Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP terkait pengambil paksaan anak yang belum cukup umur oleh ayah atau ibu kandung dari kekuasaan hak asuh yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Walaupun tidak dapat mencampuri masalah laporan penggugat yang ditolak kepolisian, MK menyatakan seharusnya polisi “tidak ragu” untuk mengambil tindakan.
Permohonan atau gugatan ini sebelumnya diajukan oleh lima ibu tunggal yang anaknya ‘diculik’ oleh mantan suami mereka.
Dan ketika para ibu ini melaporkan penculikan tersebut ke polisi, ditolak dengan alasan yang mengambil paksa adalah ayah kandung dari anak sehingga tidak bisa dipidana.
Akibatnya selama bertahun-tahun mereka tak tahu di mana keberadaan buah hatinya.
Itu sebabnya dalam gugatan tersebut para pemohon ingin agar Pasal 330 ayat 1 KUHP yang memiliki frasa ‘barang siapa’ diubah menjadi ‘setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak’.
Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya permohonan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP.
Tafsir MK: Ayah atau ibu kandung yang mengambil paksa anak bisa dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP
Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Kamis (26/09), menolak permohonan penggugat.
Alasan MK, Pasal 330 ayat 1 KUHP telah memberi perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil.
Ini sesuai dinyatakan dalam Pasal 28B ayat 2 dan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945.
Sebab frasa ‘barang siapa’, menurut tafsir Mahkamah, sudah mencakup setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.
“Bahwa frasa barang siapa dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP merupakan padanan kata dari bahasa Belanda ‘hi die’ yang banyak digunakan dalam rumusan KUHP yang menunjuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana,” ujar Hakim MK Arief Hidayat.
“Bahwa subjek hukum yang menjadi sasaran norma menggunakan frasa ‘barang siapa’ seperti dalam ketentuan Pasal 330 ayat 1 KUHP… tidak memberikan limitasi, pengecualian atau kualitas terhadap orang sebagai subjek hukum,” sambungnya.
Angelia Susanto memegang foto anaknya Enrico Johannes Susanto Carluen yang tak diketahui keberadaaannya sejak tahun 2020.
Selain itu, menurut Mahkamah, merujuk pada UU KUHP yang baru dan akan berlaku pada Januari 2026 nanti, rumusan Pasal 330 ayat 1 telah diperbaiki melalui penggunaan frasa ‘setiap orang’.
MK juga menyatakan dalam hal perbuatan dari orang tua kandung anak bukan pemegang hak asuh melakukan pengambil paksa dan menguasai anak “dapat dianggap merupakan tindak pidana sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana”.
Sehingga meskipun yang mengambil anak adalah orang tua kandung, jika dilakukan secara paksa tanpa hak/izin maka tindakan tersebut “termasuk dalam Pasal 330 ayat 1 KUHP”.
“Artinya jika pengambil anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki izin hak asuh atas putusan pengadilan dilakukan tanpa sepengetahun dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dengan disertai paksaan atau ancaman maka tindakan itu dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat 1 KUHP”.
Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah ajukan ‘pendapat berbeda’
Namun demikian pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut datang dari Hakim Konstitusi, M Guntur Hamzah.
Ia menyatakan MK semestinya mengabulkan untuk sebagian permohonan para pemohon dengan memberikan tafsir norma Pasal 330 ayat 1 KUHP sepanjang frasa ‘barang siapa’ bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung’.
Sehingga pasal yang diuji ini akan berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
MK: Penyidik Polri jangan ragu terima laporan
Dalam bagian lain putusannya, MK menanggapi persoalan para pemohon yang ditolak laporannya oleh polisi.
Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menilainya.
Namun, jika mencermati penegasan MK dalam pertimbangan hukum di atas, “seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat 1 KUHP,” ujar Hakim MK, Arief Hidayat.
“Dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini adalah orang tua kandung anak baik ayah atau ibu.”
Kisah ibu yang anaknya diambil paksa mantan suami
Coretan tangan dari bocah berusia enam tahun itu menghampar di setiap sudut apartemen Angelia Susanto.
Gambar mobil Ferarri yang diwarnai krayon hijau menempel di pintu kulkas meski sudah lusuh dan koyak di beberapa bagian.
Stiker mobil-mobilan yang dikelir aneka warna, juga dibiarkan menghiasi dinding kamarnya yang bercat putih.
“Ini EJ yang gambar, dia senang menggambar, jadi modal saya buku gambar, spidol, krayon… udah begitu aja bakal anteng,” cerita Angelia Susanto sambil menunjuk ke pintu kulkas yang penuh dengan kreasi tangan anaknya.
Di ruang tengah apartemennya, mobil mainan berwarna merah yang sering dipakai EJ keliling kamar masih dibiarkan teronggok bersama beberapa sepeda anaknya.
