Mariance Kabu menghadiri persidangan di Malaysia, Selasa (30/07).Informasi artikel
Perjuangan pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT Mariance Kabu dalam mencari keadilan selama 10 tahun terakhir, menemui titik terang. Pengadilan Malaysia menyatakan dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke, memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
Majelis yang dipimpin Hakim Mahkamah Sesyen Ampang, Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan pada Selasa (30/07) juga memutuskan untuk memanggil dua terdakwa untuk membela diri sebelum hukuman diberikan, dalam kasus dugaan penyiksaan yang disebut “keji” kepada pekerja migran Indonesia nonprosedural itu.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Hakim Wan Mohd Norisham Wan Yaakob dalam persidangan.
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Atas putusan itu, Mariance yang menyaksikan jalannya persidangan mengaku sedikit lega karena ada secerca harapan dalam kasusnya, walaupun perjalanan untuk mendapatkan keadilan masih panjang.
“Hari ini baru langkah pertama untuk saya berjuang. Saya akan berjuang terus sampai keadilan betul-betul sempurna. Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” kata Mariance usai persidangan di Mahkamah Sesyen Ampang, Selasa (30/07), seperti yang dilaporkan wartawan Alyaa Alhadjri untuk BBC News Indonesia.
Aktivis kemanusiaan asal NTT Emmy Sahertian menyebut hasil persidangan Mariance memiliki arti penting dalam perlindungan PMI NTT di Malaysia “karena sebagai pintu masuk untuk meneriakan lebih keras bahwa ada jalan yang terang untuk mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan.”
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono menyebut bahwa hasil persidangan ini telah tepat karena alat-alat bukti material yang ada terpampang jelas.
Dia pun menambahkan kasus Mariance adalah salah satu tolak ukur bagaimana penegakan hukum kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan yang menimpa PMI di Malaysia.
“Kasus penyiksaan yang demikian keji itu tidak hanya dialami oleh Mariance. Kami juga sedang menangani kasus-kasus lain yang tidak kalah kejinya. Ada yang disiksa, disiram air panas, dibuang di tengah jalan, dan lain-lain,” ujar Hermono.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Jakarta, Nurharsono mengatakan kasus Mariance dan banyak tindak kekerasan yang dialami PMI lainnya “seperti gunung es yang hanya tampak di permukaan, namun sejatinya yang tidak tampak lebih besar.“
Dugaan aksi penyiksaan yang dialami Mariance terjadi pada 2014 saat dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia.
Majikannya, menurut pengakuan Mariance, melakukan rangkaian kekerasan yang membuatnya cacat fisik pada kedua telinga dan mulut, bahkan beberapa giginya juga dicabut menggunakan tang.
Januari 2015 silam, mantan majikan Mariance itu diseret ke meja hijau. Namun, pengadilan Malaysia memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal (DNAA) atau dilepaskan tapi tidak dibebaskan pada Oktober 2017.
Kasus itu lalu mangkrak selama lima tahun, hingga akhirnya pengadilan kembali membuka perkara itu pada 2023 lalu.
Penuhi unsur kejahatan perdagangan orang
Dua terdakwa yaitu Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng tiba di Pengadilan Ampang, Malaysia, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, Selasa (30/07). Mereka berjalan dengan cepat memasuki ruang persidangan, sambil menutup wajah dengan kertas dan jaket tudung.
Hakim yang memimpin jalannya sidang Wan Mohd Norisham Wan Yaakob menyatakan terdakwa terbukti memenuhi elemen kesalahan tindak kejahatan perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran keimigrasian.
“Oleh demikian Mahkamah memutuskan bahwa pihak pendakwaan telah berjaya membuktikan kes. prima facie bagi pertuduhan terhadap kedua-dua di bawah Section 13 ATIPSOM dan Seksyen 55e Akta Imigresen 1959/1963,” kata Norisham Wan Yaakob.
Dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng, hadir di persidangan Mahkamah Sesyen Ampang, Malaysia, Selasa (30/07).
