PILKADA ACEH: PEREMPUAN DIBILANG ‘HARAM’ JADI PEMIMPIN, SYARIAT ATAU POLITIK PRAKTIS?

Hanya ada empat kandidat perempuan dalam Pilkada 2024 di Aceh.Informasi artikel

Ketika jumlah kandidat perempuan secara nasional meningkat dalam Pilkada 2024, calon kepala daerah perempuan di Aceh masih berjibaku melawan narasi bahwa “perempuan berbuat dosa kalau mencalonkan diri menjadi pemimpin”.

Pro dan kontra soal boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin selalu muncul di Aceh saat musim pilkada, kata pegiat perempuan dari Kata Hati Institute yang fokus pada isu demokrasi dan kebijakan, Raihal Fajri.

Masyarakat Aceh sendiri punya pandangan beragam soal isu ini, sebagian tak terpengaruh, sementara lainnya mengamini narasi tersebut.

Mereka yang setuju bahwa perempuan “haram” menjadi pemimpin mengacu pada pernyataan ulama ternama di Aceh, Abu Mudi, yang juga menjabat sebagai petinggi sebuah partai politik lokal: Partai Adil Sejahtera.

Sebaliknya, mereka yang berupaya menandingi narasi itu dan memperjuangkan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin dianggap “menentang syariat”.

“Kalau ada yang melakukan counter, maka akan langsung dicap kafir, menolak syariat Islam, dan sebagainya. Itu yang agak berat,” kata Raihal pada Selasa (22/10) ketika ditemui di Aceh Besar.

Pola yang sama pernah terjadi pada Pilkada 2017 di Aceh.

Tetapi di tengah pro dan kontra itu, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menolak berkomentar ihwal perdebatan yang menyandingkan syariat Islam dengan politik ini.

“Untuk saat ini, tidak tepat MPU berkomentar karena bersinggungan dengan agenda politik (pilkada),” kata Ketua MPU Aceh, Teungku Faisal Ali pada Rabu (13/11).

Pegiat perempuan dan pakar gender menyebutnya sebagai “kemunduran”. Kontestasi pilkada di Aceh masih menjadi arena yang sulit ditembus oleh perempuan.

Saat ini, hanya ada empat perempuan yang maju dari total 162 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di Provinsi Aceh.

Keempat perempuan itu adalah Illiza Saaduddin Djamal sebagai calon Wali Kota Banda Aceh, Afridawati sebagai calon Bupati Simeulue, Nurhayati sebagai calon Wakil Bupati Simeulue, dan Meutia Apriani sebagai calon Wakil Wali Kota Langsa.

Apa yang terjadi di Aceh kini berbanding terbalik dengan masa lampau ketika Aceh dipimpin oleh ratu dan sultanah-sultanah perempuan pada abad ke-15 dan 17.

Kepemimpinan mereka bahkan didukung oleh ulama-ulama besar Aceh pada masa itu, kata pemerhati sejarah Iskandar Norman.

Bagaimana narasi ini berkembang?

“Perempuan yang mencalonkan diri berarti sudah berbuat dosa. Karena mengerjakan pekerjaan yang tidak sah untuk dikerjakan,” kata Abu Syekh H. Hasanoel Bashry alias Abu Mudi menjawab pertanyaan seorang jemaat dalam video yang disiarkan di akun Youtube-nya pada 2016.

“Orang yang memilih [perempuan] pun ikut bersalah, berdosa. Dilantik, orang yang melantik juga berdosa. Setelah dilantik dia sah menjadi pemimpin, di situ juga menjadi masalah,” ujar ulama terkenal di Aceh ini. .

Pernyataan itu berkembang menjadi narasi yang dikaitkan dengan konteks pilkada pada 2017.

“Itu ditempel di perempatan jalan, di tiang listrik, di mana-mana, dengan foto ulama juga saat itu,” kenang Raihal Fajri dari Kata Hati Institute.

Pada saat itu, dia mengatakan tak ada yang berhasil melawan narasi tersebut. Gerakan perempuan bahkan disebut “tiarap” menghadapinya.