Tas sekolah, buku gambar, bola basket, pakaian dan segala hal miliknya dibiarkan di tempat semula.
“Semuanya memang saya biarkan seperti dulu, jadi kalau nanti EJ pulang dia masih bisa lihat semuanya masih sama,” ucapnya penuh harap.
Angelia menunjukkan hasil karya anaknya EJ yang masih dibiarkan menempel di pintu kulkas dan dinding kamarnya.
Enrico Johannes adalah anak satu-satunya Angelia Susanto yang lahir pada 5 Juni 2013.
Tapi empat tahun lalu – tepatnya pada 30 Januari 2020 – Angelia mengeklaim putranya itu diculik oleh seseorang dalam perjalanan menuju sekolah. Angelia menduga orang tersebut adalah ayah kandung EJ.
Setiap kali mengingat peristiwa tersebut, Angelia tak bisa menahan tangis.
Air matanya tumpah, tapi suaranya tersendat. Terasa seperti jeritan seorang ibu yang merindukan sang anak.
“Saya tidak akan lupa seumur hidup saya,” ungkapnya sambil menyeka air mata.
“Saya cuma pernah merasakan [kehilangan yang berat] waktu ayah saya meninggal.”
“Rasanya saya mau mati saat itu juga, karena satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal.”
KDRT dalam pernikahan
Angelia menikah dengan mantan suaminya pada 2001.
Keduanya berkenalan ketika Angelia masih duduk di bangku kuliah. Sementara pasangannya adalah warga Filipina yang kala itu bekerja di Indonesia sebagai IT Specialist.
Meskipun usia mereka terpaut jauh – delapan tahun – Angelia tak mempersoalkan hal itu. Mereka pun menikah di Bogor, Jawa Barat.
Di awal-awal pernikahan, Angelia mengaku hubungannya dengan sang suami berjalan harmonis.
Hingga suatu saat, Angelia ditugaskan ke Singapura pada 2005.
Setahun kemudian, suaminya itu menyusul dan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia, kemudian tak pernah bekerja lagi.
Setiap kali mengingat sang anak, Angelia tak bisa memendung air matanya.
Pada momen itulah, klaim Angelia, masalah di rumah tangganya mulai bermunculan hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun fisik.
Mulanya dia mengaku “menerima saja” perlakuan sang suami karena dianggap pertengkaran biasa yang akhirnya akan “baikan lagi”.
Itu kenapa, Angelia mengaku dirinya tak pernah melakukan visum.
“[Pertengkaran] untuk hal-hal kecil, yang saya pikir enggak akan menjadi masalah. Contoh, saya beli tisu dengan merek berbeda dari yang dia mau, bisa berantem.”
“Segala barang penempatannya harus dia yang menentukan.”
“Kalau marah, agresinya menghancurkan barang, bentak-bentak [saya]. Bodohnya saya tidak pernah melakukan visum dan [dia] kalau pukul di area yang sulit berbekas,” klaim Angelia.
Menurut Angelia, kelahiran putranya, Enrico Johannes, pada 2013, tak juga membuat pertengkaran dan kekerasan yang dialaminya mereda.
Alih-alih, klaim Angelia, ada kejadian dia dipukul saat sedang menyusui.
Angelia juga mengeklaim sang suami melakukan kekerasan psikis terhadapnya.
“Dia seperti mengecilkan harga diri saya dengan membuat saya tidak ada apa-apanya. Dan itu diulang-ulang terus, saya dibuat ketergantungan psikis yang sangat besar,” kata Angelia.
“Itu yang membuat saya berpikir, ini enggak bisa dibiarkan,” sambungnya.
Angelia mengatakan dirinya semakin yakin untuk bercerai karena, menurutnya, kekerasan verbal dan fisik terus berlangsung ditambah tekanan psikis dari suami.
Angelia akhirnya mengajukan permohonan cerai setahun setelah pulang ke Indonesia pada tahun 2015 ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Dia beralasan sudah tak sanggup lagi menanggung kekerasan yang dialami, apalagi sampai membahayakan anaknya.
Akan tetapi, proses perceraian itu tak berjalan mulus sebab suaminya tersebut menolak berpisah jika tak diberikan harta gono-gini yang nilainya mencapai miliaran rupiah, klaim Angelia.
Tak ada pilihan lain, Angelia pun menerima persyaratan tersebut. Bekas suaminya pun akhirnya menandatangani surat persetujuan cerai, kata Angelia.
Pada 24 Oktober 2017, hakim PN Jakarta Pusat mengetok palu: mengabulkan perceraian dan menjatuhkan hak asuh serta pemeliharaan anak kepada penggugat, yakni Angelia Susanto.