Namun, hakim menyatakan bahwa dakwaan lainnya, yaitu tentang penganiayaan atau menyebabkan kecederaan parah dan percobaan pembunuhan, gagal dibuktikan.
Pertimbangan hakim karena keterangan Mariance sebagai saksi utama tidak didukung oleh saksi-saksi lain termasuk dari pihak medis.
Menurut hakim, penyidik dari kepolisian Malaysia yang menjadi saksi ke-12 memberi keterangan bahwa bukti senjata atau tang yang digunakan untuk mencabut gigi Mariance tidak disita dari tempat kejadian.
“Tetapi terdapat bukti kecederaan fisik konsisten dengan keterangan Mariance, Dia cedera akibat ditumbuk dan ditendang, juga cedera sehingga mengubah bentuk wajah dan bibir secara kekal,” katanya.
Tahap persidangan selanjutnya adalah memberikan hak kepada terdakwa untuk melakukan pembelaan, sebelum hukuman diberikan.
Sementara itu, terdakwa dan kuasa hukumnya tidak mau berkomentar terkait dengan hasil dari persidangan. Mereka langsung meninggalkan lokasi persidangan.
Kasus penyiksaan pekerja migran Indonesia asal NTT, saksi polisi Malaysia sebut korban alami kekerasan – ‘Kepala retak, muka lebam’
Mafia perdagangan pekerja migran NTT: Mengungkap modus ‘rayuan surgawi’ hingga jalur ‘kejahatan mengerikan’
Sepanjang sidang, Mariance hadir dan duduk di bangku baris hadapan, didampingi aktivis kemanusiaan dari NTT Emmy Sahertian, dan juga perwakilan Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur.
Ketika putusan dibacakan, Mariance terlihat beberapa kali menyeka air mata. Ditemui usai sidang, air mata Mariance tumpah. Cuma kali ini sebagai tanda bahagia dan bersyukur.
“Pertama-tama saya ucap banyak terima kasih pada pengadilan di Kuala Lumpur. Saya mendengar langsung dari tuan hakim yang membaca surat [putusan] itu bahwa ada kebenaran untuk saya,” katanya.
“Dengan itu saya juga minta terima kasih pada banyak orang di Indonesia dan Malaysia yang sudah turun tangan bantu saya,” ucapnya lagi.
Menyadari perjalanan kasus masih panjang, Mariance berkata, “hari ini baru langkah pertama dan saya akan berjuang terus hingga keadilan itu benar-benar sempurna”.
“Saya tidak pernah menyerah, saya tidak pernah takut dan tidak pernah gemetar menghadapi semua ini,” katanya.
’Tuhan tak tutup mata siapa yang benar dan salah’
Pada persidangan di Malaysia, Selasa (30/07), Mariance, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu), hadir menyaksikan jalannya persidangan.
Ini menjadi kali ketiga dirinya menginjakkan kaki di Malaysia. Pertama pada 2014 saat dia terjerat mafia perdagangan manusia untuk bekerja sebagai PRT, lalu pada 2022 dan kini di penghujung Juli 2024.
BBC News Indonesia sempat berbicang dengannya lewat aplikasi video online, Jumat (26/07), beberapa hari sebelum persidangan. Tetesan air mata Mariance tak berhenti.
Tangis itu, katanya, adalah ekspresi campur aduk antara rasa trauma, bahagia dan harapan.
“Walaupun saya penuh luka dan juga kesedihan yang saya alami selama 10 tahun berjuang mencari keadilan, saya tidak takut karena saya yakin, yakin sekali, keadilan itu selalu ada.“
“Tuhan tidak pernah tutup mata siapa yang benar dan siapa yang salah, dan saya sudah berjanji ke diri saya, sampai mati pun saya akan mencari keadilan itu,” kata Mariance.
Mariance berharap Pengadilan Malaysia mengungkap kebenaran atas apa yang dialaminya.
Mariance pun berharap agar mantan majikannya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat-beratnya atas rangkaian penyiksaan yang mereka lakukan.
