PENANTIAN PANJANG KELUARGA KORBAN PERISTIWA 65 DI PALU – ‘AYAH DITUDUH PKI, LANGSUNG DITANGKAP DAN DIPENJARA’

Tiga putri Marsyo, tentara yang dituding sebagai anggota PKI dan ditahan selama tujuh tahun di Palu, Sulawesi Tengah

Mentari mulai merangkak turut di ufuk barat kala Pangestu Murwandani (53) dan kakak pertamanya, Diah Eka Sari (65) mengendarai sepeda motor menembus keramaian kota menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Birobuli di Palu bagian selatan.

Udara sejuk menyambut kedatangan mereka di area pemakaman yang sunyi, Senin (16/09) pukul 17.10 WITA. Dengan langkah perlahan, keduanya menuju dua pusara yang telah lama menjadi rumah abadi kedua orang tuanya.

Tangan-tangan mereka dengan lembut menyingkirkan dedaunan kering dan membersihkan nisan yang mulai tertutupi debu.

Pertama, mereka berhenti di makam sang ayah, Marsyo. Di sana, di hadapan batu nisan yang mencatat kepergian beliau pada 16 Februari 1996 di usia 70 tahun.

Bibir mereka bergetar lirih melantunkan doa, sementara ingatan akan sosok sang ayah berkelebat dalam benak keduanya.

“Bapak itu orang baik,” ucap Sari lirih, memecah keheningan.

Matanya menerawang jauh, seolah melihat sosok sang ayah yang masih hidup dalam ingatannya.

Masih teringat dengan jelas di benak Diah Eka Sari, peristiwa 54 tahun lalu yang mengubah jalan hidupnya dan keluarganya dengan sekejap.

Ayahnya, Marsyo—anggota tentara dari Komando Daerah Militer (Kodam) Brawijaya di Jawa Timur yang bertugas di Palu—dituduh sebagai anggota PKI, partai yang dituding bertanggung jawab atas pembunuhan sejumlah jenderal pada 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965.

Peristiwa berlatar belakang upaya kudeta yang gagal ini—sering disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S)—kemudian memicu gelombang pembunuhan massal dan penangkapan tanpa proses pengadilan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota PKI dan organisasi sayap mereka.

Perempuan berusia 65 tahun yang akrab disapa Sari itu kemudian menceritakan bahwa sebelum ayahnya dituduh sebagai anggota PKI, keluarganya tinggal di asrama tentara di Kelurahan Birobuli Utara, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.

Diah Eka Sari bersama adiknya, Pangestu Murwandani di pusara ayah mereka.

‘Ayah dituduh PKI tahun 1970, langsung ditangkap dan dipenjara’

Marsyo bertugas di Palu sejak 1960 sebagai pengemudi mobil tentara. Sebelumnya, ia bertugas di Malang, Jawa Timur, dan di Manado, Sulawesi Utara.

Sari menggambarkan kehidupan di asrama tentara kala itu adalah damai dan penuh kebahagiaan, namun itu seketika berubah ketika ayahnya dituduh sebagai loyalis PKI.

“Saya ingat betul waktu itu kami diusir dari asrama karena kami dituduh keluarga PKI. Kami tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah meninggalkan asrama,” kisahnya.

Keluarga Sari bukan satu-satunya yang diusir dari asrama tentara. Beberapa penghuni lain yang juga dicap anggota PKI juga mengalami hal serupa.

“Ayah dituduh PKI tahun 1970, langsung ditangkap dan dipenjara,” ungkap Sari.

Marsyo, anggota tentara yang dituding tersangkut PKI dan sempat ditahan selama tujuh tahun, meninggal dunia pada 1994 silam.

Usai penangkapan ayahnya, kehidupan Sari dan keluarganya berubah 180 derajat. Stigma PKI pun lekat, membuat mereka merasa dikucilkan dan diabaikan.

“Padahal ayah kami itu bukan PKI, makanya setelah tujuh tahun dipenjara, ayah kami dibebaskan,” ujarnya kemudian.

Setelah ayahnya bebas, Sari bersama ibu dan adik-adiknya memulai kehidupan baru, namun persoalan belum berakhir. Selain trauma, stigma negatif juga masih membekas.

Bahkan, ketika kedua orang tua mereka meninggal dunia, kata PKI masih disematkan kepada invidu keluarganya.

