Spanduk alat peraga kampanye Ahmad Riza Patria-Marshel Widianto di Kantor DPC Gerindra Tangsel, Rabu (28/08). Mereka akhirnya batal untuk dimajukan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas parlemen dan syarat batas minimal usia calon kepala daerah “di rentang waktu yang sempit” jelang pendaftaran Pilkada 2024 menghadirkan banyak “plot twist” tak terduga, kata sejumlah pengamat politik.
Itu nampak dari mundurnya sejumlah bakal calon kepala daerah yang “diendorse” oleh koalisi ‘gemuk’ Prabowo-Gibran hingga tercerai berainya anggota koalisi KIM Plus di sejumlah wilayah pemilihan karena menyokong pasangan calon lain.
Apakah situasi ini akan membawa dampak positif pada kompetisi Pilkada 2024?
Bakal calon yang didukung Prabowo-Gibran mundur?
Satu hari setelah masa pendaftaran pencalonan kepala daerah untuk Pilkada 2024 berlangsung, beberapa nama bakal calon yang sedianya diprediksi dan digadang-gadang akan maju berkompetisi, justru berguguran.
Di Kota Tangerang Selatan, duet politikus-komika yakni Riza Patria dan Marshel Widianto batal maju sebagai calon walikota dan calon wakil walikota setelah kemunculan arahan dari partai penyokong mereka, Gerindra.
Riza menyebut dirinya mundur lantaran ada tugas lain dari partai tanpa menjelaskan lebih lanjut. Tapi yang pasti, klaimnya, keputusan ini demi kebaikan partai.
“Saya dengan Marshel sudah, sudah sama-sama mundur,” ujar Riza kepada wartawan sebagaimana dilansir dari Detik, Rabu (28/08).
Marshel Widianto saat konferensi pers bersama Wakil Presiden RI terpilih, Gibran Rakabuming Raka, di Kota Tangsel, 9 Agustus 2024.
“Kita ikuti ini demi kebaikan partai dan semuanya, demi kepentingan bangsa dan semuanya. Kepentingan Jakarta, kepentingan Tangsel. Jadi sebagai kader partai saya patuh dan taat mengikuti apa saja yang jadi keputusan partai,” sambungnya.
Duet Riza-Marshel sebelumnya disokong oleh empat partai politik: Gerindra, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Demokrat.
Dalam beberapa kesempatan, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka menemani Marshel Widianto blusukan ke rumah-rumah warga. Bahkan baliho bergambar dirinya lengkap dengan logo Gerindra terpampang di kawasan Tangerang Selatan.
Marshel diusung sebagai bakal calon wali kota Tangsel karena dianggap mampu menarik suara gen Z dan milenial.
Kini setelah mundurnya pasangan Riza-Marshel partai-partai penyokong mereka mengalihkan dukungan ke pasangan calon lain.
Demokrat, misalnya, bergeser mendukung pasangan Benyamin Davnie dan Pilar Saga Ichsan, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beralih mengusung Ruhama-Shinta – yang merupakan kader mereka sendiri.
Bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Ahmad Riza Patria dan Marshel Widianto mundur dari kontetasi Pilkada 2024.
Di Kota Solo, Jawa Tengah, nama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X atau yang lebih dikenal sebagai Gusti Bhre juga memutuskan mundur dari pencalonannya.
Padahal sebelumnya Gusti Bhre digadang-gadang maju berpasangan dengan Astrid Widayani dengan dukungan enam partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sekretaris DPD II Golkar Solo, Taufiqurrahman, menyebut alasan Gusti Bhre mundur karena alasan pribadi.
“Alasan keluarga, tapi nanti bisa ditanyakan ke Gusti Bhre. [Apakah tidak ada restu keluarga]? Kemungkinan itu, tapi kalau saya menyampaikan lebih tepatnya alasan pribadi yang menyangkut keluarga. Karena beliau seorang raja, perlu ada pertimbangan yang sangat matang,” kata Taufiqurrahman seperti dilansir dari Detik.com.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X atau yang lebih dikenal sebagai Gusti Bhre juga memutuskan mundur dari pencalonannya.
Munculnya nama Gusti Bhre dalam pencalonan kepala daerah Kota Solo tak lepas dari sosok wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.
Bhre disebut-sebut memang dipersiapkan menjadi penerus Gibran di wilayah tersebut.
Sekarang partai koalisi gemuk KIM Plus pun memilih mencalonkan Ketua HIPMI Solo, Respati Ardi untuk maju sebagai calon wali kota Solo.
Di Semarang, Jawa Tengah, kandidat Dico Ganinduto juga batal maju setelah tiga partai penyokong utamanya mencabut dukungan: Golkar, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan NasDem.
Bupati Kendal yang sekaligus politikus Golkar ini salah satu yang didukung oleh wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka.