“Karena saat itu, saya berkali-kali minta tolong untuk dilepaskan, menangis, jangan siksa saya, tapi dia tidak pernah lepaskan saya, tidak pernah dengar, tidak pernah peduli saat saya menangis, minta tolong. Dia harus tanggung jawab itu,” katanya.
Mariance masih diselimuti rasa trauma, namun dia mengaku harus kuat hadir ke persidangan walaupun bertemu kembali dengan mantan majikannya.
Selain untuk mencari keadilan, keberanian keteguhan hati Mariance juga muncul karena dia ingin memberikan harapan kepada banyak PMI lain yang kini tengah berjuang memperjuangkan hak mereka.
“Walaupun harus berjuang seorang diri, kita harus terus berjuang. Jangan diam karena kita ini nyawa manusia yang berharga, dan keadilan itu masih ada, cepat atau lambat,” katanya.
Meriance bertemu dengan Duta Besar Hermono di KBRI Malaysia pada Oktober 2023.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono mengatakan kehadiran Mariance dalam persidangan memiliki makna sangat penting dalam perlindungan WNI di negeri jiran.
“Pertama untuk menunjukkan kepada dia sendiri [Mariance] bahwa kita menangani kasus ini dengan sangat-sangat serius. Pesan yang sama juga kita sampaikan kepada masyarakat [Indonesia] bahwa kita ini menangani kasus-kasus serupa dengan sangat serius,” kata Hermono.
Di sisi lain, kata Hermono, kehadiran Mariance untuk menyampaikan pesan ke Malaysia bahwa Indonesia menganggap serius perlindungan warganya di negeri jiran.
Senada, Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha mengatakan, kehadiran Mariance adalah bentuk pendampingan pemerintah terhadap WNI, guna memastikan hak-hak mereka di hadapan hukum terpenuhi.
“Berbagai upaya dilakukan baik pendampingan hukum maupun berbagai upaya diplomasi. Kehadiran Mariance di pengadilan akan membuka kesempatan untuk mendapatkan keadilan.
“Kemlu dan Perwakilan RI akan terus mendampingi untuk memastikan Mariance mendapatkan keadilan.
“KBRI juga telah menunjuk pengacara sebagai watching brief, mengingat sesuai hukum Malaysia, pihak penuntut dalam kasus ini adalah Kejaksaan Agung Malaysia,” kata Judha.
‘Keadilan pertama bagi PMI asal NTT yang masih hidup’
Aktivis kemanusiaan dari NTT Emmy Sahertian mengatakan, kasus Mariance memiliki arti penting bagi perlindungan PMI asal NTT di luar negeri.
Aktivis kemanusiaan dari NTT Emmy Sahertian mengatakan, hasil persidangan kasus Mariance memiliki arti penting bagi perlindungan PMI asal NTT di luar negeri.
“Karena ini adalah keadilan pertama bagi PMI asal NTT yang masih hidup dan benar-benar disiksa di Malaysia dalam 10 tahun terakhir. Kalau dilihat dari logika manusia sebenarnya Mariance bisa saja sudah meninggal karena penyiksaan yang luar biasa, namun dia hidup untuk berjuang.”
“Hasil ini mewakili suara mereka-mereka yang tereksploitasi dan ini jalan pertama bagi kami di NTT, terutama bagi mereka yang disiksa habis-habisan, yang sampai hari ini memang masih mencari keadilan,” katanya.
Kisah pasukan gereja ‘menghidupkan jeritan’ pekerja migran nonprosedural NTT yang ‘pulang dalam peti mati’6 Maret 2023
‘Pekerja migran ilegal’ jadi korban kapal karam di Malaysia, libatkan ‘mafia’ dan ‘sindikat’ penempatan pekerja gelap17 Desember 2021
Selain itu, Emmy menambahkan, hasil ini juga dapat menjadi harapan dan motiviasi bagi para korban lainnya yang kini tengah berjuang.
“Putusan ini sebagai pintu masuk untuk meneriakkan lebih keras bahwa ada jalan yang terang seperti ini untuk mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan. Kami bisa bernapas, menambah kekuatan, dan berdiri tegak untuk berjuang bagi kasus-kasus serupa yang masih saja ada di NTT,” kata Emmy.