“Agak berat memang, jadi langsung di-counter lagi dengan isu syariat Islam. Kalau ‘menolak’ hadis, ‘menolak’ pernyataan ulama, berarti kalimat sederhananya, ‘Silakan keluar dari Aceh’,” tutur Raihal.

Pada saat itu, ada ulama ternama Aceh lainnya yang menyuarakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin. Salah satunya adalah mendiang Abu Tu Min, yang juga dikenal luas oleh masyarakat Aceh.

Isu itu kemudian lenyap selepas momen pilkada.

Belakangan, menjelang Pilkada 2024 ini, narasi yang sama kembali bergaung. Pernyataan Abu Mudi lagi-lagi dikaitkan dengan konteks pilkada.

Lagi-lagi muncul perang narasi soal boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Setidaknya itu yang terlihat disebarluaskan lewat media sosial.

Sebuah akun di Instagram, misalnya, mengunggah video yang memperlihatkan bagaimana sejumlah perempuan akhirnya menjatuhkan pilihan mereka terhadap pasangan calon wali kota dan wakil wali kota laki-laki karena “sangat menghormati fatwa ulama kharismatik Aceh, Abu Mudi”.

Kemudian disebutkan bahwa rakyat Aceh sangat menghormati dan memuliakan ulama. Akun itu kemudian mengajak untuk memilih pemimpin dari kalangan laki-laki “sesuai Al-Qur’an dan hadis”.

Beragam komentar bernada sama juga muncul.

Antara lain menyatakan bahwa di Al-Qur’an “sudah tertulis kalau kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin”.

Ada pula yang menyatakan mendukung pernyataan ulama tersebut, sehingga mau mendahulukan pemimpin laki-laki.

Pegiat perempuan Aceh, Raihal Fajri meyakini bahwa narasi anti-pemimpin perempuan ditunggangi kepentingan politik praktis

Raihal meyakini bahwa narasi anti-pemimpin perempuan itu adalah bagian dari “kampanye hitam” yang digunakan oleh kubu tertentu untuk kepentingan politik praktis.

Itu karena narasi ini hanya muncul jelang pilkada. Ketika pemilu legislatif misalnya, narasi ini tak muncul menerpa caleg perempuan.

“Saya tidak ingin mengatakan bahwa ini murni yang dilakukan oleh ulama tersebut, sadar atau tidak. Ulama ini kemudian kan ‘digunakan’ oleh para pihak untuk isu-isu perempuan yang tidak boleh jadi pemimpin,” tuturnya.

Siapa Abu Mudi?

Syeikh Hasanoel Bashry juga dipanggil sebagai Abu Mudi karena dia adalah pemimpin pesantren (dayah) Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) yang berlokasi di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Pesantren ini telah berjalan sejak tahun 1920. Cikal bakalnya tak lepas dari aktivitas di Masjid Raya Samalanga, masjid yang dibangun pada era Sultan Iskandar Muda.

Syeikh Hasanoel Bashry menjadi pemimpin pesantren ini sejak 1989. Jadi sebagai seorang ulama, namanya dikenal luas oleh masyarakat Aceh.

Pesantren MUDI Mesra pimpinan Syeikh Hasanoel Bashry di Kecamatan Samalanga, Bireuen, Aceh

Saat ini, Abu Mudi juga menjabat sebagai Ketua Majelis Nashihin Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh.

PAS merupakan partai lokal Aceh yang didirikan pada tahun 2021 berdasarkan hasil Ijtima’ Ulama Aceh.

BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi pihak Abu Mudi untuk mengonfirmasi pernyataannya yang menjadi dasar argumen dalam narasi anti-pemimpin perempuan.

Kami telah menghubungi tiga orang terdekatnya, tapi tak mendapat kesempatan untuk bertemu langsung.

Salah satunya menyatakan bahwa Abu Mudi tak bisa diwawancara karena sedang “batuk-batuk”.

Kami juga telah mendatangi langsung pesantrennya di Samalanga, Bireuen pada Sabtu (26/10). Namun saat itu, Abu Mudi disebut sedang tak ada di tempat.