Namun, menurut Angelia, mantan suaminya tiba-tiba mengajukan banding bahkan kasasi.
Belakangan semua putusan hukum menguatkan putusan PN Jakarta Pusat yang berpihak pada Angelia.
“Jadi benar-benar selesai itu 7 September 2020 [dengan putusan kasasi Mahkamah Agung].”
Hari terjadinya dugaan penculikan EJ
Putusan cerai Angelia dan suaminya yang dibacakan hakim PN Jakarta Pusat menyebutkan:
“Bahwa… hak asuh anak dijatuhkan kepada penggugat [Angelia Susanto], oleh karena anak tersebut masih berusia balita saat ini ada di bawah asuhan penggugat, maka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan asas kepatutan, hak asuh terhadap anak tersebut diserahkan kepada penggugat dengan ketentuan tidak membatasi hak-hak tergugat selaku ayahnya untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya tersebut dalam waktu tertentu dengan sepengetahuan penggugat.”
Seperti apa yang tertulis dalam putusan, Angelia mengaku tak pernah menghambat atau melarang mantan suami bertemu anaknya.
Mereka bertemu tiap pekan atau dua pekan sekali, kata Angelia.
Semua keperluan EJ dipenuhi Angelia, tak ada sepeser pun dari mantan suami, klaimnya.
“Dia sama sekali enggak mau membiayai anaknya, bayarin beli kacamata atau sepeda aja enggak mau,” ujarnya geram.
Angelia mengaku takkan lupa hari di saat anaknya diambil paksa oleh mantan suami. Ia bilang rasanya seperti mau mati.
Hingga akhirnya hari yang tak akan pernah dilupakan oleh Angelia itu terjadi: Kamis, 30 Januari 2020.
Kala itu, Angelia menuturkan bahwa dirinya bangun pagi-pagi untuk menyiapkan perlengkapan sekolah anaknya.
Seperti biasanya, sehari-hari EJ berangkat dengan mobil antar jemput sekolah. Tak ada yang janggal waktu itu, ungkap Angelia.
“EJ cium saya dan bilang, ‘Mama I go, I love you…’ dan saya bilang hal yang sama, ‘I love you too, be good’. Terus dia berangkat, saya ke kantor.”
Siang harinya, sekitar pukul 14.00 WIB, Angelia mengaku mendapat telepon dari sopir mobil jemputan putranya. Sang sopir bertanya: “Mama EJ, EJ ada di mana?”
Semula Angelia mengira pertanyaan itu hanya bergurau. Namun ketika sang sopir mempertegas bahwa EJ tak ada di sekolah, Angelia langsung kalang kabut.
Pada saat itulah, kata Angelia, si sopir mengeklaim bahwa dia diberhentikan oleh seorang pria berjaket hitam yang mengendarai motor BM (Brigade Motor) di jalan layang non tol Casablanca, Jakarta Selatan.
Si sopir, kata Angelia, dituduh melanggar lalu lintas oleh pria tersebut – yang dikira sebagai petugas polisi karena meminta si sopir menyerahkan SIM, STNK dan KTP.
Berdasarkan keterangan sopir kepada Angelia, ketika sopir sedang repot dengan pria tersebut, tiba-tiba sebuah mobil datang dan berhenti persis di depan kendaraan jemputan.
Seorang pria turun dari mobil dan langsung mengambil EJ yang duduk di kursi belakang kendaraan jemputan, kata Angelia menirukan pemaparan sang sopir.
Tas sekolah EJ dan mainan favoritnya dibiarkan teronggok di apartemen.
Si sopir, kata Angelia, mencoba menghalangi namun dicegah oleh pria berjaket hitam yang dikira sebagai polisi tersebut.
“Pak Ujang (nama sang sopir) dengar pria yang mengambil EJ teriak mengaku bapaknya EJ dan akan mengantar EJ ke sekolah supaya enggak terlambat,” ujar Angelia.
Sekilas, menurut penjelasan sopir itu, ia melihat EJ sempat berontak ketika dibawa paksa. Tapi tak lama, bocah enam tahun itu sudah duduk dengan kepala bersandar pada sandaran kursi seperti dalam posisi tertidur.
“Karena EJ kelihatan anteng, jadi sopir percaya pria itu bapaknya,” kata Angelia.
“Mereka [pria berjaket hitam dan pria yang mengaku ayah EJ] pergi, dan sopir dilepaskan,” sambungnya.
‘Rasanya saya mau mati’
Perempuan paruh baya ini tak bisa lagi menahan diri untuk tak menangis.
Suaranya mulai bergetar. Bicaranya semakin pelan. Sesekali dia mengusap air matanya.