Emmy mengatakan hingga kini perlindungan hak-hak PMI asal NTT di Malaysia masih sangat rendah.
Rangkaian pemulangan jenazah PMI non-prosedural asal NTT dari Malaysia yang meninggal dengan berbagai sebab, katanya, masih rutin terjadi, belum lagi laporan-laporan tentang PMI yang mendapatkan penyiksaan.
“Sangat jauh panggang dari api, masih banyak sekali mereka [PMI nonprosedural] yang mengalami penderitaan, bahkan eksploitasi yang tidak terkontrol, dan kami masih menerima banyak jenazah,” kata Emmy.
‘Praktik kejahatan seperti gunung es’
Pihak pengacara terdakwa juga menyebutkan Mariance secara sadar bekerja menjadi asisten rumah tangga dengan tanpa paksaan.
Menurut catatan Migrant Care, setidaknya terdapat 51 kasus yang dihadapi PMI di Malaysia pada 2023, bahkan menurut data Kemlu, ada 8.872 WNI dipulangkan dari Malaysia.
Koordinator bantuan hukum Migrant Care Jakarta, Nurharsono mengatakan kasus Mariance dan banyak tindak kekerasan yang dialami PMI lainnya “seperti gunung es yang hanya tampak di permukaan, namun sejatinya yang tidak tampak lebih besar.“
Dia mencontohkan, merujuk kasus-kasus sebelumnya, banyak korban PMI yang mengalami penyiksaan tidak mendapatkan keadilan.
“Siti Hajar asal Garut [2009] disiram air mendidih dan majikan bebas dengan jaminan. Lalu Ceriyati [2007] asal Brebes, majikan bebas. Parsiti [2007] asal Wonosobo yang mendapat kekerasan dari majikan namun tidak ada kejelasan. Modesta Rangga asal NTT, dan Adelina Lisao [2018] kekerasan oleh majikan dan majikan bebas tahun 2022, dan masih banyak lainnya,” katanya.
Walaupun pemerintah Indonesia telah melakukan penandatanganan kesepakatan penempatan PMI melalui Sistim Penempatan Satu Kanal (SPSK) pada 2022, kata Nurharsono, hal itu belum banyak memberikan perubahan.
“Para sindikat perekrutan, percaloan pekerja migran nonprosedural dan mengarah pada perdagangan orang masih marak di daerah kantong pekerja migran, termasuk di NTT,” katanya.
Terbaru, Nurharsono mencontohkan kasus penggrerebekan oleh aparat keamanan pada (19/07) lalu di sebuah penampungan di Blitar. Dari 26 orang calon pekerja migran yang akan dikirim ke Singapura secara tidak resmi dan mengarah pada perdagangan orang, 18 orang berasal dari NTT.
Apa artinya bagi perlindungan PMI di Malaysia?
Dubes Hermono menyebut putusan itu telah tepat karena alat-alat bukti material yang ada telah terpampang jelas.
Dubes Hermono menyebut hasil persidangan Mariance telah tepat karena alat-alat bukti material yang ada telah terpampang jelas, bahkan “polisi sendiri yang menyelamatkan Mariance dari rumah majikannya, dengan luka-luka yang demikian berat”.
“Kalau melihat dari alat-alat bukti material yang ada, mestinya tidak ada keraguan bagi hakim untuk melanjutkan proses ini ke tahap penuntutan,” kata Hermono.
Selain itu, Hermono menambahkan putusan kasus Mariance juga sangat penting karena menjadi tolak ukur bagaimana penegakan hukum di Malaysia terhadap kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan yang menimpa PMI.
“Kasus penyiksaan yang demikian keji itu tidak hanya dialami oleh Mariance. Kami juga sedang mengenangi kasus-kasus lain serupa yang tidak kalah kejinya, ada yang disiksa, disiram air panas, dibuang di tengah jalan, dan lain-lain,” ujar Hermono.