Kami diarahkan untuk menghubungi salah satu asistennya, orang yang berbeda dengan yang kami hubungi sebelumnya. Asistennya tersebut justru mengatakan bahwa Abu Mudi sedang berada di Banda Aceh.

Kami sempat meminta agar Abu Mudi menanggapi narasi yang beredar ini, melalui pesan video atau tertulis. Namun respons itu tak diberikan sampai liputan ini ditayangkan.

‘Tidak ada Qanun yang melarang perempuan jadi pemimpin’

“Katanya perempuan enggak boleh jadi pemimpin, boleh enggak?” tanya Illiza Saaduddin Djamal di hadapan para pendukungnya di sebuah kampung di Banda Aceh pada Rabu (22/10).

“Boleh!” jawab para pendukungnya yang saat itu hadir, mayoritas adalah perempuan.

“Boleh jadi wali kota?” tanya Illiza lagi.

“Boleh!”

Illiza adalah satu-satunya kandidat perempuan di antara empat calon wali kota Banda Aceh. Ini adalah kali kedua dia mencalonkan diri sebagai wali kota.

Pada 2017 lalu, Illiza dikalahkan oleh Aminullah Usman, yang saat ini juga maju kembali dalam Pemilihan Wali Kota Banda Aceh 2024.

Kepada BBC News Indonesia, Illiza mengeklaim bahwa kekalahan itu terjadi karena dia diterpa isu bahwa perempuan “haram” menjadi pemimpin.

“Karena dari sisi mana lagi mereka mau masuk? Akhirnya masuknya dari sisi itu,” kata Illiza.

Illiza bukan politisi kemarin sore. Dia sudah terjun ke dunia politik sejak 2004, ketika masih berusia 30 tahun.

Dia pernah menjadi wakil wali kota Banda Aceh. Pada 2014-2017, Illiza menggantikan wali kota Mawardy Nurdin yang meninggal dunia.

Setelah gagal jadi wali kota, Illiza malah terpilih menjadi anggota DPR RI pada 2019.

Dia kembali terpilih pada Pemilihan Legislatif 2024, tapi langkahnya ke Senayan gagal karena partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak lolos ambang batas parlemen.

Illiza memiliki latar belakang sosial politik yang kuat. Kakeknya adalah Abu Lam U, seorang ulama ternama di Aceh. Ayah dan ibunya juga politisi, sama-sama pernah menjadi anggota DPR Kota Banda Aceh.

Dengan modal itu sekalipun, Illiza tak lepas dari terpaan isu yang mendiskreditkan perempuan.

“Kalau legislatif, kayaknya enggak pernah ada isu perempuan enggak boleh. Giliran eksekutif, baru keluar itu,” ujarnya.

Sebuah studi oleh Shahibul Izar dan Effendi Hasan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala juga menemukan bahwa isu haramnya perempuan menjadi pemimpin sebagai salah satu dari sejumlah faktor penyebab kekalahan Illiza.

Dalam studi itu, sebanyak 54% dari 100 responden menyatakan tak setuju kalau perempuan menjadi pemimpin.

Namun kali ini, Illiza mengaku cukup percaya diri bahwa isu itu tak akan mengalahkannya.

“Masyarakat kan lama-lama sudah paham. Dengan adanya ceramah-ceramah dari para ustaz-ustaz, kiai. Itu juga cukup membantu kami,” ujarnya.

Illiza mengatakan tidak ada satu pun Qanun—peraturan daerah yang menerapkan syariat Islam, juga dikenal sebagai hukum jinayat—yang melarang perempuan tidak boleh memimpin di Aceh.

Dia menduga pernyataan Abu Mudi “dimanfaatkan” oleh “calon-calon yang mungkin takut”.

“Mereka yang melakukan itu pecundang sebetulnya, takut sama perempuan. Sekarang Jawa Timur contoh lah ya. Di sana kan gudangnya ulama, gudangnya santri, tapi di sana justru peluang perempuannya sangat luar biasa,” kata dia.

Dia juga mendesak Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Pengawas Pemilihan (Panwaslih) semestinya menindak tegas kampanye semacam ini.

