SETAHUN SETELAH KONFLIK HAMAS DAN ISRAEL DI GAZA, TIMUR TENGAH BERADA DI AMBANG PERANG YANG LEBIH DALAM, LEBIH LUAS, DAN LEBIH MERUSAK

Para jurnalis berlindung di balik mobil saat tentara Israel mengambil posisi selama bentrokan dengan pejuang Palestina di dekat Kibbutz Gevim, dekat perbatasan dengan Gaza pada 7 Oktober 2023.Informasi artikel

Jutaan orang di Timur Tengah memimpikan kehidupan yang aman, hidup yang tenang, tanpa drama dan kekerasan yang mengakibatkan kematian.

Perang setahun terakhir—sama buruknya dengan yang pernah terjadi di kawasan ini pada zaman modern—sekali lagi menunjukkan bahwa impian perdamaian tidak dapat terwujud selama jurang mendalam antara politik, strategis dan, agama belum terjembatani. Sekali lagi, perang membentuk ulang politik Timur Tengah.

Serangan Hamas dipicu oleh konflik yang belum terselesaikan selama lebih dari satu abad. Setelah Hamas menerobos perbatasan yang dijaga ketat, itulah yang kemudian menyebabkan hari terburuk bagi Israel.

Sekitar 1.200 orang—sebagian besar warga sipil Israel—tewas. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menelepon Presiden AS Joe Biden dan mengatakan bahwa, “Kami belum pernah menyaksikan kebiadaban seperti ini sepanjang sejarah negara ini”; bahkan “sejak Holocaust”.

Israel memandang serangan-serangan Hamas sebagai ancaman terhadap keberadaan mereka.

Sejak itu, Israel menciptakan hari-hari yang mengerikan bagi warga Palestina di Gaza. Hampir 42.000 orang—sebagian besar warga sipil—tewas, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.

Sebagian besar wilayah Gaza hancur lebur. Warga Palestina menuding Israel sebagai dalang genosida.

Perang telah menjalar. Selang 12 bulan setelah Hamas melancarkan serangan, Timur Tengah ada di ambang perang yang lebih buruk, lebih luas, lebih dalam dan, lebih merusak.

Kematian ilusi

Pertikaian dan pembunuhan selama setahun terakhir telah melucuti pelbagai asumsi dan ilusi. Salah satunya, keyakinan Benjamin Netanyahu bahwa dia mampu mengelola masalah Palestina tanpa memberikan konsesi terhadap tuntutan warga Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Dengan begitu, lenyaplah angan-angan yang telah melenakan Israel dan sekutunya di dunia Barat.

Para pemimpin di Amerika Serikat dan Inggris, serta negara-negara lainnya begitu yakin bahwa Netanyahu—meskipun menentang negara Palestina berdampingan bersama Israel sepanjang kehidupan politiknya—entah bagaimana bisa dibujuk untuk menerima untuk mengakhiri perang.

Penolakan Netanyahu mencerminkan ketidakpercayaan yang hampir menyeluruh terhadap warga Palestina di Israel, juga terhadap ideologinya sendiri. Hal ini juga menggagalkan rencana perdamaian Amerika yang ambisius.

“Tawaran besar” Presiden AS Joe Biden mengusulkan agar Israel menerima pengakuan diplomatik dari Arab Saudi—negara Islam paling berpengaruh—sebagai imbalan atas kemerdekaan Palestina. Sebagai balasan, Saudi akan menyepakati perjanjian keamanan dengan AS.

Rencana Biden gagal pada percobaa pertama. Pada Februari lalu Netanyahu bilang bahwa status kenegaraan akan menjadi “hadiah besar” bagi Hamas.

Bezalel Smotrich, salah satu ekstremis ultra-nasionalis di kabinet Netanyahu, mengatakan status Palestina sebagai negara akan menjadi “ancaman nyata” bagi Israel.

Pemimpin Hamas, Yahya Sinwar—diduga masih hidup di suatu tempat di Gaza—punya ilusinya sendiri.

