Sejumlah tersangka dihadirkan dalam konferensi pers pengungkapan kasus judi daring di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Kepolisian telah menetapkan 24 tersangka sindikat judi online (judol) yang melibatkan pegawai di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Dari seluruh tersangka yang ditetapkan Polda Metro Jaya, sembilan di antaranya adalah pegawai Komdigi dan satu staf ahli di kementerian tersebut, sementara sisanya adalah warga sipil. Adapun empat orang lain masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Salah satu tersangka yang berinisial AJ, berperan sebagai penyaring dan melakukan verifikasi agar situs judol tertentu tidak diblokir.
“Kami jawab, benar,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra mengonfirmasi peran AJ dalam sindikat tersebut kepada wartawan, Senin (25/11).
Oleh sejumlah pihak, AJ diduga sebagai keponakan dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Namun, isu ini dibantah oleh PDI Perjuangan.
“Saya tidak kenal dan tak pernah mendengar namanya sebelum ini. Dan saya juga tidak bisa mengkonfirmasi terkait hubungan yang bersangkutan dengan Ibu Mega,” kata juru bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).
Apa peran dan bagaimana modus operandinya?
Kepolisian menyampaikan modus operandi sindikat judol ini melindungi situs-situs judi tertentu karena mereka membayar.
Setiap situs membayar hingga Rp24 juta, dan jumlahnya ada “ribuan” situs.
AJ dan AK, staf ahli Kominfo—sekarang Komdigi—berperan sebagai penyeleksi situs judol agar tidak diblokir Kominfo, polisi juga membeberkan peran anggota sindikat lainnya:
Empat orang sebagai bandar, pemilik serta pengelola situs judol yaitu A, BN, HE, dan J (DPO).
Tujuh orang sebagai agen pencari situs judol yaitu B, BA, HF, BK, JH (DPO), F (DPO) dan C (DPO).
Tiga orang lainnya berperan mengumpulkan daftar situs judol dan menampung transferan uang yaitu A alias M, MN dan DM.
Sembilan pegawai kominfo berperan sebagai penambang situs judol dan melakukan pemblokiran yaitu DI, FD, SA, YM, YP, RP, AP, dan RD.
“Dua orang beperan dalam TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) inisial D dan E,” kata Kapolda Metro Jaya, Karyoto.
Dari sindikat ini, polisi telah menyita uang tunai maupun aset mereka sebanyak Rp167 miliar. Nilai ini termasuk mobil mewah dan 11 unit tanah dan bangunan.
Dari penelusuran ini, polisi juga menyita “tiga pucuk senjata api, dan 250 butir peluru.”
Menurut keterangan polisi, AJ bersama AK bertugas menyeleksi judol yang telah menyetor uang agar tak terkena blokir. Mereka berdua bersama A alias M merupakan rekrutan T.
“Satu orang berperan merekrut dan mengkordinir para tersangka, khususnya tersangka inisial A alias M, AK dan AJ sehingga mereka memiliki kewenangan menjaga dan melakukan pemblokiran website judi, (itu) inisial T,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto, dalam konferensi pers Senin (25/11).
T yang dimaksud disebut pernah menjabat komisaris sebuah BUMN, dan diduga sebagai kader PDI Perjuangan.
Apa respons PDIP?
Sepengetahuan saya mereka bukan pengurus, dan tidak ada juga namanya di dalam SK tim apa pun yang resmi kami setorkan ke KPU,” jelas juru bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim kepada BBC News Indonesia, Senin (25/11).
Selain itu, Chico juga menganggap kasus AK yang baru diungkap pada masa tenang Pilkada sebagai “politisasi hukum”.
“Penggunaan hukum sebagai alat politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Namun, rakyat Indonesia semakin cerdas dan sadar bahwa judi online dapat berkembang masif karena dilindungi oleh oknum aparat dan penguasa,” katanya.
PDIP, kata dia, juga mengutuk keras pembiaran judi online yang dibiarkan tumbuh subur tanpa tindakan tegas dari aparat penegak hukum.
“Sejak kasus Ferdy Sambo mencuat, semestinya aparat bergerak memberantas judi online hingga ke akar-akarnya, bukan membiarkannya menjadi masalah akut seperti saat ini. Ketidakseriusan ini mencerminkan lemahnya komitmen penegakan hukum,” tandas Chico.
Petugas merapikan barang bukti jelang konferensi pers capaian desk pemberantasan perjudian daring dan desk keamanan siber dan perlindungan data di Kantor Komdigi, Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Dalam keterangan lainnya, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ronny Talapessy, menegaskan bahwa tersangka kasus judi online (judol), Alwin Jabarti Kiemas, bukan kader partainya, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.