“Di dalam Pilkada ini kalau mengatakan perempuan tidak boleh diangkat, harusnya ini menjadi black campaign. Harusnya kita beradu argumen, apa program untuk masyarakat, itu yang harus ditampilkan. Jangan black campaign-nya didiamkan,” kata Illiza.

Ketua KIP Aceh, Agusni, mengatakan bahwa narasi itu “mungkin muncul secara personal”. Secara aturan, tak ada yang membatasi perempuan untuk mencalonkan diri di Aceh.

“Tapi secara kelembagaan sampai sejauh ini kami belum melihat atau mendapatkan atau seruan agar dari kalangan perempuan itu tidak boleh jadi pemimpin atau kepala daerah,” kata Agusni.

Secara aturan, KIP Aceh menegaskan tak ada aturan yang melarang perempuan mencalonkan diri.

Menurutnya, menjadi tugas Panwaslih untuk menindak dugaan kampanye hitam.

Namun, Ketua Panwaslih Kota Banda Aceh Indra Milwady tak merespons saat dihubungi.

‘Saya merasa malah lebih syariat’

Di Kota Langsa, yang berjarak 400 kilometer dari Banda Aceh, isu ini terasa “tidak terlalu berdampak” bagi satu-satunya calon wakil wali kota perempuan di Langsa, Meutia Apriani.

Meutia tak berencana menjadi politikus. Sebelumnya, dia berkarier sebagai tenaga pengajar dan pengusaha.

“Saya memang bukan politisi sebenarnya, juga bukan kader partai. Tapi mungkin partai punya pandangan lain,” kata perempuan yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Calon Wakil Wali Kota Langsa, Meutia Apriani (kiri) mengaku isu anti-pemimpin perempuan tak terlalu berdampak padanya

Ketika perempuan lain sulit menembus arena kontestasi, jalan Meutia ke dunia politik justru terbuka tanpa dia rencanakan.

Namun Meutia bukan lah satu-satunya yang berpolitik di keluarganya. Kakaknya adalah anggota DPRD Banten.

Setelah menjalani kampanye sejauh ini, Meutia mengatakan tak ada yang mempermasalahkan identitasnya sebagai perempuan.

“Mungkin untuk menjadi wali kota, agak berat sih memang kalau [perempuan] di Aceh. Tapi insya Allah kalau menjadi wakil, saya merasa ini malah lebih syariat,” kata Meutia.

“Ketika perempuan mendapatkan masalah seperti KDRT atau pelecehan seksual, dan datang ke pemimpinnya laki-laki, malah jadi masalah sepertinya ya.”

“Misalnya ingin menunjukkan ada penganiayaan di tempat-tempat yang sensitif, akan lebih enak mungkin mereka bicara langsung ke pemimpinnya yang perempuan, saya rasa itu lebih syariah,” tutur Meutia.

Dia meyakini bahwa ulama juga membolehkan perempuan menjadi pemimpin ketika perempuan itu punya kapasitas dan ilmu agama yang mumpuni.

Lelah sebelum bertanding

Menurut Raihal Fajri dari Kata Hati Institute, isu semacam ini akhirnya menjadi salah faktor yang menyebabkan perempuan enggan terlibat dalam politik di Aceh.

Empat perempuan yang maju dalam pilkada ini pun belum tentu semuanya terpilih. Sedangkan di DPR Aceh, hanya ada 10 wakil perempuan dari 76 anggota yang dilantik.

“Ini sangat berpengaruh, karena orang jadi berpikir [untuk maju], dia punya potensi, tapi ketika dia menghitung langkahnya, harus mulai 1.000 langkah bahkan 5.000 langkah lebih dulu dibanding laki-laki,” kata Raihal.

Bahkan sebelum bertanding, perempuan harus menantang batasan-batasan yang dilekatkan pada masyarakat pada dirinya, misalnya soal perannya dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

“Lalu saat pencalonan, muncul lagi isu [anti-perempuan] tadi, dia harus menghadapi itu lagi. Umpama lari maraton, dia sudah harus start tapi energinya sudah habis duluan,” kata Raihal.

Akhirnya, dia menyebut banyak perempuan “lelah sebelum bertanding”.