Setahun lalu, dia pasti berharap bahwa seluruh “poros perlawanan” yang didukung Iran akan bergabung dengan kekuatan penuh dalam perang untuk melumpuhkan Israel. Ternyata dia salah.

Sinwar merahasiakan rencananya menyerang Israel pada 7 Oktober rapat-rapat hingga mengejutkan musuhnya. Dia juga mengangetkan sejumlah pihak di kubunya sendiri.

Sumber-sumber diplomatik bilang kepada BBC bahwa Sinwar mungkin tidak memberitahukan rencananya kepada para pemimpin politik Hamas di pengasingan di Qatar.

Mereka punya protokol keamanan yang sangat longgar—berbicara melalui saluran terbuka yang dapat dengan mudah didengar orang lain—menurut salah satu sumber.

Alih-alih melakukan serangan, Iran justru menegaskan bahwa mereka tidak menginginkan perang yang lebih luas ketika Israel menginvasi Gaza dan Presiden Biden memerintahkan kelompok kapal induk Amerika untuk bergerak lebih dekat guna melindungi Israel.

Sebaliknya, Hassan Nasrallah, dan sahabat serta sekutunya, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, membatasi diri hanya pada serangan roket di perbatasan utara Israel, yang menurut mereka akan terus berlanjut hingga gencatan senjata di Gaza.

Sasaran serangan mereka sebagian besar adalah militer, tapi Israel kemudian mengevakuasi lebih dari 60.000 orang dari perbatasan. Di Lebanon, diperkirakan jumlah pengungsi dua kali lipat dari itu selama beberapa bulan terakhir Israel melakukan serangan balasan.

Hassan Nasrallah dibawa oleh seorang remaja laki-laki di Beirut, setelah kematiannya.

Israel menegaskan bahwa mereka tidak akan mentoleransi perang gesekan tanpa batas dengan Hizbullah. Meski begitu, anggapan umum adalah bahwa Israel akan terhalang oleh rekam jejak pertempuran Hizbullah yang tangguh dalam perang-perang sebelumnya dan persenjataan rudal yang disediakan Iran.

Pada September silam, israel melancarkan serangan. Tak ada siapa pun di luar jajaran senior Pasukan Pertahanan Isreal (IDF) dan agen mata-mata Mossad yang percaya bahwa begitu banyak kerusakan yang dapat ditimbulkan dengan begitu cepat terhadap sekutu terkuat Iran tersebut.

Israel meledakkan pager dan radio yang dilengkapi pengendali dari jarak jauh, menghancurkan komunikasi Hizbullah dan membunuh para pemimpinnya.

Israel melancarkan salah satu operasi pengeboman paling intens dalam sejarah perang modern. Pada hari pertama, Israel menewaskan sekitar 600 orang Lebanon—termasuk banyak di antaranya warga sipil.

Serangan tersebut menghancurkan sebuah lubang besar dalam keyakinan Iran, bahwa jaringan sekutunya memperkuat strateginya untuk menghalangi dan mengintimidasi Israel.

Momen penting terjadi pada 27 September, dengan serangan udara besar-besaran di pinggiran selatan Beirut yang menewaskan Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah dan banyak letnan tingginya.

Nasrallah adalah bagian penting dari “poros perlawanan” Iran, aliansi informal, dan jaringan pertahanan sekutu serta proksinya.

Israel keluar dari perang perbatasan dengan meningkatkan perang yang lebih besar. Jika tujuan strategisnya adalah untuk memaksa Hizbullah melakukan gencatan senjata dan mundur dari perbatasan, maka itu gagal. Serangan dan invasi ke Lebanon Selatan nyatanya tidak membuat Iran gentar.

Iran seperti telah menyimpulkan bahwa keengganan untuk mengambil risiko perang yang lebih luas justru mendorong Israel untuk melakukan upaya lebih keras. Membalas serangan memang berisiko dan menjamin respons Israel, tapi bagi pemimpin tertinggi dan Garda Revolusi Iran, hal tersebut menjadi setidaknya pilihan yang buruk.

Pada Selasa 1 Oktober, Iran menyerang Israel dengan rudal balistik.