Adik Sari, Pangestu Murwandani, mengungkapkan selama hidup dengan stigma PKI pelbagai cara dilakukannya agar bisa mendapatkan pengakuan negara.

“Belasan tahun saya berjuang. Dan dengan banyak liku-likunya, banyak pengorbanan, banyak penderitaan,” katanya.

Diah Eka Sari atau Sari didampingi adik keduanya Dian Koestyarini atau Dian , dan adik ketiganya Pangestu Murwandani atau Ani.

‘Ayah saya sampai sekarang belum jelas di mana rimbanya’

Anak dari Abdul Rahman Daeng Maselo—salah satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sulawesi Tengah—yang ditahan tanpa proses pengadilan pada 1965, masih ingat betul terakhir kali dia melihat ayahnya.

Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat ayahnya dibawa pergi oleh tentara sekitar akhir 1966 atau awal 1967. Dia masih berusia sekitar lima tahun kala itu.

Ia tinggal bersama ibunya di rumah tahanan untuk para perempuan yang dituding terafiliasi dengan PKI. Sang ibu ditahan selama setahun bersama tiga anaknya.

Suatu saat, ayahnya yang ditahan di tempat lain singgah ke rumah tahanan itu dan berpamitan kepada ibunya karena akan dipindahkan.

“Peristiwa itu saya saksikan dan [saya] sempat mengejar mobil yang membawa ayah saya yang dikawal tentara,” ujar pria yang memilih diidentifikasi dengan inisial GR kepada wartawan M Taufan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (17/09).

Selama ditahan, ayahnya masih sempat berkirim surat, namun surat tertanggal 3 April 1967 menjadi surat terakhir yang diterima keluarganya.

Sejak itu pula, Abdul Rahman Daeng Maselo—mantan guru Sekolah Rakyat (SR) di Donggala yang saat itu menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Donggala—hilang tanpa jejak.

Abdul Rahman diduga menjadi salah satu dari sekian banyak korban pembunuhan terhadap pendukung komunisme di Indonesia setelah PKI dituding sebagai dalang upaya kudeta Gerakan 30 September (G30S).

Sebagian besar sejarawan sepakat sedikitnya setengah juta orang dibunuh, kendati tak sedikit yang beranggapan jumlah sesungguhnya jauh di atas itu.

Hingga empat dekade kemudian, pada 2007, seorang pensiunan tentara bernama Ahmad Bantam menemui keluarganya dan mengungkap peristiwa yang selama ini tertutup kabut sejarah.

Sebagian besar sejarawan sepakat sedikitnya setengah juta orang dibunuh setelah Peristiwa 1965-1966, kendati tak sedikit yang beranggapan jumlah sesungguhnya jauh di atas itu.

Bantam mengakui dirinya dan dua rekannya diperintahkan untuk menjemput tiga tahanan—salah satunya adalah Abdul Rahman—di Penjara Donggala pada 30 Mei 1967 atas perintah Kapten Umar Said.

Dalam perjalanan dari Palu menuju Donggala, Bantam dan dua temannya diberi perintah untuk menggali lubang terlebih dulu di bukit di Watusampu yang terletak di antara Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Setelah menjemput ketiga tahanan itu, alih-alih dipindahkan ke penjara lain, ketiganya dibawa ke liang tersebut.

Bantam yang diperintahkan untuk menjaga mobil yang mereka gunakan, tiba-tiba mendengar suara tembakan. Setelah itu, Umar Said bersama dengan rekan-rekan Bantam kembali ke mobil tanpa para tahanan.

“Saya tidak tahu [nasib ayah saya], hanya kesaksian almarhum Sersan Bantam bahwa sudah dieksekusi mati di Gunung Watusampu, dekat pohon kapuk,” tuturnya.

Penghilangan paksa yang menyisakan pertanyaan

Pengakuan Bantam kepada keluarga Abdul Rahman ini sejalan dengan buku Laporan Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu yang dirilis Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah pada 2015 silam.

Dalam laporannya, SKP-HAM Sulawesi Tengah mengungkapkan bahwa tiga orang yang dibawa ke bukit Watusampu itu adalah tiga petinggi PKI Sulawesi Tengah.

Mereka adalah Abdul Rahman Daeng Maselo, ketua Committee Daerah Besar (CBD) PKI Sulteng; S Chaeri Ruswanto yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua PKI Sulteng; dan Sunaryo, ketua Pemuda Rakyat Sulteng.