Selama beberapa menit, dia mencoba menenangkan diri, mengatur napas, dan melanjutkan ceritanya. Ia berkali-kali bilang tak akan pernah melupakan hari itu.
Begitu tahu anaknya diduga culik, badannya terasa lemas. Dia menuding mantan suaminya mengambil paksa anak mereka satu-satunya.
“Perasaan saya, rasanya mau mati saat itu juga. Satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal,” ungkapnya dengan derai tangis.
“Alasan saya minta cerai, saya mau melindungi EJ. Tapi sekarang dia diambil orang ini dan saya enggak bisa menepati janji melindungi EJ.”
Angelia masih menyimpan semua barang milik anaknya, EJ. Dia ingin semua masih dalam keadaan sama ketika anaknya pulang suatu hari nanti.
Tapi Angelia tak diam begitu saja.
Dia pergi ke Kedutaan Besar Filipina untuk mengecek catatan perjalanan mantan suami dan anaknya ke luar negeri. Namun sia-sia, tak ada informasi apa pun.
Ia kemudian melaporkan kejadian dugaan penculikan itu ke Subdit Renakta Polda Metro Jaya dengan Pasal 330 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana pengambilan anak.
Hanya saja, klaim Angelia, laporannya tak diterima oleh kepolisian. Polisi justru mengarahkan ke Pasal 76/77 UU nomor 35 Tahun 2014 tentang perlakuan salah dan penelantaran anak.
Segala upaya untuk menghubungi mantan suaminya juga percuma, tak ada yang menjawab, kata Angelia.
Dari keterangan pihak imigrasi kepadanya, tak ditemukan data lintas mantan suaminta atau EJ keluar Indonesia. Ada dugaan, EJ dibawa kabur tanpa paspor secara ilegal lewat jalur penyelundupan dari Manado-Davao yang sangat berbahaya.
Pada 14 Februari 2020, Angelia kembali melaporkan bekas suaminya itu ke Subdit Jatanras atas dasar penculikan Pasal 328 KUHP. Begitu tahu bahwa yang dilaporkan ayah anaknya, kata Angelia, polisi terkesan mengabaikan.
“Begitu tahu ini bapaknya, dianggap enggak mungkin, dianggap enteng. Jadi sampai sekarang enggak ada tindak lanjut,” kata Angelia.
Hampir tiga tahun setelah Angelia melaporkan dugaan penculikan putranya ke Subdit Renakta Polda Metro jaya, akhirnya polisi menetapkan mantan suaminya sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 11 Juli 2023.
Angelia bercerita EJ sangat suka menggambar, karena itulah dia selalu menyiapkan crayon dan buku gambar di rumah.
Akan tetapi, hingga detik ini, tak ada satu pun petunjuk terkait keberadaan putranya EJ.
Bayangan EJ yang ketakutan kala melintas “jalur tikus” dan berbahaya menuju Filipina selalu muncul di benak Angelia.
“Dia pasti nangis-nangis cari mamanya setiap malam. Orang tua seperti apa yang tega, anaknya nangis cari mamanya dan dibiarkan?” ucapnya sambil menangis sesenggukan.
Perlakuan yang dia terima saat berumah tangga membuatnya sangat khawatir mantan suaminya itu akan menyakiti EJ mengingat perangainya kejam dan tak bisa mengontrol emosi.
“Demi Tuhan, saya takut dia tidak bisa mengendalikan kemarahannya, apalagi kalau EJ nangis cari saya, saya harap EJ enggak diapa-apain.”
Selama pencarian sang anak, Angelia mengaku pernah goyah dan sempat mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali. Tapi urung dilakukan, karena dia ingat janjinya pada EJ: “Saya janji enggak akan pernah ninggalin dia. EJ harus tahu mama enggak pernah berhenti cari EJ.”
“Saya enggak boleh mati sebelum menemukan anak saya.”
Cleo Shelvia juga tak tahu keberadaan anaknya Ezekiel Gionata atau Jojo.
Kisah kehilangan anak juga dialami Cleo Shelvia.
Perempuan 31 tahun ini sudah hampir dua tahun tak mengetahui keberadaan putranya, Ezekiel Gionata Purba. Shelvia menuding mantan suaminya mengambil paksa Ezekiel pada 7 September 2022.
Peristiwa itu sepenuhnya telah mengubah hidupnya menjadi ‘neraka’, klaim Shelvia.
Ia terus dihantui trauma, cemas, curiga, dan rindu setengah mati pada anaknya yang kerap dipanggil Jojo.
Ketika ditemui di sebuah apartemen di kawasan Jakarta tempat dia sementara tinggal, Shelvia mengaku kerap berpindah-pindah tempat tinggal karena merasa tak aman menetap di suatu tempat. Bahkan ketika dia tinggal di rumahnya sendiri di Bekasi, Jawa Barat.
