Diperkirakan 80.000 orang yang dicap Partai Komunis Indonewsia (PKI) telah dibunuh di Bali selama pembantaian massal 1965-1966. Operasi ini, menurut temuan sejumlah sejarawan, dikendalikan oleh Angkatan Darat. Dalam sejumlah kasus, militer melibatkan milisi sipil untuk melakukan pembantaian. BBC News Indonesia bertemu dua orang yang ayahnya dulu dijuluki ‘algojo’ di Jembrana, Bali.
“Bapak saya minum darah pimpinan PKI setelah membantainya.”
Ida Bagus Ketut Sulinggih mengungkap sepak terjang ayahnya ketika orang-orang yang dicap PKI di Bali dibantai pada 1965-1966.
“Bapak sudah bersumpah untuk meminum darahnya,” katanya dalam wawancara di rumahnya di Desa Batu Agung, Jembrana, Bali, Rabu, 4 September 2024.
Tindakan itu dilakukannya agar dia tetap ‘kuat’ dan ‘bersemangat’.
Sebelum kudeta yang gagal di Jakarta pada 1 Oktober 1965, ayahnya sudah bersitegang dengan pentolan partai berlambang palu arit di Kota Singaraja, Bali, itu.
“Bapak sudah diancam beberapa kali oleh dia,” ujarnya.
Bahkan, sambungnya, orang tersebut memimpin massa pro-PKI untuk mengeroyok bapaknya. Ini terjadi sebelum pecah G30S pada 1 Oktober 1965.
Ida Kade Sabah (tengah, berkaos biru pucat) diabadikan pada 1990-an pada sebuah acara keagamaan. Pada 1965-1966, dia anggota tameng PNI yang bertugas membantai orang-orang yang dituduh PKI.
Nama bapaknya: Ida Kade Sabah, anggota kelompok milisi bersenjata atau tameng Partai Nasional Indonesia (PNI). Sulinggih menggambarkan sosok bapaknya berperawakan tinggi besar.
Kelompok tameng ini berperan besar dalam pembantaian orang-orang yang dituding PKI di Bali.
Diyakini 80.000 orang tewas dalam operasi pembasmian di pulau itu sejak Desember 1965 hingga awal 1966.
Sulinggih, kelahiran 1978, mewarisi cerita lisan langsung dari ayahnya. Sang bapak mengisahkannya secara berulang-ulang sejak dia masih ingusan.
“Saya masih kecil, setiap bapak saya cerita ke orang lain, saya selalu duduk di pangkuannya,” kata Sulinggih.
Sekelompok milisi tameng PNI, kira-kira akhir 1966. Milisi tameng mengenakan baju hitam dan lencana dengan bintang bersudut lima.
Dia lalu teringat Sabah terlibat aksi pembantaian terhadap sejumlah pimpinan PKI di Singaraja, Bali, setelah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tiba di sana.
“Bapak terlibat penumpasan PKI bersama RPKAD,” kata Sulinggih.
Dia berulang kali mengatakan bahwa ayahnya terlibat di dalamnya karena ditugaskan pemerintah melalui kehadiran pasukan militer itu.
Anggota kelompok milisi antikomunis Pemuda Marhaen memegang golok di Bali, sekitar 1965.
Pasukan elite Angkatan Darat itu, seperti diketahui, tiba pada pekan kedua Desember 1965.
Walaupun kehadiran RPKAD diklaim untuk menghentikan pembantaian, tapi bukti-bukti menunjukkan sebaliknya.
Kehadiran RPKAD justru melonjakkan aksi pembantaian, kata sejarawan.
Ida Ketut Sulinggih mengaku ayahnya mengalami trauma setelah terlibat dalam pembantaian 1965-1966 di Bali. “Bapak saya mendapat tugas dari pemerintah, dalam hal ini RPKAD,” aku Sulinggih.
Apa senjata yang digunakan ayah Anda? Tanya saya.
“Hanya pedang,” akunya. Dia juga dibekali senjata api oleh perusahaan perkebunan negara, tapi jarang dipakai.
Di Singaraja, Sabah menjadi semacam koordinator keamanan di lokasi perkebunan milik pemerintah. Lokasinya tak jauh dari Teluk Terima di Kabupaten Buleleng, Bali.
Ketika bertugas di sanalah, sebelum kudeta yang gagal di Jakarta pada 1 Oktober 1965, Sabah acap berkonflik dengan para simpatisan PKI terkait kebijakan land reform.
Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo (1925-1989), 1 Januari 1966. Sejumlah sejarawan menemukan bukti bahwa pengiriman pasukan RPKAD ke Bali pada awal Desember 1965 justru mendongkrak pembantaian.
Dalam operasi pembasmian PKI di sebagian wilayah Singaraja, Sabah ditugaskan membakar rumah-rumah simpatisan PKI pada malam-malam hari.
Sebelumnya rumah-rumah itu sudah diberi ‘tanda’ agar dibakar. Di sinilah, menurut Sulinggih, bapaknya dihadapkan dilema.
“Karena semua penduduk di sana dikenal bapak. Mereka tidak ada yang salah,” kata Sulinggih menirukan apa yang diutarakan bapaknya.
Namun di sisi lain dia tak bisa menolak instruksi Angkatan Darat untuk melaksanakan penumpasan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
Akhirnya, sang bapak menggedor rumah orang-orang dari belakang, agar mereka dapat kabur melalui pintu depan.
Pembongkaran kuburan massal korban pembantaian 1965 di Dusun Masean, Desa Batuagung, Jembrana, Bali, 29 Oktober 2015. Adik Ida Kade Sabah juga menjadi korban dan jasadnya dikubur di sana.
“Sehingga bapak tidak sampai menangkapnya,” ungkapnya.
Pada momen lainnya, warga yang dicap sebagai anggota PKI mendatangi ayahnya dan meminta pertolongan agar mereka jangan dibantai.
“Tapi bapak tidak bisa beri bantuan secara maksimal,” ungkap Sulinggih.
Bapak hanya menyarankan mereka untuk melarikan diri ke hutan atau membuat lubang-lubang perlindungan.
Menurut Sulinggih, ada dua peristiwa kekerasan lainnya yang amat membekas dan membuat ayahnya trauma.
Pasukan Angkatan Darat di sebuah acara, 17 Januari 1966. Akong menyatakan, ayahnya menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh RPKPAD selama pembantaian 1965-1966 di Bali.
Pertama, suatu saat, bapaknya menolak instruksi seorang pimpinan RPKAD untuk mengeksekusi orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI. Lokasinya di sebuah tanah lapang di wilayah Singaraja.
Orang-orang itu sudah dibariskan dengan tangan terikat. Sulinggih lantas menirukan percakapan antara bapaknya dengan sang komandan RPKAD.
“Gus [panggilan bapaknya], tolong kamu bunuh orang-orang ini!“
“Maaf pak, saya tidak bisa.“
Menurut Sulinggih, ayahnya beralasan: Tiap hari selalu bertemu orang-orang itu. Mereka adalah temannya mengobrol dan minum kopi.
Membawa bambu runcing dan senjata tajam, sekelompok orang tampak siap bertarung. Para pemuda ini tengah mengiringi pasukan Angkatan Darat di sekitar Gunung Merapi, Jawa Tengah, untuk mencari pemimpin PKI, D. A. Aidit, dan pengikutnya, 17 November 1965.
“Saya tidak mungkin membunuh orang yang saya kenal dan mereka tidak bersalah,” kata Sulinggih menirukan ucapan ayahnya.
Orang-orang itu akhirnya tewas ditembak, tapi bukan di tangan ayahnya.
Setelahnya, “bapak saya nangis melihat banjir darah di sana.”
Peristiwa lainnya yang membuat ayahnya trauma adalah saat membunuh seorang pimpinan PKI yang juga pemangku atau rohaniawan Hindu.
Di wilayah Jembrana, Bali, saat pembunuhan massal 1965-1966, sumur-sumur milik warga sering dijadikan lokasi pembuangan mayat orang-orang komunis. Di sudut Desa Tegalbadeng, seorang saksi mata (tengah) menunjukkan kami bekas sumur yang sudah diuruk tanah.
Konon, ketika hendak dibunuh, sejumlah anggota tameng PNI dan Ansor tak ada yang mampu melakukannya. Dia sedang bermeditasi.
Sabah lantas turun tangan. Dia hanya menyentuh pundak korban dengan pedangnya, sang pemangku akhirnya meninggal dunia. Bapaknya meyakini sang pemangku ingin mati di tangannya.
“Di sinilah, ayah saya kemudian meminta maaf,” ungkap Sulinggih.
Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap di Pulau Jawa oleh aparat militer, setelah 1 Oktober 1965.