Mereka sedianya dipindahkan dari penjara di Donggala ke Palu. Namun, perjalanan tiga tahanan itu tak pernah sampai tujuan. Persis di kaki bukit tempat Bantam menggali lubang, mobil mereka berhenti.

Abdul Rahman Daeng Maselo adalah ketua Committee Daerah Besar (CBD) PKI Sulawesti Tengah ketika Perisitiwa 1965-1966 terjadi.

Menurut kesaksian Bantam, para tahanan itu dibawa naik ke atas bukit dengan tangan terikat. Bantam menduga kuat ketiga tahanan tersebut dieksekusi.

Namun Bantam tidak menyaksikan langsung proses eksekusi di bukit karena pada saat itu dia diperintahkan untuk tetap di kaki bukit menjaga mobil.

Dari tempatnya berdiri, Bantam hanya mendengar rentetan bunyi tembakan senjata dan ketika rekan-rekannya kembali, ketiga tahanan itu tak bersama mereka lagi.

Kabar hilangnya tiga orang petinggi partai yang ditahan di Penjara Donggala mulai mengemuka ketika ibu dan istri Sunaryo datang ke Penjara Donggala pada 31 Mei 1967.

Selain tiga orang ini, Zamrud—aktivis PKI yang dipersiapkan menjadi ketua PKI Kabupaten Donggala—dinyatakan hilang sekitar Juni-Juli 1967.

SKP-HAM Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai kasus penghilangan paksa ini menjadi kasus pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965-1966 di Kota Palu yang hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan.

Eksekusi boleh jadi memang sudah terjadi, namun dalam perspektif HAM, menurut SKP-HAM Sulteng, status mereka yang dihilangkan tidak bisa disebut meninggal. Mereka akan tetap berstatus hilang.

“Oleh karena itu, penghilangan paksa akan digolongkan sebagai kejahatan yang terus berlanjut sepanjang kasusnya tidak terselesaikan dan status mereka dihilangkan belum bisa dipastikan dengan jelas,” tulis SKP-HAM Sulteng dalam laporannya tersebut.

Direktur SKP-HAM Sulteng, Nurlela Lamasitudju, telah mengumpulkan 1.210 kesaksian dan daftar korban terkait Peristiwa 65 dan apa yang terjadi sesudahnya.

Direktur SKP-HAM Sulteng, Nurlela Lamasitudju, saat ditemui di Palu, Sulawesi Tengah.

Kerja sama antara SKP-HAM Sulteng dan Kodim 1306 Palu pada 2015 berhasil memverifikasi data korban terkait Peristiwa 1965-1966 di wilayah bekas Kabupaten Donggala yang kini terdiri dari Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong.

“Jumlah korban yang tercatat di wilayah itu mencapai 7.179 orang,” ujar Nurlela.

Khusus Kota Palu, sebanyak 485 korban telah diverifikasi oleh Pemerintah Kota Palu pada tahun 2015-2016.

Sementara di Poso, lanjutnya, diperkirakan ada lebih dari 1.000 korban, kendati saat ini baru 300 nama yang terverifikasi.

“Jadi, total keseluruhan korban di Sulteng itu bisa 8.000-an lebih,” ungkap Nurlela.

Berdasar catatan SKP-HAM Sulteng, pelaku pelanggaran HAM terkait Peristiwa 1965-1966 di Sulawesi Tengah—khususnya Palu—didominasi oleh tentara, kendati tak sedikit anggota tentara juga menjadi korban. Salah satunya adalah Marsyo.

Nurlela Lamasitudju dari SKP-HAM Sulteng mengungkapkan bahwa merujuk kesaksian para saksi yang dikumpulkan pihaknya, saat itu tentara melibatkan kepala desa untuk mengumpulkan semua orang—termasuk anggota tentara—yang dituduh terafiliasi dengan PKI.

“Tidak hanya di penjara mereka ditahan, tapi juga di rumah-rumah pejabat,” ungkap Nurlela.

Selain melakukan penangkapan semena-mena, lanjut Nurlela, tentara juga melakukan percobaan pembunuhan, eksekusi, hingga perampasan harta benda.

“Termasuk pemutusan dari hubungan kerja karena ada yang tentara langsung diberhentikan karena diduga PKI,” kata dia.

“TNI juga menggunakan anak muda, Rusdy Mastura contohnya. Saat itu dia adalah anak pramuka yang kemudian dipakai oleh tentara untuk menyiksa tahanan,” terangnya kemudian.