Tapi ke mana pun Shelvia pergi, satu koper berisi baju, mainan, dan buku cerita kesayangan anaknya selalu diboyong.
“Ini topinya… jadi kalau Jojo pergi biasanya pakai topi biar enggak kepanasan,” ucap Shelvia sambil memperlihatkan topi mungil warna cokelat milik anaknya.
“Saat hari kejadian, saya bawain celana panjang sama sepatunya. Tapi mama minta maaf Jo… mama enggak bisa menemukan kamu. Jadi mama bawa pulang sepatu kamu,” ungkapnya dengan suara bergetar menahan tangis.
Cekcok dalam rumah tangga
Shelvia bercerita dirinya menikah dengan suaminya Daniel Marshall pada 2020. Setahun kemudian mereka menetap di Singapura karena sang suami bekerja di sana.
Di umur perkawinan yang masih muda, Shelvia hamil dan lahirlah Ezekiel Gionata Purba pada 6 Mei 2021.
Bocah yang akrab disapa Jojo itu adalah bocah yang sangat aktif dan agak jahil, kenang Shelvia.
Shelvia mengatakan bocah yang saat berusia 1,5 tahun tersebut senang bermain dengan boneka bernama Momo, suka dinyanyikan lagu sebelum tidur, dan sudah bisa mengucapkan kata “ma-ma”.
Shelvia selalu membawa satu koper berisi baju, mainan, dan buku cerita kesayangan anaknya kemana pun dia pergi.
Namun, rumah tangga Shelvia dan suaminya tak berjalan mulus. Shelvia bilang, keributan-keributan kecil mulai terjadi sehari-hari.
“Masalah receh pun [jadi bertengkar] sehingga saya memutuskan untuk bercerai,” akunya.
“Sekitar pertengahan tahun 2022, kami sudah ada kesepakatan cerai secara verbal,” klaim Shelvia.
Sekitar bulan Agustus 2022, Shelvia pulang ke Indonesia untuk merayakan ulang tahun ayahnya sekaligus berkonsultasi dengan pengacara soal perceraian.
Karena sudah mantap bercerai, Shelvia bilang pada suaminya kalau dia tidak akan kembali ke Singapura. Pada momen itulah Shelvia menduga Daniel marah karena memutuskan secara sepihak.
Hari ketika Jojo diduga diambil paksa
Kendati berpisah dengan suaminya, Shelvia mengaku hubungan dengan mertuanya tetap baik.
Dua kali mertuanya datang ke rumah di Bekasi, Jawa Barat, tidak ada yang janggal, kata Shelvia.
Namun pada kunjungan yang ketiga yaitu 7 September 2022, Shelvia menduga Jojo diambil paksa tanpa sepengetahuannya.
“Mertua saya jamu sebaik mungkin. Mertua laki-laki bermain dengan Jojo, saya duduk di ruang tamu dengan mertua perempuan.”
“Enggak lama, mertua laki-laki masuk ke rumah. Saya tanya, ‘Ke mana anak saya?’ Dijawab, ‘Lagi bermain dengan bapaknya’.”
“Saya keluar dan melihat anak saya sudah enggak ada.”
Di situlah Shelvia mengaku dirinya panik bukan main. Menurut Shelvia, mertuanya bilang Jojo bersama suaminya pergi ke sebuah mal di Bekasi.
Jojo saat berusia 1,5 tahun diduga diambil paksa oleh mantan suaminya.
Shelvia langsung menyusul bersama orang tua suaminya dengan membawa baju dan sepatu anaknya.
“Karena Jojo dibawa pergi cuma pakai celana pendek sama kaos kutang,” katanya cemas.
Tiba di mal, tak ada jejak Jojo atau suaminya. Mertuanya lantas berkata padanya bahwa Jojo dan ayah Jojo berada di mal daerah Cibubur. Maka bertolaklah Shelvia bersama mertuanya ke sana.
Sesampainya di sana, ia langsung ke zona permainan anak yang ada di dalam mal. Tapi hasilnya nihil. Dia lantas menanyai orang-orang tentang keberadaan Jojo sembari menyodorkan foto anaknya.
“Enggak ada satu pun orang yang melihat anak saya.”
Shelvia memutuskan bermalam di rumah mertuanya, berharap Jojo akan dipulangkan. Rupanya, tidak. Yang bikin dia makin cemas karena anaknya masih bergantung pada ASI.
Hingga lewat hari, Jojo tak juga dikembalikan, kata Shelvia.
Ia pun mengaku sempat melaporkan dugaan pengambilan paksaan itu ke kepolisian di Bekasi, Jawa Barat, untuk Pasal 330 ayat 1 KUHP, tapi tidak diterima karena statusnya adalah ayah kandung, klaim Shelvia.