Setelah gejolak politik berakhir, Sabah dihantam trauma berkepanjangan. Sabah sempat menjauhi aktivitas bermasyarakat dengan menyepi di hutan. Dia meninggal pada 1998.
Sulinggih kurang setuju apabila ayahnya disebut sebagai algojo atau tukang jagal.
Dia dapat memahami jika ayahnya disebut sebagai anggota tameng. Dan dia mengaku sebutan itu tak membuatnya terbebani.
Menurutnya, ayahnya dipaksa untuk menjalankan instruksi Angkatan Darat untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya.
Situasi dan kondisi saat itulah yang disebutnya membuat sang bapak menjalankan peran seperti itu.
Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965.
Lagipula, sambungnya, situasinya tidak sehitam-putih seperti yang dibayangkan.
Sulinggih lantas bercerita bahwa adik bapaknya dibantai oleh tameng lantaran menjadi simpatisan PKI di Desa Batu Agung, Jembrana.
Mengetahui adiknya dibantai, Sabah sempat marah.
Sabah sempat mencari siapa aktor di belakang terbunuhnya sang adik. Dia memang berhasil membekuknya tukang jagalya.
Di hadapan Sabah, sang algojo meminta maaf berulang kali, seraya memberikan jawaban: “Saya cuma menjalankan perintah.”
Sabah kemudian membatalkan rencananya untuk menembak sang pelaku pembantai adiknya.
‘Bapak saya korban, dia dibunuh kalau menolak perintah tentara’
Nur Hariri alias Akong berujar ayahnya menjalankan tugas negara pada 1965-1966. “Jika bapak saya menolak tugas [sebagai eksekutor], dia bisa ‘didor’,” ujarnya.
Tukang jagal terkenal saat pembasmian PKI pada 1965-1966 di Jembrana, Bali, bernama Nawawi.
Menurut anak Nawawi, bapaknya mengaku telah membantai setidaknya 100 orang yang dicap PKI di Kota Negara dan sekitarnya.
Namun sang anak mengatakan julukan algojo yang disematkan kepada bapaknya tidaklah tepat.
“Itu kan orang lain yang memberi julukan tukang jagal,“ kata salah seorang anak Nawawi, Nur Hariri alias Akong.
“Sebetulnya bapak saya itu memang takut membunuh,” klaimnya.
Tapi, sambungnya, ketika negara dalam keadaan gawat, bapaknya ‘dipaksa’ untuk bertindak untuk membunuh orang-orang yang dicap anggota PKI.
“Boleh dikata bapak saya itu ditodong senjata untuk laksanakan eksekusi,” klaim pria kelahiran 1962 ini.
Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965
“Kalau tidak [mau melaksanakan], tak ‘dor’ kamu,” kata Hariri menirukan pengakuan langsung dari bapaknya.
Hariri menjadi tahu sepak terjangnya pada bulan-bulan penuh gejolak itu lantaran berulang kali diceritakan.
Kami mewawancarai Nur Hariri di rumahnya di Desa Loloan Timur, Kamis, 5 September 2024 lalu.
Dia mengenakan kopiah putih, kemeja putih dan bersarung. Rokok terus mengepul dan terus menemaninya selama wawancara.
Desa Loloan Timur merupakan kawasan yang dihuni mayoritas Muslim. Sebagian besar penghuninya berasal dari Sulawesi Selatan, Madura hingga Jawa.
Sebagian besar mereka sudah puluhan tahun beranakpinak di sana. Di sanalah para pegiat Ansor melakukan rapat-rapat untuk mengganyang simpatisan dan anggota PKI pada masa-masa itu.
MOrang-orang yang dituduh komunis dimasukkan ke liang sebelum dieksekusi, sekitar 1965-1966. (Tanpa keterangan tempat).
Nawawi, kata Hariri, memiliki pedang panjang dan pegangannya terbuat dari tanduk kerbau.
Hariri melebarkan lengannya untuk menggambarkan kira-kira berapa panjangnya.
“Satu kali [tebasan], putus [leher korban],” kata Hariri terbahak.
Setiap menghabisi korban, menurut Hariri, bapaknya menjilat darah korban.
L
“Supaya tidak panas, supaya tidak inget-ingetan.”
Di mana saja bapak Anda saat itu beroperasi melakukan pembantaian? Tanya saya.
Hariri menjawab: “Di sini [Loloan Barat] dibabat dulu. Kemudian pindah-pindah.“
Mayat-mayat korban kemudian dikubur di sumur-sumur milik warga di Desa Tegalbadeng, ujarnya.