Gibran bahkan pernah menemani Dico blusukan di Kota Semarang pada pertengahan Juli lalu. Kala itu Gibran dan Dico mendatangi Pasar BK, Perkampungan Nelayan Mangkang, Tambaklorok, dan tempat-tempat lain.
Baliho Dico pun sudah bertebaran di Kota Semarang.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Golkar di Jawa Tengah dan DIY, Iqbal Wibisono, bilang Dico gagal melaju di Pilkada 2024 karena ditugaskan untuk mendampingi Gibran di Jakarta.
Sebagai gantinya koalisi Prabowo-Gibran mendukung pasangan Yoyok Sukawi dan Joko Santoso yang diusung oleh sembilan partai politik.
Kandidat Dico Ganinduto juga batal maju setelah tiga partai penyokong utamanya mencabut dukungan: Golkar, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan NasDem.
Diusung partai besar, potensi melawan kotak kosong?
Meski ada kandidat yang berguguran jelang masa pendaftaran, tapi Pilkada 2024 diprediksi bakal meningkatkan fenomena yang disebut sebagai “melawan kotak kosong”.
Di beberapa daerah seperti Kota Surabaya, misalnya, hanya ada satu kandidat yang maju yakni duet kader PDIP yang juga petahana, yaitu Eri Cahyadi-Armuji.
Pasangan tersebut pun turut diusung oleh 18 partai politik, termasuk parpol yang masuk dalam KIM Plus pada Pilpres 2024 lalu.
Eri Cahyadi-Armuji berpotensi melawan kotak kosong dalam Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surabaya 2024.
Di Kota Pasuruan, Jawa Timur, situasinya tak jauh berbeda. Pasangan Adi Wibowo-Mokhamad Nawawi mendapatkan rekomendasi dari 17 partai politik parlemen dan non-parlemen sehingga hampir dipastikan bakal melawan kotak kosong.
Kandidat melawan kotak kosong diperkirakan juga berlangsung di sejumlah kabupaten lainnya antara lain Kabupaten Aceh Tamian, Kabupaten Maros, Kabupaten Dharmasraya, dan beberapa kabupaten/kota di Kepulauan Riau.
Praktisi hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, meyakini fenomena melawan kotak kosong di Pilkada 2024 akan terus bertambah.
Pada Kamis (29/08) saja, Titi mencatat setidaknya ada 34 potensi calon tunggal yang terbesar di kabupaten/kota.
“Seperti Kabupaten Bojonegoro terjadi potensi calon tunggal, di mana ini merupakan anomali sebab petahana yang menajabat tidak maju kembali,” jelas Titi kepada BBC News Indonesia.
“Kemudian ada Samarinda, Gresik, Tanah Bumbu, dan sejumlah daerah lain… saya yakin fenomena ini akan terus bertambah jadi mesti dipantau,” lanjutnya.
Pengamat politik: ‘Banyak plot twist tak terduga’
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, mengatakan gugurnya sejumlah kandidat yang didukung oleh kalangan elite serta masifnya dukungan partai politik ke satu calon merupakan “plot twist” yang tak disangka oleh siapa pun pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ambang batas parlemen dan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.
Kejutan berupa perubahan arah tersebut, sambungnya, diharapkan membawa dampak positif untuk kompetisi pilkada.
Bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Mohammad Ramdhan Pomanto (atas ketiga kiri) dan Azhar Arsyad (atas keempat kanan) mengayuh becak menuju kantor KPU Sulawesi Selatan untuk melakukan pendaftaran di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (29/8/2024).
Sebab kandidat yang bertarung tak lagi dikuasai oleh koalisi yang sama.
“Mungkin kalau enggak ada putusan MK, enggak ada situasi menarik seperti saat ini, akan flat [datar] saja karena siapa yang diprediksi maju sudah dikunci,” ujar Aisah kepada BBC News Indonesia.
Terkait kandidat yang “diendorse” oleh oleh koalisi ‘gemuk’ Prabowo-Gibran namun akhirnya berguguran di menit terakhir pendaftaran, Aisah melihatnya sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan.
Karena para bakal calon tersebut, menurut pengamatannya, memang tidak punya elektabilitas atau tingkat keterpilihan yang tinggi.
Namun mereka sengaja “dikunci” oleh satu koalisi besar sehingga punya peluang lebih besar untuk menang dalam kompetisi pikada.
Aisah menilai, strategi ini tercerai berai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ambang batas parlemen sesuai dengan jumlah daftar pemilih di tiap-tiap wilayah.
Imbasnya partai-partai yang tadinya kesulitan mencapai syarat ambang batas untuk mencalonkan kandidat yang mumpuni dan populer di tingkat lokal berbalik arah dan mengusung calon sendiri.