Dalam berkas salinan putusan cerai yang BBC News Indonesia peroleh, Daniel mengeklaim datang ke rumah mertuanya di Bekasi pada 7 September 2022 dan langsung menghampiri anaknya Jojo yang sedang bermain bersama sang kakek di luar.
Ia mengaku rindu dengan anak karena sejak 19 Agustus 2022 sudah terpisah.
Dia kemudian berniat membawa Jojo jalan-jalan, setelah meyakini anaknya tidak sedang sakit diare. Lalu sekitar pukul 23:33 WIB, Daniel memberi tahu Shelvia bahwa anaknya sudah tidur sembari menekankan bahwa dia tahu bagaimana cara merawat anak.
‘Saya marah ke Tuhan’
Pada 11 September 2022, Shelvia mendapatkan informasi anaknya berada di salah satu hotel di Kota Batam. Tanpa pikir panjang, dia memesan tiket pesawat ke sana bersama beberapa anggota keluarganya.
Tetapi, yang terjadi malah keributan besar.
Dalam sebuah rekaman video yang diunggah di Instagramnya, tampak upaya saling rebut antara Shelvia dengan adik kandung suaminya yang sedang menggendong Jojo di lobi hotel.
Keributan berlanjut di ruang pertemuan hotel setempat.
Di video tersebut, terlihat sang suami berkeras enggan menyerahkan Jojo kepadanya sampai terjadi mediasi – salah satu isinya adalah kesepakatan pembagian waktu bersama anak selama sebulan secara bergantian.
Air mata Shelvia selalu tumpah tiap kali mengingat anaknya Jojo dan berharap bisa bertemu lagi suatu hari nanti.
Shelvia menuturkan pembagian waktu itu dimulai dari Daniel. Karena Daniel tinggal di Singapura, menurut Shelvia, Daniel meminta Shelvia memberikan paspor putra mereka.
Shelvia mengaku tak mau menyerahkan paspor Jojo. Shelvia takut, anaknya tak akan kembali ke pangkuannya. Beberapa hari setelahnya Daniel membawa pergi Jojo dari Kota Batam, kata Shelvia.
Hampir sepuluh bulan terpisah, Shelvia bertemu dengan anaknya pada pertengahan tahun 2023 lewat mediasi yang diupayakan pesohor Uya Kuya di program YouTubenya.
“Saya bisa ketemu anak 1,5 jam… waktu itu kami sudah terpisah sembilan bulan. Pertama-tama saya peluk dia, tapi menolak. Saya ajak main, nyanyiin lagu kesukaan dia, akhirnya saya menemukan yang namanya ikatan batin antara ibu dan anak, nyata,” ungkapnya penuh haru.
“Saya sempat marah ke Tuhan, Tuhan kenapa sudah sembilan bulan masih enggak cukup cobaannya?” sambungnya disusul derai tangis.
“Itu terakhir saya ketemu anak.”
Gugatan cerai dan hak asuh anak
Sebulan setelah Jojo diduga diambil paksa oleh ayahnya ke Kota Batam, Shelvia mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Baginya perbuatan sang suami tak bisa ditolerir lagi.
Putusan hakim PN Tangerang pada 8 Februari 2023 memutuskan:
“Bahwa… untuk menetapkan anak yang bernama Ezekiel Gionata… di bawah pengasuhan dan pemeliharaan penggugat [Cleo Shelvia], majelis berpendapat sesuai dengan yurisprudensi MARI bahwa anak yang masih di bawah umur berada dalam asuhan ibunya dan oleh karena Ezekiel baru berumur 1 tahun 9 bulan maka pengasuhan dan pemeliharaan anak berada pada ibunya dengan ketentuan ayahnya tetap diberikan kesempatan/waktu untuk bertemu dengan anaknya.”
Shelvia berkata permintaannya pada mantan suami tak muluk-muluk: dia cuma ingin dipertemukan dengan Jojo.
Tak puas dengan putusan tersebut, ayah Jojo mengajukan banding hingga kasasi. Namun Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pada 20 Februari 2024 yang menguatkan putusan PN Tangerang bahwa hak asuh tetap di tangan Shelvia.
Tetapi apa daya, komunikasi dengan mantan suaminya terputus sehingga Shelvia tak kunjung berkumpul kembali bersama putranya.
Shelvia berkata permintaannya pada mantan suami tak muluk-muluk: dia cuma ingin dipertemukan dengan Jojo.
“Saya enggak tahu bentuk muka anak saya seperti apa sekarang, tinggi badannya, berat badannya apakah sesuai. Itu yang dimau seorang ibu…,” ujarnya.