Tempat penyimpanan trauma

Kibbutz Kfar Aza berada sangat dekat dengan kawat yang seharusnya melindungi perbatasan Israel dengan Jalur Gaza.

Kibbutz adalah sebuah komunitas kecil, dengan rumah-rumah sederhana di atas lahan terbuka dengan halaman rumput dan taman yang rapi.

Kfar Aza adalah salah satu target pertama Hamas pada 7 Oktober. Sebanyak 62 orang dari Kibbutz dibunuh oleh Hamas.

Dari 19 sandera yang dibawa dari sana ke Gaza, dua orang dibunuh oleh pasukan Israel setelah mereka melarikan diri. Sebanyak lima sandera dari Kfar Aza masih ada di Gaza, hingga kini.

Tentara Israel membawa para jurnalis ke Kfar Aza pada 10 Oktober tahun lalu, saat daerah itu masih menjadi zona pertempuran.

Kami melihat pasukan tempur Israel masuk ke ladang-ladang di sekitar Kibbutz dan bisa mendengar suara tembakan ketika mereka membersihkan bangunan-bangunan yang mereka curigai sebagai tempat persembunyian para pejuang Hamas.

Zohar Shpak masih mengingat serangan Hamas pada 7 Oktober.

Warga sipil Israel yang tewas oleh Hamas diangkut dengan kantong-kantong mayat dari reruntuhan rumah mereka. Para pejuang Hamas yang tewas oleh tentara Israel ketika mereka bertempur di Kibbutz masih terbaring di halaman rumput yang rapi, menghitam karena membusuk di bawah terik sinar matahari Mediterania.

Setahun kemudian, mereka yang tewas dimakamkan, tapi hanya sedikit yang berubah. Mereka yang hidup belum bisa kembali tinggal di rumah masing-masing.

Rumah-rumah yang hancur tetap dipertahankan seperti saat saya melihatnya pada 10 Oktober tahun lalu, kecuali nama dan foto orang-orang yang hidup dan tewas di dalamnya, dipajang di poster-poster dan tugu peringatan.

Zohar Shpak, seorang warga yang selamat dari serangan tersebut bersama keluarganya, mengajak kami berkeliling ke rumah-rumah tetangganya yang tidak seberuntung itu.

Salah satu rumah memiliki foto besar terpampang di dinding, menunjukkan pasangan muda yang tinggal di sana, keduanya dibunuh oleh Hamas pada 7 Oktober.

Tanah di sekitar rumah-rumah itu telah digali. Zohar mengatakan, ayah pemuda itu telah menghabiskan waktu berminggu-minggu mengayak tanah untuk mencoba menemukan kepala putranya. Anaknya itu dikuburkan tanpa kepala.

Kisah-kisah tentang korban tewas pada 7 Oktober, dan para sandera, sangat terkenal di Israel. Media lokal masih membicarakan dampak yang dialami negara mereka, menambah informasi baru pada rasa sakit yang lama.

Poster-poster yang menandai kengerian itu mulai memudar.

Zohar mengungkapkan, masih terlalu dini untuk memikirkan bagaimana dapat membangun kembali kehidupan mereka.

“Kami masih diliputi trauma. Kami belum berada dalam kondisi pasca-trauma. Seperti kata orang, kami masih di sini. Kami masih dalam perang. Kami ingin perang ini berakhir, tapi kami ingin perang ini berakhir dengan kemenangan, tetapi bukan kemenangan tentara. Bukan kemenangan perang.”

“Kemenangan saya adalah saya dapat hidup di sini, bersama putra dan putri saya, bersama cucu-cucu saya, dan hidup damai. Saya percaya pada perdamaian.”

Zohar dan banyak warga Kfar Aza lainnya mengidentifikasi diri mereka sebagai sayap kiri politik Israel, yang berarti mereka percaya bahwa satu-satunya kesempatan Israel untuk perdamaian adalah dengan memberikan kemerdekaan kepada Palestina.

Warga Israel seperti Zohar dan para tetangganya yakin bahwa Netanyahu adalah perdana menteri yang membawa malapetaka dan memikul tanggung jawab besar karena membuat mereka rentan dan berpotensi untuk diserang pada 7 Oktober.