“Sekarang peta politiknya berubah dengan situasi partai bisa mengusung kadernya yang punya elektabilitas tinggi tapi tidak didukung koalisi besar,” jelasnya.
“Artinya bahwa endorsement [dukungan] elite nasional dan partai besar tidak lagi cukup.”
“Sebab pilkada memang punya dinamika sendiri, jadi tidak selalu sejalan dengan kontestasi politik di level nasional. Bisa jadi KIM Plus terbentuk tapi koalisinya tidak berjalan efektif di level lokal terutama di kabupaten dan kota,” lanjut Aisah.
“Karena kandidat yang tidak didukung elite nasional biasanya tidak punya basis massa yang luas di level lokal atau tidak punya jaringan yang kuat di tokoh-tokoh daerah.”
Bagaimana dengan fenomena melawan kotak kosong?
Menurut Aisah, ada beberapa faktor penyebab mengapa fenomena kotak kosong justru bermunculan di sejumlah daerah pemilihan meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi keluasaan serta keringanan kepada partai politik untuk memajukan kandidatnya sendiri.
Mulai dari kekosongan atau kekurangan kader untuk bertarung dalam kontestasi pilkada, tak ada keberanian memajukan kandidat, atau terdapat lawan politik yang sangat sulit dikalahkan.
Tapi, menurutnya, penyebab utamanya adalah karena putusan Mahkamah tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat mendesak.
Sejumlah penari membawakan tarian khas Dayak saat mengiringi bakal calon Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud dan bakal calon Wakil Gubernur Seno Aji memakai atribut saat mengikuti pendaftaran di KPU Provinsi Kaltim, di Samarinda, Kamis (29/08).
Sehingga persiapan partai politik untuk mematangkan kandidatnya jadi sangat pendek.
“Bisa jadi akhirnya ya sudah hitungan-hitungan politik jadi berbeda lagi, dan akhirnya menyerah ke koalisi gendut,” jelas Aisah.
“Sementara proses kaderisasi ini tidak langsung singkat.”
Kendati demikian, Aisah menilai fenomena melawan kotak kosong ini akan semakin menurun di pilkada berikutnya atau 2029.
Sebab bersandar pada putusan MK sekarang maka seharusnya partai politik memiliki waktu lebih panjang untuk mengusung kandidatnya tanpa perlu memikirkan soal syarat ambang batas.
Tapi terlepas dari itu, dia menilai fenomena melawan kotak kosong ini hanya akan merugikan pemilih lantaran publik tak diberikan pilihan alternatif kandidat.
Dan sepanjang sejarah calon kepala daerah melawan kotak kosong, sambungnya, mayoritas “kotak kosong” selalu kalah.
“Kemenangan kandidat melawan kotak kosong pun selalu di atas 50%.”
Apakah koalisi gemuk KIM Plus tercerai berai di tingkat lokal?
Deputi Bappilu Partai Demokrat, yang tergabung dalam KIM Plus, Kamhar Lakumani, tak menampik putusan MK terkait pilkada telah merombak peta politik koalisinya di tingkat lokal.
Begitu Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 disetujui oleh DPR, sejumlah anggota koalisi, sebutnya, langsung menghitung ulang semua pasangan calon yang diusung dengan tujuan agar bisa menang.
“Kalau ingin menang ya kita harus beradaptasi dengan perubahan regulasi,” imbuh Kamhar kepada BBC News Indonesia.
Pasangan bakal calon Gubernur Bali Wayan Koster (ketiga kiri) dan Wakil Gubernur Bali I Nyoman Giri Prasta (ketiga kanan) berjalan memasuki area kantor KPU Bali saat pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Bali di Denpasar, Bali, Kamis (29/08).
“Konsekuensinya ada yang ganti pasangan, koalisinya berubah, atau ada yang mengusung sendiri.”
Demokrat sendiri, diakuinya, menarik dukungan atas sejumlah calon kepala daerah yang sebelumnya disokong oleh KIM Plus, sebut saja di Tangerang Selatan.
Keputusan itu dilakukan lantaran kandidat yang “diendorse” oleh Gerindra dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka tersebut memutuskan mundur jelang pendaftaran.
Itu mengapa, katanya, keputusan menarik dukungan merupakan konsekuensi logis.
“Harus take it or leave it,” katanya.
Namun meski peta pencalonan telah berubah, sambungnya, tapi koalisi gemuk KIM Plus tetap solid.
Sebab meskipun beberapa anggota koalisi menarik dukungan mereka ke calon yang direstui oleh KIM Plus, tapi calon yang diusung tetaplah bagian dari koalisi.
“Bagi kami siapa pun yang maju dari partai yang tergabung di KIM Plus, hasilnya pemenang adalah kader-kader yang berasal dari KIM Plus. Meskipun beda-beda.”
“Justru makin memperbesar peluang menang dari KIM Plus.”
sumber: bbc