“Saya takut Jojo jadi benci sama saya, atau enggak kenal dengan saya lagi.”
“Ada luka yang saya tidak tahu bagaimana menyembuhkannya.”
Korban post separation abuse
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan apa yang dialami para perempuan itu disebut sebagai kekerasan oleh mantan suami atau post separation abuse.
Post separatian abuse adalah ketika mantan suami masih melakukan kekerasan dengan berbagai cara untuk terus mengontrol, menyakiti, atau menunjukkan kekuasaannya atas diri si perempuan.
Ami – panggilan Siti Aminah Tardi – mengungkap beragam cara kekerasan dilakukan oleh mantan suami, mulai dari perebutan hak asuh anak, kriminalisasi atas tuduhan yang tidak masuk akal atau laporan pencemaran nama baik, katanya.
Pada titik ekstrem, kata Ami, kekerasan yang bisa terjadi adalah femisida.
Post separatian abuse adalah ketika mantan suami masih melakukan kekerasan dengan berbagai cara untuk terus mengontrol, menyakiti, atau menunjukkan kekuasaannya atas diri si perempuan.
Ami menyebut ada beberapa penyebab mengapa tindakan post separation abuse dilakukan mantan suami: sakit hati, cemburu, atau dendam.
“Intinya untuk menegaskan bahwa saya walau sudah bercerai, masih bisa mengontrol dan memiliki kuasa atas dirinya,” ujar Ami.
“Tindakan seperti itu membuat perempuan tidak bisa pulih atau melanjutkan hidup karena dia hidup dalam kontrol mantan suaminya,” sambungnya.
“Misalnya kasus anak diambil paksa atau diculik, otomatis si ibu belum pulih dari perceraian… dia harus berjuang untuk anaknya. Itu tekanan psikis tersendiri.”
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023 menyebutkan kekerasan oleh mantan suami yang dilaporkan ke lembaga ini mencapai 90 kasus dan jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun.
Sayangnya, kata Ami, di tengah situasi yang tak menguntungkan perempuan seperti ini, pihak kepolisian tidak berpihak pada korban.
Dalam beberapa kasus dugaan penculikan anak oleh mantan suami yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, kepolisian dianggap masih menempatkan isu rumah tangga sebagai ranah privat sehingga pelakunya tidak bisa ditindak secara pidana.
“Itu hambatan kultur dan hukum kita untuk isu penculikan anak,” tegasnya.
‘Kami minta frasa ‘barang siapa’ bisa menjerat orang tua kandung’
Hambatan kultur dan hukum inilah yang membuat Angelia dan Shelvia, bersama tiga ibu lain yang bernasib sama dengan mereka, mengajukan gugatan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut pengacara yang mendampingi mereka, Virza Roy Hizzal, gugatan uji materiil ini ditempuh karena pasal itu dianggap multitafsir atau dimaknai berbeda-beda oleh anggota kepolisian.
Dari lima kliennya yang pernah membuat laporan Pasal 330 ayat 1 KUHP ke polisi, kata Virza, empat di antaranya tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur dan menyembunyikan anak adalah ayah kandung sendiri.
Satu laporan kliennya diterima, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.
Atas dasar itulah kelimanya memutuskan mengajukan gugatan uji materiil ke MK agar hakim konstitusi memberikan tafsir yang jelas atas frasa ‘barang siapa’ dalam pasal tersebut.
Pasal 330 ayat 1 KUHP menyebutkan:
“Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Virza mengungkapkan bahwa kenyataan di lapangan banyak laporan yang ditolak kepolisian dengan alasan yang mengambil paksa adalah orang tua kandung.
“Jadi dalam permohonan ini kami minta hakim menafsirkan di frasa barang siapa. Kami minta supaya pasal ini ditafsirkan sebagai setiap orang tanpa kecuali. Ayah atau ibu kandung jangan dikecualikan…”
Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan mendukung langkah para ibu tunggal mengajukan permohonan uji materiil pasal bermasalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
Jika mencermati isi pasal tersebut, kata Ami, polisi semestinya berpatokan pada frasa “menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang”.
Apa yang dilakukan oleh lima perempuan ini, kata Ami, mewakili perempuan-perempuan lain yang tak berdaya meski telah mengantongi hak asuh yang sah.
Tiga dari lima pemohon uji materil Pasal 330 ayat 1 KUHP hadir dalam persidangan di MK.
Sederhananya, siapa pun yang mengambil paksa tanpa hak secara hukum, bisa dipidana terlepas bahwa itu ayah atau ibu kandung, menurut Ami.
“Contoh ketika hak asuh yang sah jatuh ke tangan ibu, maka ayah kandung jika ingin mengajak jalan-jalan anak ke luar negeri harus seizin ibunya.”