Namun Zohar tidak mempercayai orang-orang Palestina, orang-orang yang biasa ia antar ke rumah sakit di Israel pada masa-masa yang lebih baik ketika mereka diizinkan keluar dari Gaza untuk perawatan medis.

“Saya tidak percaya orang-orang yang tinggal di sana. Tapi saya ingin kedamaian. Saya ingin pergi ke Pantai Gaza. Tapi saya tidak percaya mereka. Tidak, saya tidak percaya seorang pun dari mereka.”

Malapetaka Gaza

Para pemimpin Hamas tidak menerima bahwa serangan terhadap Israel adalah sebuah kesalahan yang mengakibatkan kemarahan Israel, yang dipersenjatai dan didukung oleh Amerika Serikat hingga ke kepala rakyatnya. Salahkan penjajah, kata mereka, dan nafsu mereka untuk menghancurkan dan membunuh.

Di Qatar, sekitar satu jam sebelum Iran menyerang Israel pada 1 Oktober, saya mewawancarai Khalil al-Hayya, pemimpin Hamas yang paling senior di luar Gaza, orang kedua dalam organisasi mereka setelah Yahya Sinwar.

Ia menyangkal bahwa anak buahnya telah menargetkan warga sipil—meski ada banyak bukti—dan membenarkan serangan tersebut dengan mengatakan bahwa perlu untuk menempatkan penderitaan rakyat Palestina dalam agenda politik dunia.

“Penting untuk meningkatkan kewaspadaan di dunia demi memberi tahu mereka bahwa di sini ada orang-orang yang memiliki tujuan dan tuntutan yang harus dipenuhi. Ini adalah pukulan bagi Israel, musuh Zionis.”

Israel merasakan pukulan tersebut, dan pada 7 Oktober, ketika IDF mengerahkan pasukannya ke perbatasan Gaza, Benjamin Netanyahu berpidato dengan menjanjikan “pembalasan yang dahsyat”.

Dia menetapkan tujuan perang untuk menghabisi Hamas sebagai kekuatan militer dan politik dan membawa pulang para sandera.

Sang perdana menteri terus berkeras bahwa “kemenangan total” adalah mungkin, dan kekuatan itu pada akhirnya akan membebaskan warga Israel yang ditawan Hamas selama setahun.

Lawan-lawan politiknya—termasuk keluarga para sandera—menuduhnya menghalangi gencatan senjata dan kesepakatan penyanderaan untuk menenangkan kaum ultra-nasionalis dalam pemerintahannya.

Dia dituduh menempatkan kelangsungan hidup politiknya sendiri di atas nyawa warga Israel.

Banyak komunitas di Gaza yang dulunya makmur kini menjadi terpencil.

Netanyahu memiliki banyak musuh politik di Israel, meskipun serangan di Lebanon telah membantu memperbaiki hasil pemilunya.

Dia tetap kontroversial, tapi bagi sebagian besar warga Israel, perang di Gaza tidaklah demikian.

Sejak 7 Oktober, sebagian besar warga Israel telah mengeraskan hati mereka terhadap penderitaan warga Palestina di Gaza.

Dua hari setelah perang, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant mengatakan bahwa ia telah memerintahkan “pengepungan total” terhadap Jalur Gaza.

“Tidak akan ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar, semuanya ditutup … Kami memerangi hewan, manusia, dan kami bertindak sesuai dengan hal tersebut.”

Sejak saat itu, di bawah tekanan internasional, Israel terpaksa melonggarkan blokadenya.

Di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada akhir September lalu, Netanyahu berkeras bahwa warga Gaza memiliki semua makanan yang mereka butuhkan.

Benjamin Netanyahu dan Joe Biden pada bulan Juli – Peran Biden, menahan Israel sambil juga memasok senjata, berisiko menyeret AS ke dalam perang yang lebih luas.

Bukti-bukti dengan jelas menunjukkan bahwa hal itu tidak benar.

Beberapa hari sebelum pidatonya, badan-badan kemanusiaan PBB menandatangani sebuah deklarasi, yang secara eksternal menuntut diakhirinya “penderitaan manusia yang mengerikan dan bencana kemanusiaan di Gaza”.

