Suku Pakpak pada zaman kolonial dikonstruksi oleh Belanda termasuk dalam kelompok Batak bersama dengan Toba, Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing, untuk menunjukkan masyarakat pedalaman.
Ensiklopedia Britannica memberi keterangan tentang Batak sebagai berikut:
“Batak, also spelled Battak or Batta, several closely related ethnic groups of north central Sumatra, Indonesia. The term Batak is one of convenience, likely coined during precolonial times by indigenous outsiders (e.g., the Malay) and later adopted by Europeans. The groups embraced by the term-the Toba, the Karo, the Simalungun, the Pakpak, the Mandailing, and the Angkola-have to a limited degree adopted it as a self-designation.
Istilah Batak itu kemungkinan diciptakan selama masa pra-kolonial oleh pihak luar, misalnya: Melayu, dan kemudian diadopsi oleh orang Eropa.
Hal itu terlihat dalam karya Lothar Schreiner, yang menyebut bahwa sebutan Batak maupun daerah Batak barulah muncul setelah pengkristenan.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Lance Castle yang mengemukakan bahwa sebutan Batak itu bermula dari stereotipe orang-orang Melayu muslim di Sumatera Timur terhadap orang Batak, sedangkan konotasi yang terkandung dalam sebutan Batak ialah: jelek, kasar, jorok, dan penyembah berhala.
Akibatnya banyak suku-suku itu tidak mau menyebutkan identitas mereka sebagai Batak, dan lebih senang menyatakan diri sebagai orang: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing/Angkola, atau Pakpak/Dairi.
Lothar Schreiner dan Lance Castles maupun Ensiklopedia Britannica menegaskan bahwa kata Batak itu baru muncul sejak masuknya Kristen dan Kolonial ke daerah pedalaman Sumatera Utara.
Konstruksi Batak yang disematkan oleh orang Melayu, Eropa dan Zending kepada Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Angkola dan Mandailing kemudian berdampak pada penyebutan dengan tambahan kata Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Dalam proses selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda melebur semua etnis non-Melayu tersebut menjadi Batak, dengan cara merancang Silsilah Bangsa Batak (Tarombo Bangso Batak) dengan menciptakan Si Raja Batak sebagai leluhur tunggal dan memanfaatkan silsilah-silsilah yang telah ada sebelumnya.
Penyebutan Si Raja Batak itu sesuai dengan rancangan mereka untuk menjadikan kelompok non-Melayu menjadi-Batak atau Bangsa Batak.
Demang WM Hutagalung atas perintah WKH Ypes pada tahun 1926 menerbitkan buku “ Tarombo & Turi-turian Bangso Batak” berisi cerita dan tarombo marga-marga yang memasukkan semua marga-marga dari keenam suku itu ke dalam sebuah family tree (silsilah) yang biasa dipakai oleh orang Eropa.
Terkait dengan hal tersebut, HN van Der Tuuk sejak kedatangannya pada tahun 1862 di Tanah Toba (Negeri Toba), mengatakan bahwa zending mengkonstruksi Halak Toba menjadi Halak Batak dan Negeri Toba atau Tano Toba menjadi Tano Batak atau Tanah Batak.
Kerisauan HN van Der Tuuk itu kemudian ditulis melalui suratnya kepada misionaris Jerman dengan alasan bahwa pengertian dari Batak itu negatif dan mereka memang bukan Batak, sehingga lebih baik mereka tetap sebagai Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing.
Tetapi dalam rangka Pendirian Keresidenan Tapanuli yang diintroduksi oleh Pemerintah Kolonial Belanda berupa Afdeling Batak Landen agar mudah mengelola daerah jajahan tersebut, Belanda bekerja sama dengan Zending justru memperkuat penyatuan keenam suku itu untuk direkonstruksi menjadi Suku Batak.
Dengan eksistensi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menduduki Tanah Toba sehabis Perang Toba II pada tahun 1883, maka berkembanglah upaya Bataknisasi menjadi lebih luas terhadap Non-Melayu di Sumatera bagian Utara.
Bataknisasi oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, kemudian dilakukan juga terhadap Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola sehingga dibuatlah non-Melayu ini menjadi sub-etnis Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing, yang kesemuanya disebut Bangsa Batak.
Nias, Alas, dan Gayo hendak ikut dilakukan Bataknisasi juga, tetapi mengalami kesulitan untuk melakukannya atas mereka karena pengaruh Islam sangat kuat di Gayo dan Alas, sedangkan Nias ada diseberang pulau.
Dengan diberikannya label Batak pada keenam etnis itu menyebabkan kerancuan pada penyebutan maupun identitas budaya mereka, karena sesungguhnya Etnis Batak itu tidak ada, tetapi yang ada adalah Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Angkola dan Mandailing. Adapun Batak adalah rekonstruksi untuk pengelompokan enam suku tersebut.
Pada proses setelah kemerdekaan Republik Indonesia, ada kebutuhan untuk menduduki posisi-posisi birokrasi di negara yang baru merdeka, untuk itu identitas etnik ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menduduki elit-elit di pemerintahan maupun di gereja.
Toba yang memang paling awal mendapatkan pendidikan formal lewat sekolah-sekolah yang didirikan oleh zending berhasil menduduki posisi birokrasi di sejumlah kantor-kantor pemerintahan, sehingga dominasi mereka sebagai kaum terpelajar membawa Toba lebih maju dalam bidang pendidikan dan birokrasi.
Setelah tahun 1980 – 1990, istilah Batak menjadi lebih kerap dipakai daripada Toba, dan sebagian besar orang Toba, menganggap Batak adalah nama suku bangsa, sedangkan Toba adalah nama tempat/wilayah.
Demikianlah kini terjadi banyak perdebatan di banyak kalangan, terutama sosial media, karena persepsi orang di luar Sumatra Utara adalah Batak = Toba, maka kerisauan Van Der Took tersebut menjadi beralasan dengan banyaknya penolakan identifikasi Batak terhadap Pakpak, Karo, Mandailing, Angkola & Simalungun.
Bagaimana menurut pendapat kita sebagai orang awam menanggapi pendapat para ahli-ahli sejarah tersebut? Tulis pada kolom komentar ya….Biasakan diskusi dwngan sopan dan menjaga etika agar kita kemudian bisa mendapatkan pencerahan dan pengertian sehingga tercipta harmonisasi dalam melihat perbedaan.
sumber: fb Pakpaklogi: ilmu Pengetahuan Tentang Pakpak