“Jadi memang betul Pasal 330 ayat 1 harus diberikan tafsir yang jelas.”
Polri akui ada ketidaksamaan penafsiran Pasal 330 ayat 1
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, AKBP Ema Rahmawati, mengakui secara terang benderang soal adanya ketidaksamaan penafsiran di antara penegak hukum mengenai Pasal 330 ayat 1 KUHP sehingga implementasi di lapangan memang jadi berbeda-beda.
Namun, katanya, sebagian besar polisi masih berpandangan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya walaupun kuasa hak asuh berada di salah satu pihak – merujuk pada UU Perlindungan Anak.
Itu mengapa kendati anak tersebut “diambil paksa” oleh salah satu orang tua yang sudah bercerai dan tak memiliki hak asuh yang sah, dianggap bukanlah tindak pidana penculikan.
Sebab ayah maupun ibu berhak memberikan kasih sayang dan pengasuhan, kata Ema.
“Pemahaman tadilah yang membuat ambigu terhadap penafsiran Pasal 330 ayat 1 KUHP ini, jadi ketika [anak berada dalam kuasa hak asuh] ibu dan diambil paksa oleh suaminya, tidak bisa dilaporkan penculikan,” jelas Ema.
“Kecuali [yang mengambil paksa] bukan oleh orang tuanya, kami bisa pakai Pasal 330 ayat 1 dan ada yang sudah P21 [berkas perkara penyidikan lengkap].”
Di tengah situasi yang disebutnya “ambigu” tersebut, Ema mengatakan ada baiknya memang diuji ke Mahkamah Konstitusi agar ada kejelasan soal tafsir pasal ini.
Apakah frasa ‘barang siapa’ bisa mencakup orang tua kandung atau tidak.
Jika hakim konstitusi nantinya memutuskan frasa ‘barang siapa’ dapat menyasar ayah dan ibu kandung maka para penyelidik dan penyidik di lapangan tak akan lagi menolak laporan yang diadukan, klaimnya.
Begitu juga jaksa dan hakim, menurutnya, akan menyeragamkan pemahaman.
“Asal jelas ‘barang siapa’ meliputi tidak terkecuali orang tua kandung, maju jalan kami, enggak ada penolakan-penolakan lagi atas kasus-kasus begini.”
‘EJ adalah matahari dan udara saya’
Angelia, ibunda EJ, sangat berharap hakim MK mendengarkan suaranya, karena yang dia inginkan hanya agar anaknya ditemukan.
Kini, sidang permohonan Angelia, Shelvia, dan tiga ibu tunggal lainnya bakal memasuki babak akhir di Mahkamah Konstitusi.
Angelia, ibunda EJ, sangat berharap hakim MK mendengarkan suaranya, karena yang dia inginkan hanya agar anaknya ditemukan.
Seandainya dulu polisi bergerak cepat, kata Angelia, mungkin ia tak akan merana menunggu kepulangan sang anak hingga bertahun-tahun.
Selama dalam penantian, Angelia selalu mengenang EJ sebagai bocah enam tahun yang baik hati. Ia bercerita, tiap kali EJ melihat ada anak-anak berjualan di pinggir jalan, dia bakal memintanya untuk memberikan uang.
“Kalau saya pulang kerja malam hari, dia pasti bangun… dan dia buka pintu lalu minta dinyanyikan lagu… dia adalah matahari dan udara saya…”
“Semoga MK mengabulkan gugatan kami dan polisi punya senjata untuk bergerak.”
Shelvia berharap MK mengabulkan permohonannya, agar putusan tersebut menjadi pegangan polisi, jaksa, dan hakim dalam bersikap.
Shelvia juga demikian.
Ia merindukan aktivitas sehari-harinya sebagai seorang ibu: menyiapkan makan, mengganti popok, mencoba menenangkan anak yang meraung kesakitan, atau menyanyikan lagu karangannya sendiri ketika hendak menidurkan Jojo.
Serpihan ingatan tentang putranya sesekali muncul di kepalanya ketika melihat anak kecil. Namun dalam sesaat kenangan itu berubah jadi tangis.
“Saya enggak berani lihat [anak kecil] terlalu lama… saya enggak mau nangis di depan umum, seperti ada luka yang saya enggak tahu gimana menyembuhkannya.”
Satu hal yang ditakutkannya jika tidak segera menemukan Jojo, sang anak tak akan mengenalinya atau mungkin bakal membencinya.
Karenanya Shelvia berharap MK mengabulkan permohonannya, agar putusan tersebut menjadi pegangan polisi, jaksa, dan hakim dalam bersikap.
“Harapannya MK jadi penerang untuk polisi bergerak, ambil tindakan nyata.”
sumber: bbc