“Yang bersangkutan bukan keluarga dan juga bukan kader PDI Perjuangan,” kata Ronny, yang menilai ada upaya mendiskreditkan PDIP pada masa tenang jelang pencoblosan Pilkada 27 November.
Dia menuturkan, pihaknya akan melaporkan akun media sosial yang mengaitkan Alwin dengan PDIP.
“Kami akan melaporkan akun media sosial yang sengaja menyebarkan kesimpulan tendensius bahwa Alwin ini adalah keponakan dan kader PDI Perjuangan,” katanya.
Warga melintas di depan mural bertema cegah judi online di Kediri, Jawa Timur, Rabu (09/10).
Apakah ada aliran dana ke partai politik?
Pertanyaan ini ikut mewarnai konferensi pers Polda Metro Jaya.
Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Wira Satya Triputra mengatakan: “Kita sudah melakukan koordinasi (dengan PPATK), tapi sampai dengan saat ini hasilnya kami masih tunggu.”
Saat ditanyai hal ini, Ketua Kelompok Humas PPATK, M. Natsir Kongah masih belum mau menjelaskan rincian. Ia mengatakan, “Hasil analisis dan hasil pemeriksaan yang merupakan produk PPATK hanya disampaikan kepada penyidik.”
Petugas mengecek barang bukti mobil dan sepeda motor sitaan yang dihadirkan dalam konferensi pers pengungkapan kasus judi daring di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Sejumlah pihak menilai penangkapan belasan pegawai Komdigi tidak akan memberantas judi online, kecuali aparat Indonesia mampu menyentuh para tokoh utama kejahatan tersebut.
Walau pemerintah menyebut penangkapan itu merupakan upaya memberantas judi online, sebagian kalangan yakin persoalan menahun ini tak akan bisa tuntas jika penindakan tidak menyentuh para bandar dan pengendali utamanya.
Apa saja rencana pemerintah? Mengapa rencana itu diragukan? Dan bagaimana cerita orang-orang yang pernah candu terhadap judi online?
Isu prioritas 100 hari pertama Presiden Prabowo
Kepolisian di wilayah Kota Padang, Sumatra Barat, sejak awal November lalu gencar menindak judi online.
Pada Sabtu (02/11) tengah malam, polisi menangkap dua laki-laki di sebuah warung dengan tuduhan bermain judi online.
Kepala Polsek Padang Timur, AKP Harmon, kemudian menyampaikan klaim kepada pers bahwa penangkapan itu merupakan “langkah nyata menjawab keresahan masyarakat terhadap judi online”.
Judi online merupakan salah satu persoalan prioritas dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto.
Sejumlah pejabat tinggi negara belakangan telah menyampaikan rencana kerja dan janji-janji mereka untuk memberantas judi online tersebut.
Menko Polkam Budi Gunawan, misalnya, membentuk unit khusus yang dipimpin Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit. Tugas utama unit itu adalah memberantas judi online.
AJP (berbaju biru) ditetapkan menjadi tersangka oleh Polresta Bogor, 30 Oktober lalu, atas tuduhan mempromosikan situs judi online di akun Instagram pribadinya.
Berbagai penangkapan pun, seperti yang terjadi di Padang, kemudian memang berlangsung di sejumlah daerah.
Seorang mahasiswi di Medan ditangkap pada 3 November atas tuduhan mengiklankan judi online di media sosial.
Di Sukabumi dan Majalengka, Jawa Barat, pada hari yang sama, kepolisian menangkap pembuat konten media sosial atas tuduhan menyebarkan promosi judi online.
Di Jakarta, akhir pekan lalu, penangkapan juga dilakukan terhadap belasan pegawai Komdigi—orang-orang yang selama ini tidak dianggap terlibat dalam jaringan judi online di Indonesia.
Mereka dituduh secara sengaja tidak memblokir situs-situs judi online agar mendapat imbalan uang.
Kekesalan mantan pejudi online
“Saya kecewa. Ternyata ada yang melindungi situsnya,” kata Adi, warga Pamekasan, Jawa Timur, yang pernah kecanduan judi online.
“Tidak boleh ada yang dilindungi, semua harus diberantas supaya adil,” ujar Adi.
Perkataan tersebut merupakan respons Adi terhadap penangkapan belasan pegawai Komdigi.
Menurut Adi, penangkapan itu merupakan bukti bahwa selama ini pemerintah gagal melindungi masyarakat dari judi online.
“Masih banyak situs judi yang berkeliaran dan merajalela,” ujarnya.
Dua siswa melihat poster berisi peringatan tentang bahaya judi online di Riau, Jumat (11/10).
Adi merupakan pekerja serabutan. Dia tak memiliki pendapatan tetap. Terkadang dia berjualan motor bekas, sementara pada waktu-waktu lainnya dia menjadi penjaga toko.