Dampaknya, aspirasi perempuan tak sepenuhnya terserap dalam kebijakan. Padahal hampir setengah dari penduduk Provinsi Aceh adalah perempuan.

Hampir setengah dari populasi Aceh adalah perempuan, tapi hanya ada segelintir pemimpin daerah dan anggota legislatif perempuan yang mewakili mereka

Perspektif perempuan, sambungnya, amat dibutuhkan dalam pemerintahan. Misalnya untuk membicarakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang meningkat di Aceh dalam tiga tahun terakhir.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh mencatat hampir 4.000 kasus dalam empat tahun terakhir. Itu belum termasuk kasus yang tidak terdeteksi.

Contoh lainnya, ketika pada 2015 lalu, muncul anggaran pengadaan daster dan pakaian dalam perempuan di rancangan anggaran pemerintah untuk kebutuhan kesiapsiagaan bencana.

Bagi Raihal, itu menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan tak punya perspektif gender dan gagal memahami kebutuhan perempuan.

“Seharusnya kalau mau lihat bagaimana penanganan bencana, lihat shelter misalnya, shelter itu tidak aman untuk perempuan misalnya, berarti harus dibuat shelter yang lebih aman. Bukan untuk [pengadaan] baju,” kata dia.

Lalu muncul pertanyaan selanjutnya: apakah politisi perempuan yang maju benar-benar pro terhadap perempuan?

Sayangnya, kandidat perempuan yang maju ternyata tidak otomatis punya keberpihakan nyata terhadap perempuan, kata Raihal Fajri.

Menjadi wakil perempuan di lingkup yang didominasi laki-laki dan sangat patriarki bukan perkara mudah.

Menurut Raihal, beberapa politikusi perempuan bahkan punya rekam jejak kebijakan yang tidak pro-perempuan.

“Bahasanya lebih laki-laki dari laki-laki itu sendiri cara menyelesaikan masalahnya,” kata dia.

Illiza, misalnya, pernah dikritik oleh aktivis perempuan karena kebijakannya menerapkan pembatasan jam malam pukul 23.00 untuk perempuan saat menjadi wali kota.

Pemberlakuan jam malam tak cuma memicu trauma bagai masyarakat Aceh yang pernah didera konflik panjang. Namun juga tak adil bagi perempuan yang bekerja.

“Perempuan di Aceh itu bekerja bukan hanya ibu rumah tangga, ada yang di rumah sakit tenaga medis ada. Di Aceh kan banyak warung kopi juga, ada yang bekerja di warung kopi dan lain sebagainya jadi itu sebenarnya tidak tepat, saya pikir. Itu beliau harus berbenah untuk melihat itu,” tutur Raihal.

Illiza juga dikenal sering memimpin razia penegakan syariat, termasuk yang mengatur ketentuan berpakaian.

Polisi Syariah Aceh menghentikan perempuan yang dianggap melanggar aturan berpakaian.

Ketika dimintai tanggapannya, Illiza mengeklaim itu bukan kebijakannya, melainkan instruksi gubernur yang justru membatasi perempuan hingga pukul 21.00 WIB.

“Saya enggak menjalankan itu sepenuhnya. Jadi saya melihat izin usaha itu jam berapa, nah waktu itu jam 11 malam. Maka jam 11 malam itulah yang kami atur, karena kami enggak mau merugikan perempuan,” jawabnya, sambil menambahkan aturan itu tak berlaku untuk pelayanan publik.

Soal razia, dia mengatakan, “kalau soal pakaian perempuan, itu kan aturan di daerah syariat”.

Apakah dia akan memberlakukan aturan serupa kalau terpilih?

“Kalau aturan yang ada, kan kita harus merujuk pada Qanun yang ada,” tuturnya.

Dia berjanji akan duduk bersama organisasi-organisasi perempuan untuk menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan untuk memberdayakan perempuan.

Sementara itu, Meutia Apriani di Langsa menjanjikan akan fokus pada isu-isu perempuan, di antaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual.

“Saya ingin memastikan bahwa perempuan-perempuan Langsa tidak takut untuk melapor, bahwa mereka berani lapor ke penegak hukum bahwa perempuan bisa menyuarakan apa yang mereka rasakan selama ini,” kata dia.