“Lebih dari 2 juta warga Palestina tidak memiliki perlindungan, makanan, air, sanitasi, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pendidikan, listrik dan bahan bakar–kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.”

“Keluarga-keluarga telah dipindahkan secara paksa, berkali-kali, dari satu tempat yang tidak aman ke tempat yang lebih aman, tanpa jalan keluar.”

BBC Verify telah menganalisa kondisi Gaza setelah satu tahun perang.

Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas menyatakan sejauh ini ada hampir 42.000 warga Palestina yang tewas.

Analisis citra satelit oleh akademisi AS Corey Scher dan Jamon Van Den Hoek menunjukkan 58.7% dari seluruh bangunan telah rusak atau hancur.

Keterangan video,Simak video yang diambil oleh BBC dari operator pesawat nirawak di Gaza, yang menunjukkan luasnya kerusakan.

Namun, ada korban jiwa lainnya–pengungsiaan–di mana warga sipil berulang kali diperintahkan untuk pindah oleh IDF.

Dampak dari pergerakan manusia tersebut dapat dilihat dari luar angkasa.

Citra satelit menunjukkan bagaimana tenda-tenda menumpuk dan tersebar di pusat kota Rafah. Ini adalah pola yang berulang di seluruh jalur.

Gelombang pengungsian dimulai pada 13 Oktober, ketika IDF memerintahkan penduduk di bagian utara jalur tersebut untuk pindah ke selatan demi “keselamatan” mereka sendiri.

BBC Verify telah mengidentifikasi lebih dari 130 unggahan media sosial seperti yang dibagikan oleh IDF, yang merinci area mana yang ditetapkan sebagai zona tempur, rute yang harus dilalui, dan di mana jeda sementara pertempuran akan dilakukan.

Secara keseluruhan, unggahan-unggahan yang sering tumpang tindih ini berjumlah sekitar 60 perintah evakuasi mencakup lebih dari 80% jalur Gaza.

Pada banyak pemberitahuan, BBC Verify menemukan detail-detail penting yang tidak terbaca dan batas-batas yang digambar tidak sesuai dengan teks.

IDF telah menetapkan sebuah wilayah pesisir–al-Mawasi–di Gaza selatan sebagai zona kemanusiaan. Tapi, daerah itu masih dibom. BBC Verify telah menganalisis rekaman 18 serangan udara di dalam perbatasan zona tersebut.

Hidup kami tadinya begitu indah, tiba-tiba kami tidak punya apapun

Foto-foto satelit menunjukkan kemacetan besar di Jalan Salah al-Din, setelah Israel memerintahkan pengosongan di wilayah utara Gaza.

Di antara kerumunan orang yang bergerak di Salah al-Din—jalur utama utara-selatan Gaza—terdapat Insaf Hassan Ali, suami dan dua anaknya, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun dan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun.

Sejauh ini, mereka semua selamat, tidak seperti banyak anggota keluarga besar mereka.

Israel tidak mengizinkan jurnalis masuk ke Gaza untuk meliput secara bebas. Kami berasumsi, itu karena Israel tidak ingin kami melihat apa yang telah mereka lakukan di sana.

Kami menugaskan seorang jurnalis lepas Palestina yang tepercaya di dalam Gaza untuk mewawancarai Insaf Ali dan putranya.

Dia berbicara tentang ketakutan yang mereka rasakan saat mereka berjalan ke selatan, bersama mungkin satu juta orang lainnya, atas perintah tentara Israel. Kematian ada di mana-mana, katanya.

“Kami sedang berjalan di Jalan Salah al-Din. Sebuah mobil di depan kami ditabrak. Kami melihatnya, dan mobil itu terbakar…”

“Di sebelah kiri, orang-orang tewas, dan di sebalah kanan, bahkan binatang-binatang seperti keledai dilepar, mereka dibom.”

“Kami berkata, ‘Sudah cukup, kita sudah selesai’. Kami berkata, ‘sekarang roket yang akan datang adalah untuk kita’.”