Walau kondisi keuangan rumah tangganya tidak menentu, Adi sempat rajin bermain judi online, bahkan pada taraf yang dia sebut kecanduan.
”Saya tertarik setelah melihat teman. Cara mendapat uangnya gampang, enggak usah kerja keras,” kata Adi.
Adi berkata, dia pernah meraup 13 juta dari judi online. Pendapatan itu membuatnya terus tergiur mengadu peruntungan.
Namun bukannya untung, belakangan dia justru kehilangan banyak uang.
“Bandar memancing agar kita tergiur main terus. Saya dikasih menang sedikit, jadi terus main, nanti setelah itu lama-lama saya tidak pernah menang lagi,” ujar Adi.
Indra, warga Padang, menyampaikan penyesalan serupa. Karena sempat mendapat uang dari bermain judi online, dia akhirnya merasa candu.
Walau begitu, pendapatan dari situs judi online yang dia mimpikan itu tak pernah terwujud. Dia justru merugi belasan juta.
“Ada penyesalan. Ada efeknya ke kehidupan, apalagi saya kan sudah punya keluarga,” kata Indra.
Seorang polisi menggeledah ruang kerja yang diduga kantor pegawai Komdigi yang terlibat judi online di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (01/11).
Indra berkata, sejumlah koleganya juga mengalami kencaduan dan penyesalan yang sama. Merujuk situasi itu, dia menilai pemerintah gagal melindungi masyarakat dari jaringan judi online.
“Dampaknya sudah merata ke semua lini, dari anak muda bahkan orang yang sudah berkeluarga,” ujar Indra.
“Pemerintah kan yang memiliki kewenangan untuk menghapus situs judi online dan promosinya di media sosial.
“Yang berbahaya itu iklan judi online di media sosial. Yang tadinya enggak tahu, di rumah mencoba main dan tiba-tiba terjerumus,” kata Indra.
Bisakah rantai kejahatan judi online diungkap?
Judi online secara spesifik dilarang oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) versi terbaru, nomor 1 tahun 2024. Beleid itu memuat dua pasal yang terkait judi online.
Pasal 27 ayat (2) melarang setiap orang mendistribusikan atau menawarkan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Setiap orang yang melanggar pasal tersebut, diancam hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar, seperti diatur dalam Pasal 45 ayat (3).
Tiga WNA asal China ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri, Sabtu (02/11), atas tuduhan mengendalikan situs judi online.
Larangan menawarkan perjudian juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi terbaru, nomor 1 tahun 2023.
Pasal 427 KUHP secara khusus memberi ancaman penjara paling lama tiga tahun dan denda maksimal Rp50 juta bagi setiap orang yang bermain judi. Namun aturan ini baru dapat digunakan penegak hukum saat KUHP versi terbaru resmi berlaku, yaitu pada 2026.
Sementara itu KUHP versi terdahulu memuat ancaman hukuman bagi orang-orang yang menawarkan dan mengikuti perjudian.
Menurut Pasal 303 bis ayat (1) KUHP tersebut, baik yang menawarkan maupun yang menjadi pelaku perjudian, dapat dipenjara hingga empat tahun dan dijatuhi denda paling banyak Rp10 juta.
Walau merupakan perbuatan terlarang di Indonesia, nilai transaksi judi online dari Januari sampai September 2024 mencapai sekitar Rp280 triliun.
Nominal itu muncul dalam laporan resmi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kepala PPATK, Ivan Yustiawandana, menyebut lembaganya telah memblokir 13.481 rekening yang berkaitan dengan berbagai transaksi judi online tersebut.
“Pola transaksi, dalam beberapa kasus, mengalami pergeseran dengan menggunakan usaha penukaran valuta asing dan aset kripto,” kata Ivan, Senin kemarin.
Dalam risetnya, PPATK menemukan fakta jumlah pengguna judi online di Indonesia mencapai hingga empat juta orang. Dari angka itu, sekitar 80 ribu pemain judi online berusia di bawah 10 tahun.
Setengah dari empat juta pemain judi online itu, menurut PPATK, masuk kategori masyarakat miskin.
Sejumlah personel kepolisian membawa barang bukti berupa uang tunai pecahan rupiah, diduga milik tiga WNA asal China yang terjerat kasus judi online.
Di tengah berbagai fakta tersebut, penetapan tersangka terhadap 16 pegawai negeri Komdigi yang diduga melindungi situs judi online merupakan sebuah ironi, kata Nurul Izmi, peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Walau begitu, kata Nurul, pemerintah harus menjadikan kasus hukum itu sebagai awal untuk mengungkap pemodal, bandar, dan pejabat pemerintahan lain yang terlibat judi online.