Seperti apa rencana konkretnya, terutama untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan?

“Insyaallah kami akan melakukan edukasi ke perempuan-perempuan, dan hari ini majelis-majelis taklim di Langsa sudah banyak untuk perempuan. Insyaallah kami akan support majelis taklim dan juga membuat konseling untuk perempuan,” jelas Meutia.

Meutia Apriani berjanji akan fokus pada isu-isu perempuan kalau terpilih menjadi wakil wali kota Langsa mendampingi Fazlun Hasan.

Persoalan keterlibatan perempuan dalam politik punya kerumitan yang berlapis.

Menurut Raihal, keberhasilan mereka untuk bisa mencalonkan diri, sampai pada level tertentu, patut diapresiasi.

Tetapi bagaimana mereka benar-benar mewakili perspektif perempuan menjadi arena tarung tersendiri yang juga perlu diperjuangkan.

Sayangnya di Aceh, isunya masih terganjal pada boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin.

“Itu masih menjadi PR panjang, harus diselesaikan satu per satu,” katanya.

“Orang udah ngomong pembangunan harus begini, kesejahteraan harus begini, stunting di Aceh tinggi, kekerasan terhadap perempuan dan anak tinggi. Itu yang harus diselesaikan, bukan ngomong siapa yang boleh jadi pemimpin, siapa yang enggak boleh jadi pemimpin.”

Bagaimana pendapat masyarakat Aceh?

Ketika berbincang dengan sejumlah warga Aceh soal ini, mereka semua mengaku pernah mendengar narasi untuk tidak memilih perempuan sebagai pemimpin.

Meskipun demikian, mereka punya pandangan yang beragam.

Ada yang berkeras bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dalam bentuk apa pun.

“Seorang perempuan jadi pemimpin itu tidak ada. Kalau memang perempuan jadi pemimpin, rusak negara ini,” kata Mawardi, 38, seorang warga Kabupaten Bireuen.

Warga lainnya, Razali, juga berpendapat serupa.

“Dalam rumah tangga saja pemimpin adalah laki-laki, apalagi dalam kenegaraan kan,” tuturnya.

Sebaliknya di Banda Aceh, beberapa orang menyatakan tak setuju dengan pernyataan itu. Mereka mengaku tidak mempermasalahkan identitas gender seorang pemimpin.

Rizki Anda Putri, 23, mengaku pernah mendengar narasi itu lewat pemberitaan. Namun dia mengaku narasi itu tidak mempengaruhinya.

“Semua orang bisa menilai, antara perempuan dan laki-laki, kalau visi-misinya lebih bagus perempuan, apa salahnya memilih perempuan?” kata dia.

Menurutnya, perempuan bisa saja lebih tegas dalam memimpin di tengah dunia politik yang didominasi oleh laki-laki.

Tarifa, 21, mengatakan banyak perempuan di Aceh sudah menjadi pemimpin di level komunitas.

“Saya gabung di beberapa komunitas, banyak ketuanya perempuan. Saya juga pernah jadi ketua di organisasi, malah banyak kreativitas dikembangkan perempuan,” ujar Tarifa.

“Selama yang memimpin amanah dan bertanggung jawab, oke, enggak apa-apa.”

Tarifa mengatakan banyak perempuan Banda Aceh sudah menjadi pemimpin di level komunitas

Sementara itu, Bahrumsah, 68, mengatakan bahwa sebagai orang Aceh, dia justru bangga dengan sejarah bahwa wilayah ini pernah dipimpin oleh ratu perempuan.

Selama tidak ada kebijakan resmi yang melarangnya, maka dia tidak masalah untuk memiliki pemimpin perempuan.

“Katakan lah Aceh ada kekhususan [menerapkan syariah], tapi tidak ada larangan resmi [perempuan dilarang jadi pemimpin],” kata Bahrumsah.

Muliawati, Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala menilai, narasi anti-pemimpin perempuan memang berdampak pada ruang tarung yang tersedia untuk politisi perempuan dalam pilkada di Aceh.

Namun isu ini bukan faktor tunggal yang membuat banyak calon pemimpin perempuan kehilangan pemilihnya.