Sekelompok mahasiswi berunjukrasa meneriakkan slogan anti imperialisme Amerika Serikat. Mereka membakar patung Dubes AS, Howard P. Jones dan Perdana Menterui Malaysia Tunku Abdul Rahman. Aksi digelar 19 Agustus 1964.
Hariri tak begitu tahu persis apakah bapaknya dulu aktif di Ansor atau kelompok milisi PNI alias tameng.
Reputasi bapaknya sebagai algojo sudah dikenal seantero Kota Negara. Sehingga, sebagian tetangganya yang rumahnya dijarah meminta perlindungannya.
“Bapak saya ditakuti di sini,” akunya.
Di masa Orde Baru, reputasinya itu berlanjut. Dia beberapa terlibat sebagai barisan pembela Partai Golkar. “Makanya banyak pejabat dekat dengan bapak saya.”
Seingat Hariri, bapaknya tidak pernah menyesali apa yang diperbuatnya selama masa pembantaian orang-orang PKI pada 1965-1966.
Bukankah tindakan bapak Anda itu keji, membunuh orang-orang yang belum tentu bersalah? Tanya saya.
Kantor pusat PKI di Jakarta, pada 8 Oktober 1965, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul peristiwa G30S.
“Karena tidak mengenal pengadilan [waktu itu]. Belum tahu tentang hukum. Ya, biasa saja,“ Akong lagi-lagi menutup kalimatnya dengan tergelak.
Namun dia cepat-cepat menambahkan. Kalau bapaknya tidak melaksanakan pembunuhan, nyawanya akan terancam.
“Itulah yang terjadi pada 1965,“ kata Hariri, menekankan.
Kini, setelah 59 tahun kemudian, Hariri menganggap semua itu sudah menjadi masa lalu. Sudah berjarak, begitulah.
Lagipula, para algojonya sudah banyak yang meninggal. Sangat mungkin para keturunannya tidak memahami secara persis apa yang terjadi saat itu.
“Sehingga tidak ada lagi dendam.”
Suasana perayaan ulang tahun PKI ke 45 di Jakarta, 7 Mei 1965, lima bulan sebelum G30S
Tentu saja situasi ‘tidak ada dendam’ itu mesti terus dipelihara, katanya.
“Caranya, ya, membangun kepercayaan. Yang dulu [kejadian kekerasan], ya dululah. Ke depannya kita berpikir yang baru. Jangan mengorek-ngorek lagi masa lalu,” ujar Hariri. Dia lalu menyebutkan istilah silaturahmi.
Dia lalu bercerita ada satu kejadian ketika anak korban yang dulu dibunuh bapaknya, mengungkitnya kembali.
“Saya tidak tahu. Saya masih kecil,” akunya saat yang bersangkutan mengungkit masalah itu kepadanya.
Percakapan itu kemudian tak berlanjut. Barangkali yang bersangkutan menyadari hal itu tak pantas dibicarakan di hadapannya. Mungkin juga lantaran mereka sudah sama-sama beranjak tua.
Kerumunan orang-orang membakar tumpukan kertas dan dokumen lain terkait PKI di sebuah lokasi di Jakarta, 10 Desember 1965.
Namun di sisi lain, sambungnya, yang bersangkutan sampai sekarang bersahabat dengan adik bapaknya.
Hariri kembali menekankan bahwa ayahnya termasuk korban. Sang bapak dipaksa Angkatan Darat untuk menjalankan operasi ‘pembasmian PKI sampai ke akar-akarnya’.
“Kami keberatan kalau korban hanya di pihak sana. Kita juga korban penekanan [aparat militer]. Kita sama-sama korban.
“Kalau bapak saya tidak melaksanakan perintah itu, kami tidak punya orang tua lagi,” Nur Hariri lagi-lagi tergelak.
Jadi, Anda menyebut kekerasan 1965 itu tanggung jawab negara dan bukan tanggungjawab pribadi? Kami bertanya.
“Negara terlibat! Senjata api [yang diberikan kepada milisi antikomunis] itu dari mana?” katanya lantang.
“Kalau bapak saya tak laksanakan [pembantaian], di’dor’ dia,” tandasnya.
Artikel ini merupakan tulisan kedua dari liputan khusus Pembantaian massal 1965-1966 di Bali.
Anda dapat membaca tulisan pertama Hantu-hantu ‘Toko Wong’ dan pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Ratusan orang ditembak senapan mesin’.
sumber: bbc