Rusdy Mastura saat ini menjabat sebagai gubernur Sulawesi Tengah.

‘Bangsa ini perlu belajar mengakui kesalahan di masa lalu’

Pada 2013 silam, ketika masih menjabat sebagai wali kota Palu, Rusdy Mastura menyatakan permintaan maaf kepada keluarga korban tragedi 1965.

Permintaan maaf itu disampaikan Cudi—panggilan akrab Rusdy—dalam pertemuan korban pelanggaran HAM pada 24 Maret 2012. Dalam acara yang digelar SKP-HAM itu, para korban dan anak pelaku melakukan rekonsiliasi.

“Rusdy Mastura mengakui perbuatannya dan memohon maaf kepada seluruh korban,” ujar Nurlela Lamasitudju.

Nurlela yang bertahun-tahun mendampingi para korban tragedi 65 di Palu menilai permohonan maaf salah satu pelaku menjadi pengakuan bagi para korban.

“Bagi keluarga korban, mereka diakui bukan sebagai pelaku dan mereka adalah korban,” kata Nurlela.

Permohonan maaf ini kemudian dikukuhkan melalui peraturan wali kota pada 28 Oktober 2013 sebagai dasar hukum untuk memulihkan hak-hak keluarga korban berdasar kewenangan pemerintah daerah.

“Bangsa ini perlu belajar mengakui kesalahan di masa lalu,” ujar Rusdy, seperti dikutip dari Tempo.co.

Itu adalah kali pertama pejabat pemerintah secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM terkait Peristiwa 65.

“Kami tidak perlu menunggu sikap pemerintah pusat. Sebagai wali kota, saya kira tidak ada salahnya jika aturan itu dikeluarkan,” tegas Rusdy.

“Rusdy Mastura sangat berjasa, dia pemimpin berjasa buat keluarga korban di Palu,” ujar putri bungsu Marsyo, Pangestu Murwandani

Putri bungsu Marsyo, Pangestu Murwandani, yang turut hadir dalam pertemuan rekonsiliasi pada 2012 silam menuturkan setelah meminta maaf, Rusdy langsung mendata semua keluarga korban dan memberikan kompensasi.

“Waktu itu pemerintah Palu berikan UMKM, anggarannya diambil dari APBD. Selain itu, cucu saya dikasih beasiswa Rp10 juta sampai lulus SMA,” ujar perempuan berusia 53 tahun yang akrab disapa Ani tersebut.

“Menurut kami, Rusdy Mastura sangat berjasa, dia pemimpin berjasa buat keluarga korban di Palu,” lanjutnya kemudian.

Baru pada 2022 silam, Presiden Joko Widodo “atas nama negara” mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat di pelbagai peristiwa, termasuk Peristiwa 1965-1966.

Setahun kemudian, pada 2023, Presiden Jokowi meluncurkan program pemenuhan hak-hak korban dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Melalui program pemulihan ini, para korban menerima sejumlah bantuan seperti jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, bantuan renovasi rumah, dan lain-lain.

Ini merupakan tindak lanjut dari sebagian rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang disampaikan kepada Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023.

Pengakuan pemerintah itu, bagi anak dari pemimpin PKI di Sulteng yang dihilangkan secara paksa, Abdul Rahman Daeng Maselo, mewakili pengakuan bahwa apa yang terjadi pada keluarganya adalah pelanggaran HAM.

Dia mengaku keluarganya telah menerima bantuan berupa jaminan kesehatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) Prioritas dan santunan Rp3,3 juta yang diberikan per tiga bulan.

Akan tetapi, menurutnya, bantuan dan santunan itu belum menuntaskan tanda tanya besar terkait nasib ayahnya.

“Belum bisa menjawab apa yang kami alami karena ayah saya sampai sekarang belum jelas di mana rimbanya. Apakah masih hidup atau sudah meninggal,” cetusnya.

Menurutnya, “peristiwa ini patut dibuka secara terang benderang” agar generasi muda dapat menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk tidak terulang.

“Bukan dijadikan dendam sejarah, [tapi] dibuka hitam putihnya peristiwa itu.”

“Keterbukaan pemerintah tentang Peristiwa 1965-1966 itu harus diluruskan, jangan sampai generasi berikutnya mewarisi sejarah yang direkayasa.”

Reportase oleh wartawan di Palu, M Taufan.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.