Masyarakat di perkotaan khususnya, dia sebut sudah rasional dalam memilih pemimpin.

“Masyarakat Aceh sekarang itu sudah cukup cerdas memahami itu, apakah itu hoaks yang berkembang di masyarakat, atau memang suatu permasalahan apakah layak kita pilih dia atau tidak,” ujar Muliawati.

Aceh ‘sudah terbiasa’ dengan kepemimpinan perempuan

Kalau menilik sejarah, Aceh justru punya rekam jejak kepemimpinan perempuan yang kuat, sehingga timbul ironi ketika kini isu anti-pemimpin perempuan diembuskan.

“Situasi perempuan menjadi pemimpin, sudah selesai di Aceh sejak beberapa abad lalu. Kenapa sekarang muncul, mungkin karena arah politik orang yang ngomong, ke mana? Bagi masyarakat Aceh, [pemimpin perempuan] sudah biasa,” ujar pemerhati sejarah, Iskandar Norman.

Salah satu yang paling dikenal adalah panglima perang Cut Nya’ Dhien. Lalu ada Laksamana Keumalahayati, laksamana perempuan pertama di dunia yang hidup pada masa keemasan Kesultanan Aceh.

Potret Keumalahayati, laksamana perempuan pertama di dunia, di Museum Aceh

Catatan sejarah di Museum Aceh menyebut Keumalahayati sebagai petarung tangguh yang pernah melawan invasi pasukan Portugis pimpinan Alfonso de Castro.

Dia pula yang menggagas pembangunan benteng Inong Balee, sebagai pusat pertahanan Selat Malaka. Sebagai laksamana, Keumalahayati memimpin 2.000 pasukan dengan 100 kapal perang.

Ia juga disebut sebagai seorang negosiator ulung dan pernah memimpin utusan diplomasi Kesultanan Aceh ke Eropa.

Aceh juga pernah dipimpin oleh ratu-ratu perempuan.

Ratu pertama di Aceh adalah Ratu Nahrasiyah. Dia memimpin Kerajaan Samudra Pasai—salah satu kerajaan besar di Nusantara yang wilayahnya berada di sekitar Lhokseumawe—pada sekitar abad ke-15.

Dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, Nahrasiyah disebut sebagai “raja yang besar”, terbukti dari makamnya yang megah pada masanya.

Makamnya yang berada di kawasan Aceh Utara itu masih dirawat sampai saat ini.

Potret Sultanah Safiatuddin yang pernah memimpin Kerajaan Aceh selama 35 tahun pada abad ke-17.

Kemudian pada abad ke-17, Aceh pernah dipimpin oleh empat sultanah keturunan Sultan Iskandar Muda.

Keempat sultanah itu adalah Sultanah Safiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Sultanah Inayah Zakiatuddin Syah, dan Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah.

Mereka memimpin Aceh selama berturut-turut selama 59 tahun sejak 1641 hingga 1699.

Safiatuddin adalah putri dari Sultan Iskandar Muda. Ketika Iskandar Muda meninggal, dia digantikan oleh menantunya Iskandar Thani. Lalu ketika Iskandar Thani meninggal, tak ada lagi penerus laki-lakinya.

PJ Veth, seorang profesor etnologi dan geografi Universitas Leiden, Belanda menulis bahwa sempat terjadi pertentangan ketika Safiatuddin hendak diangkat.

“Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam,” tulisnya, dikutip dari buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah.

Namun Safiatuddin akhirnya diangkat setelah musyawarah yang melibatkan seorang ulama terkemuka saat itu, Teungku Abdurrauf dari Singkel.

Ulama itu disebut menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan.

Safiatuddin kemudian memimpin Kesultanan Aceh selama 35 tahun, waktu yang relatif lama. Hal itu diyakini karena kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya.

Era sultanah perempuan berakhir ketika Kamalat Zainatuddin Syah memimpin.

Kamalat Zainatuddin Syah menjadi sultanah terakhir yang digulingkan oleh “Fatwa Mekkah” pada tahun 1699. Ini adalah potretnya yang dilukis oleh Dede Eri Supria dan ditampilkan dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah.