Keterangan gambar,Insaf membaca Al-Quran bersama putrinya Saba.

Insaf dan keluarganya memiliki kehidupan kelas menengah yang nyaman sebelum perang. Sejak saat itu, mereka mengungsi sebanyak 15 kali atas perintah Israel.

Seperti jutaan orang lainnya, mereka melarat, sering kelaparan, tinggal di sebuah tenda di al-Mawasi—sebuah daerah terpencil di bukit pasir.

Ular, kalajengking dan, cacing raksasa berbisa menyerbu tenda-tenda mereka dan harus disapu bersih. Selain risiko kematian akibat serangan udara, mereka juga menghadapi kelaparan, penyakit dan debu tinja yang dihasilkan ketika jutaan orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang layak.

Insaf menangisi kehidupan lamanya, dan orang-orang yang telah berpulang.

“Hidup kami mulanya begitu indah, dan tiba-tiba kami tidak memiliki apa-apa—tidak ada pakaian, makanan, dan kebutuhan hidup lainnya.”

“Terus-menerus mengungsi sangat berdampak buruk bagi kesehatan anak-anak saya. Mereka mengalami malnutrisi dan terinfeksi penyakit, termasuk disentri amuba dan hepatitis.”

Insaf mengutarakan, pada awal bulan-bulan pemboman Israel terasa seperti “hari kiamat yang mengerikan”.

“Ibu mana pun akan merasakan hal yang sama, siapa pun yang memiliki sesuatu yang berharga dan takut benda itu akan lepas dari tangannya kapan saja.”

“Setiap kali kami pindah ke sebuah rumah, rumah itu akan dibom, dan salah satu anggota keluarga kami akan terbunuh.”

Satu-satunya peluang untuk membuat perbaikan kecil dalam kehidupan Insaf dan keluarganya serta lebih dari dua juta orang lainnya di Gaza, adalah dengan menyetujui gencatan senjata.

Jika pembunuhan ini berhenti, para diplomat mungkin punya kesempatan untuk menghentikan bencana yang lebih besar.

Lebih banyak bencana menanti di masa depan, jika perang terus berlanjut dan generasi baru Israel dan Palestina tidak dapat menghilangkan kebencian dan kengerian yang dirasakan banyak orang saat ini terhadap tindakan pihak lain.

Anak laki-laki Insaf yang berusia 11 tahun, Anas Awad, sangat terpengaruh dengan semua yang ia saksikan.

“Tidak ada masa depan bagi anak-anak Gaza. Teman-teman yang biasa bermain dengan saya telah menjadi martir. Kami biasa berlarian bersama. Semoga Allah mengampuni mereka. Masjid tempat saya biasa menghafal Al-Quran telah dibom. Sekolah saya dibom. begitu juga dengan taman bermain … semuanya telah hilang. Saya ingin perdamaian. Saya berharap bisa kembali bersama teman-teman saya dan bermain lagi. Saya berharap kami punya rumah, bukan tenda.”

“Saya tidak punya teman lagi. Seluruh hidup kami telah berubah menjadi pasir. Ketika saya pergi ke tempat ibadah, saya merasa cemas dan ragu-ragu. Saya merasa tidak baik-baik saja.”

Ibunya mendengarkan.

“Ini adalah tahun tersulit dalam hidup saya. Kami melihat pemandangan yang tak seharusnya kami lihat–mayat-mayat yang berserakan, keputusasaan seorang pria dewasa yang memegang sebotol air untuk diminum anak-anaknya. Tentu saja, rumah kami tidak lagi menjadi rumah, hanya tumpukan pasir, tetapi kami berharap suatu hari nanti kami bisa kembali.”

Citra satelit menangkap perpindahan warga Gaza dari utara ke selatan pada November 2023.

Hukum

Badan-badan kemanusiaan PBB telah mengecam Israel dan Hamas: “Tindakan kedua belah pihak selama setahun terakhir ini merupakan sebuah olok-olok atas klaim mereka untuk mematuhi hukum kemanusiaan internasional dan standar minimum kemanusiaan yang dituntutnya.”

