar Emanuel.

Emanuel pun mempertanyakan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya, dan sipil dari para pengungsi ini.

“Sampai saat ini kami catat belum ada Palang Merah Indonesia yang bertugas sesuai dengan undang-undang untuk menangani pengungsi,” ujarnya.

“Bahkan tidak pernah ada Menteri Perlindungan Anak atau Menteri Pemberdayaan Perempuan yang bicara tentang nasib anak di daerah konflik, seperti di Pegunungan Bintang yang dilaporan ada ibu hamilnya.”

Emanuel menyebut LBH Papua meminta dengan tegas supaya pemerintah pusat dapat mencari alternatif yang tepat untuk menyelesaikan persoalan politik yang berkepanjangan di Papua.

Mahasiswa Papua melakukan demonstrasi menuntut hak kemerdekaan Papua Barat di Yogyakarta pada 1 Desember 2024.

Emanuel juga mendesak pemerintah-pemerintah provinsi di seluruh Papua untuk segera membentuk tim kerja untuk menangani pengungsi.

Pendapat ini didukung Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua, Fritz Ramanday. Dia menyebut intervensi dari pemerintah pusat untuk menangani pengungsi kerap “mendapat resistensi” sehingga pemerintah setempat yang harus didorong.

“Yang terdepan itu harus pemerintah daerah setempat. Pemda yang mengetahui situasi setempat dan orang-orang di Pemda itu paling tidak punya relasi sosio-kultural dengan masyarakat setempat,” ujarnya.

Fritz mengakui aspek geografis Pegunungan Bintang yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat sehingga “kondisinya rumit”.

Fritz menyebut Pegunungan Bintang memang merupakan salah satu wilayah rawan konflik. Kelompok sipil bersenjata di kabupaten itu, kata dia, dalam satu tahun belakangan menunjukkan eksistensi mereka.

“Ada pengerahan pasukan TNI terutama untuk merespon kelompok sipil bersenjata ini. Nah, itu yang kemudian eskalasinya berkepanjangan,” ujar Fritz.

Fritz menambahkan bahwa “harus diakui bahwa kelompok sipil bersenjata di Pegunungan Bintang” itu “cukup ekstrim”.

“Kehadiran tentara itu merespon kehadiran mereka dan yang terjadi adalah masyarakat sipil menjadi korban yang berulang,” kata Fritz.

Seorang pria Papua memegang foto Paus Fransiskus di depan Kedutaan Vatikan di Jakarta pada 4 September 2024 untuk meminta Paus Fransiskus segera campur tangan terhadap operasi militer pemerintah Indonesia di Papua.

Di sisi lain, Fritz menyebut situasi di Distrik Oksop terutama terjadi akibat pengerahan TNI. Pihak Komnas HAM, lanjut dia, sudah sering mengingatkan bahwa membiarkan TNI mengambil peran di depan akan memunculkan korban dari masyarakat sipil.

Negara, sambung Fritz, seakan-akan tidak hadir di sana untuk memberikan upaya pemulihan.

“[Sepertinya] tentara tidak memiliki strategi pemulihan. Yang ada strategi untuk menumpas. Itu yang kemudian mengakibatkan trauma berkepanjangan, ketakutan, dan siklus ini terus berkembang,” tuturnya.

Reportase tambahan oleh Maria Baru di Sorong, Papua Barat Daya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.