“Akan lebih efektif jika yang ditebang dan diusut-untas itu dari bandar judinya, bukan hanya masyarakat yang sebenarnya menjadi korban,” kata Nurul.
“Rantai kejahatannya cukup panjang: bandar, pemain, dan ternyata juga dari internal pemerintah yang semestinya mengungkap rantai judi online itu,” ujarnya.
Transaksi judi online di Indonesia mengalir setidaknya ke 20 negara, seperti Thailand, Filipina, Kamboja, dan Vietnam, menurut laporan PPATK.
Walau melibatkan orang asing atau perbuatan yang dilakukan di luar Indonesia, Nurul menyebut penegak hukum di Indonesia sebenarnya tetap bisa mengusut tuntas rantai kejahatan judi online.
Dasarnya adalah prinsip ekstrateritorial yang diatur UU ITE.
“Jika bandar ada di luar negeri, apalagi negara tempat bandar judi itu juga melarang judi online, penindakan secara hukum sebenarnya sangat bisa dilakukan,” kata Nurul.
Bagaimana respons pemerintah?
Kepolisian menuduh sembilan pegawai Komdigi plus satu staf ahli melindungi ribuan situs judi online. Dari setiap situs, mereka mendapatkan uang sebesar Rp8,5 juta.
Perbuatan itu, menurut Polda Metro Jaya, merupakan penyalahgunaan wewenang. Alasannya, para pegawai pemerintahan itu memiliki tugas untuk memblokir situs judi.
Menteri Komdigi, Meutya Hafid, merespons penangkapan itu dengan berkata “akan membersihkan kementeriannya dari oknum”.
Meutya berkata telah mengeluarkan instruksi menteri. Melalui ketentuan itu, dia meminta seluruh bawahannya bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkap oknum yang terlibat judi online.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (5/11/2024).
Selain itu, kata Meutya, seluruh pegawai dan pejabat di kementeriannya telah meneken pakta integritas.
Isi dokumen itu adalah pernyataan untuk tidak berkomunikasi, memengaruhi, dan mendistribusikan segala bentuk aktivitas dan muatan judi online.
Selama 10 hari sebelum penangkapan pegawai Komidigi, kata Meutya, pihaknya telah memblokir 187 ribu situs judi online.
“Saya tidak menyatakan itu prestasi kami, tapi paling tidak tren positif,“ kata Meutya tentang pemblokiran tersebut.
Menko Polkam Budi Gunawan dipotret di Jakarta, Senin (04/11), saat mengumumkan pembentukan tujuh satuan kerja lintas kementerian/lembaga, termasuk untuk persoalan judi online.
Namun menurut Adrianus Meliala, Guru Besar Universitas Indonesia, yang dibutuhkan pemerintah untuk mengatasi judi online adalah kemauan politik.
Kemauan itu, kata dia, merupakan modal utama untuk membersihkan pemerintahan dari orang-orang yang melindungi judi online.
Kemauan politik itu juga akan menentukan sejauh mana pemerintah mengusut aktor-aktor di balik situs judi online.
“Butuh kemauan politik dari negara untuk melakukan operasi besar terhadap dirinya sendiri,“ kata Adrianus.
“Tentu tidak ada operasi yang menyenangkan, pasti menyakitkan, tapi hasilnya membawa kesehatan,“ ujarnya memakai analogi kesehatan untuk menunjuk pemberantasan oknum.
Potret sejumlah barang bukti terkait kasus dugaan judi online yang dikumpulkan Polda Aceh, pada November 2021.
Di masa akhir pemerintahan Joko Widodo, Benny Rhamdani, yang saat itu menjabat Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), menyebut sosok berinisial T sebagai pengendali judi online.
Benny membuat klaim telah melaporkan sosok berinisial T itu dalam Rapat Kabinet. T, menurut dia, menempatkan basis bisnis judi online di Kambjoa.
Namun hingga saat ini, pemerintah—termasuk kepolisian—urung menindaklanjuti dan mengumumkan sosok T yang disebut Benny.
Menurut Adrianus, dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Prabowo semestinya mengusut tuntas para dalang di balik situs judi online, termasuk yang berinisial T tersebut.
“Saya bisa paham kalau pada hari-hari terakhir pemerintahan Jokowi pengusutan itu tidak dilakukan, karena mungkin mereka cemas membuat catatan yang buruk,“ kata Adrianus.
“Tapi bagi pemerintahan yang sekarang, mereka justru punya kepentingan amat besar untuk memulai hari-hari pertama mereka dengan situasi yang sehat,“ tuturnya.
Wartawan Halbert Chaniago dan Mustopa berkontribusi untuk liputan ini
sumber: bbc