Kedua belah pihak membantah tuduhan bahwa mereka telah melanggar hukum perang. Hamas mengeklaim pihaknya memerintahkan anggotanya untuk tidak membunuh warga sipil Israel.

Adapun Israel mengatakan pihaknya memperingatkan warga sipil Palestina untuk menjauh dari bahaya, tapi Hamas menggunakan mereka sebagai tameng manusia.

Israel diajukan ke Mahkamah Internasional lantaran oleh Afrika Selatan dituduh telah melakukan genosida.

Kepala Jaksa penuntut di Mahkamah Pidana Internasional telah mengajukan surat perintah penangkapan atas berbagai tuduhan kejahatan perang untuk Yahya Sinwar dari Hamas, serta Benjamin Netanyahu dan, Yoav Gallant dari Israel.

Terjerumus dalam ketidakpastian

Bagi warga Israel, serangan Hamas pada 7 Oktober merupakan pengingat yang menyakitkan akan pembantaian selama berabad-abad terhadap orang-orang Yahudi di Eropa yang memuncak pada genosida oleh Nazi Jerman.

Pada bulan pertama perang, penulis dan mantan politisi Israel, Avraham Burg, menjelaskan dampak psikologis yang mendalam pada negaranya.

“Kami orang-orang Yahudi,” katanya kepada saya.

“Kami percaya bahwa negara Israel adalah yang pertama dan terbaik sistem kekebalan dan sistem perlindungannya dibandingkan sejarah Yahudi. Tidak ada lagi pogrom, tidak ada lagi Holocaust, tidak ada lagi pembantaian massal. Dan tiba-tiba, semua itu kembali.”

Hantu-hantu masa lalu juga menyiksa warga Palestina. Raja Shehadeh, penulis terkenal Palestina dan aktivis hak asasi manusia percaya bahwa Israel ingin kembali menciptakan Nakba—sebuah bencana lain: dalam buku terbarunya, What Does Israel Fear From Palestine, ia menulis, “seiring dengan berlangsungnya perang, saya dapat melihat bahwa mereka bersungguh-sungguh dan tidak peduli terhadap warga sipil, termasuk anak-anak.

Di mata mereka, dan juga di mata sebagian besar warga Israel, semua warga Gaza bersalah.”

Tidak ada yang bisa meragukan tekad Israel untuk membela rakyatnya, yang sangat terbantu oleh kekuatan Amerika Serikat.

Tapi jelas bahwa perang telah menunjukkan tidak seorangpun dapat membodohi diri mereka sendiri, bahwa warga Palestina akan menerima hidup selamanya di bawah pendudukan militer Israel, tanpa hak-hak sipil, kebebasan bergerak, dan kemerdekaan yang layak.

Setelah konflik selama beberapa generasi, Israel dan Palestina terbiasa saling berkonfrontasi. Tapi mereka juga terbiasa hidup berdampingan, betapapun tidak nyamannya. Ketika gencatan senjata tercapai, dan dengan generasi pemimpin baru, akan ada peluang untuk kembali mendorong perdamaian.

Namun itu adalah masa depan yang lebih jauh. Sisa tahun ini dan memasuki 2025, dengan presiden baru di Gedung Putih, penuh ketidakpastian dan bahaya.

Selama berbulan-bulan setelah Hamas menyerang Israel, ketakutannya adalah perang akan meluas dan menjadi lebih buruk.

Perlahan, dan kemudian dengan sangat cepat, hal ini terjadi, setelah serangan dahsyat Israel terhadap Hizbullah dan Lebanon.

Sudah terlambat untuk mengatakan bahwa Timur Tengah berada di ambang kehancuran. Israel berhadapan dengan Iran. Pihak-pihak yang bertikai telah terjerumus ke dalamnya, dan negara-negara yang belum terlibat secara langsung tidak ingin ikut terseret ke jurang permasalahan.

Saat saya menulis ini, Israel belum membalas serangan rudal balistik Iran pada 1 Oktober. Ini mengindikasikan bahwa mereka bermaksud memberikan hukuman yang berat.