Saat itu, ada sekelompok bangsawan yang disebut sebagai Orang Kaya yang mempertentangkan kepemimpinan perempuan dan ingin kekuasaan kembali ke tangan laki-laki.

Dia diturunkan oleh “Fatwa Mekkah”, sepucuk surat yang disebut ditulis oleh ulama di Mekkah yang menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan bertentangan dengan syariat Islam.

Perempuan boleh jadi pemimpin

Pakar gender dan Islam dari Universitas Islam Negeri Gunung Djati, Nina Nurmila, mengatakan bahwa Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin.

Menurutnya, ada konteks yang perlu dipahami mengenai ayat dan hadis yang menjadi landasan pendapat bahwa perempuan tak boleh jadi pemimpin.

Nina berpendapat bahwa Surat An-Nisa ayat 34—antara lain mengatur bahwa laki-laki adalah penanggung jawab atas perempuan—berlaku pada konteks keluarga.

“Kalau kita baca konteksnya, itu konteks keluarga karena di situ yang dijadikan pemimpin memiliki dua syarat, yaitu punya kelebihan dan menafkahkan harta untuk keluarganya. Ya nafkah itu kan hanya di dalam keluarga, tapi kemudian kok bisa dilebarkan ke pimpinan publik,” kata Nina.

Dia mengutip salah satu penelitian Nasaruddin Umar bahwa Al-Qur’an membedakan makna antara gender dan seks.

Seks membagi manusia berdasarkan jenis kelamin biologisnya, sedangkan gender adalah konstruksi sosial yang melekat berdasarkan sifat, misalnya maskulin dan feminin.

Nina menjelaskan bahwa pada ayat 34 itu, yang ditafsirkan sebagai laki-laki secara biologis disebut sebagai “arrijalu”. Padahal Al-Qur’an ketika menjelaskan laki-laki dalam konteks biologis menyebutnya sebagai “zakar”.

Dia kemudian mengatakan bahwa “arrijalu” tidak merujuk pada jenis kelamin biologis, melainkan pada peran gender yang artinya.

“Kalau perempuan secara pendidikan dan penghasilan lebih tinggi dari suaminya, dia menafkahkan hartanya untuk keluarganya, dia bisa menjadi rijal,” jelas Nina.

“Memang pada umumnya rijal itu banyaknya berjenis kelamin laki-laki, tapi tidak semua laki-laki bisa menjadi rijal. Itu terlihat sekali dalam realita. Tidak semua laki-laki mampu menafkahi keluarga,” kata Nina.

Nina mengatakan ada ayat lain yang menegaskan bahwa Islam mendukung kesetaraan, salah satunya Surat At Taubah ayat 71.

Ayat itu menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki bisa menjadi pelindung bagi satu sama lain.

“Tapi orang seperti lupa dengan ayat itu,” kata dia.

Dia menyebut hadirnya “fatwa” seperti ini pada tahun 2024 sebagai sebuah “kemunduran”.

“Kalau umat muslim itu percaya Allah itu adil, tidak mungkin ada ayat-ayat Al-Quran yang mendukung ketidakadilan.”

Aceh punya sejarah kepemimpinan perempuan yang kuat

Aceh memang punya sejarah gemilang soal kepemimpinan perempuan. Namun situasi saat ini yang dia sebut “lebih mundur” dari masa lampau, membuat Raihal enggan larut.

“Kalau lama-lama kita larut dengan masa lalu, kita enggak membangun masa depan. Kita cukup berbangga, ‘Oh Aceh punya empat sultanah’. So?”

“Sekarang kita punya sultanah itu? Enggak punya. Satu calon wali kota saja di-bully habis-habisan. Enggak bisa lagi kita pakai patron itu,” katanya.

Sedemikian mirisnya dengan apa yang terjadi, Raihal mengatakan, “Kalau Cleopatra, Ratu Mesir bisa melihat ini kayaknya dia akan malu. Cleopatra hidup di abad berapa? Kita hidup di abad berapa?”

“Kok polanya begitu. Jadi malu lah dengan model-model seperti ini. Kita enggak maju, kita mundur. Jauh.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.