Presiden Biden dan pemerintahannya, yang terus-menerus menjadi pemasok senjata dan dukungan diplomatik kepada Israel, sedang mencoba mengkalibrasi respons yang mungkin menawarkan Iran sebuah cara untuk menghentikan percepatan peningkatan eskalasi, sebuah ungkapan yang dipakai para ahli strategi untuk menggambarkan bagaimana perang cepat berlalu dari krisis menuju bencana.

Pemilihan Umum AS yang kian dekat, serta dukungan setia Joe Biden terhadap Israel, meskipun ia merasa was-was dengan cara negara tersebut berjuang, tidak memunculkan banyak optimisme bahwa AS akan menemukan jalan keluar.

Sinyal dari Israel menunjukkan bahwa Netanyahu, Gallant, para jenderal IDF dan, badan intelijen yakin bahwa mereka lebih unggul. Tanggal 7 Oktober adalah bencana bagi mereka.

Semua pemimpin keamanan dan militer, kecuali perdana menteri, meminta maaf dan beberapa di antaranya mengundurkan diri. Mereka tidak merencanakan perang dengan Hamas.

Tapi perencanaan perang dengan Hizbullah dimulai setelah perang berakhir pada 2006 dengan kebuntuan yang memalukan bagi Israel. Hizbullah telah menderita dari pukulan yang mungkin takkan pernah bisa pulih kembali.

Sejauh ini kemenangan Israel bersifat taktis. Untuk mencapai kemenangan strategis, mereka perlu memaksa musuh-musuhnya untuk mengubah perilaku mereka.

Hizbullah, meski dalam keadaan terpuruk, menunjukkan bahwa mereka ingin terus berjuang. Melawan infanteri dan tank Israel setelah Lebanon Selatan kembali diserbu mungkin akan meniadakan beberapa keunggulan Israel dalam kekuatan udara dan intelijen.

Jika Iran menjawab pembalasan Israel dengan gelombang rudal balistik lainnya, negara-negara lain mungkin akan ikut terlibat. Di Irak, milisi klien Iran dapat menyerang kepentingan Amerika. Dua tentara Israel tewas akibat drone yang datang dari Irak.

Arab Saudi juga terlihat gugup. Putra Mahkota Mohamed Bin Salman telah memperjelas pandangannya tentang masa depan.

Dia akan mempertimbangkan untuk mengakui Israel, tapi hanya jika Palestina mendapatkan sebuah negara sebagai imbalannya dari Arab Saudi mendapatkan perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat.

Peran Joe Biden, yang secara bersamaan berusaha menahan Israel sambil mendukung dengan senjata, diplomasi dan kelompok penyerang kapal induk, membuat Amerika terlibat dalam perang yang lebih luas dengan iran.

Mereka tidak ingin hal itu terjadi, tapi biden berjanji akan membantu Israel jika diperlukan.

Pembunuhan Israel terhadap Hassan Nasrallah, dan kerusakan yang terjadi pada Iran serta “poros perlawanannya” menumbuhkan serangkaian ilusi baru di kalangan Israel dan Amerika Serikat.

Gagasan berbahayanya adalah, ini merupakan sebuah kesempatan bagi satu generasi untuk membentuk ulang Timur Tengah dengan kekerasan, menegakkan ketertiban, dan mengebiri musuh-musuh Israel. Joe Biden—dan penggantinya—harus mewaspadai hal itu.

Terakhir kali restrukturisasi Timur Tengah dengan kekerasan dipertimbangkan secara serius adalah setelah serangan 9/11 yang dilakukan al-Qaeda di Amerika, ketika Presiden AS George W bush dan Tony Blair, Perdana Menteri Inggris, bersiap-siap untuk menyerang Irak pada 2003.

Invasi ke Irak tidak membersihkan Timur tengah dari ekstremisme kekerasan. Hal tersebut justru memperburuk keadaan.

Prioritas bagi mereka yang ingin menghentikan perang ini adalah, gencatan senjata di Gaza. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menenangkan keadaan dan menciptakan ruang bagi diplomasi. Perang tahun ini dimulai di Haza. Mungkin bisa berakhir di situ pula.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.