“Nah, ini adalah hal yang sangat penting karena kita akan melihat bagaimana penegakan hukum di Malaysia. Kasus-kasus eksploitasi penyiksaan terhadap para pekerja migran kita yang sampai saat ini masih saja dialami atau masih saja terjadi,” katanya.
Ibu dan anak dari desa di Jawa Tengah jadi ‘korban kerja paksa’ di Malaysia3 Februari 2022
‘Mereka digeledah, ditelanjangi, dipukul’, cerita WNI yang menjadi ‘trainer’ agen perekrut pembantu di Malaysia.24 Januari 2022
Hermono mengatakan proses hukum Mariance yang memakan waktu hingga 10 tahun merupakan cerminan dari lambatnya penanganan hukum yang dihadapi PMI di Malaysia.
“Kasus Mariance Kabu adalah kasus yang menurut saya sangat tipikal dalam penanganan hukum di Malaysia terhadap pekerjaan migran kita, yaitu bahwa proses hukum itu berjalan sangat-sangat lambat.”
“Seolah-olah ini bukan dianggap sebagai hal yang prioritas atau entah apa pertimbangannya, tetapi jelas semua kasus-kasus di proses pengadilan itu berjalan sangat lambat,” kata Hermono.
Jalan berliku kasus Mariance
Rangkaian dugaan penyiksaan yang dialami Mariance terjadi pada 2014, saat dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia.
Rangkaian dugaan penyiksaan yang dialami Mariance terjadi pada 2014, saat dia bekerja sebagai PRT di Malaysia.
Majikannya, menurut pengakuan Mariance, melakukan beragam aksi kekerasan yang membuatnya cacat fisik pada kedua telinga dan mulut, bahkan beberapa giginya juga dicabut menggunakan tang.
Januari 2015 silam, majikan Mariance yakni Ong Su Ping Serene diseret ke meja hijau. Tapi dia membantah semua tuduhan jaksa dan berkeras tidak melakukan penyiksaan.
Oktober 2017, Pengadilan Malaysia memberikan status DNAA atau dilepaskan tapi tidak dibebaskan pada Serene.
Dubes Hermono menjelaskan, alasan keputusan DNAA itu karena bukti-bukti yang dihadirkan tidak lengkap, seperti tidak adanya hasil visum dari rumah sakit.
“Penyidik baru menyampaikan hasil visumnya itu 2017. Jadi, lama sekali kan antara Desember 2014 sampai 2017. Masa menyerahkan hasil visum itu sampai tiga tahun,” kata Dubes Hermono.
Setelah putusan DNAA itu, kata Hermono, kasus Mariance mangkrak hingga akhirnya pengadilan kembali membuka perkaranya tahun lalu.
“Kasus ini juga baru dibuka kembali atau diangkat lagi setelah saya menemui Jaksa Agung Malaysia pada waktu itu yang menanyakan mengenai status kasus Mariance. Setelah itu baru ditangani lagi secara serius,” kata Hermono.
Mariance bersama perwakilan KBRI Malaysia di kompleks Pengadilan Ampang, Malaysia.
Mariance adalah korban perdagangan manusia yang menjadi PRT di Malaysia. Pada April 2014 lalu, Mariance direkrut oleh PT. Malindo Mitra Perkasa melalui petugas lapangan atas nama Tedy Moa dan Piter Boki.
Dengan bujuk rayu dan iming-iming gaji tinggi serta gratis pengurusan administrasi ia akhirnya berangkat. Tapi alih-alih mendapatkan pekerjaan yang baik dan gaji layak, dia justru mendapatkan penyiksaan dari majikan.
Selama bekerja Mariance diperlakukan dengan kejam, seperti ditendang dan dipukul bahkan disiksa menggunakan alat rumah tangga seperti setrika.
Penyiksaan itu membuatnya catat fisik pada kedua telinga dan mulutnya. Beberapa giginya juga sempat dicabut menggunakan tang.
Selama delapan bulan bekerja dan hidup dalam penyiksaan, Mariance berharap ada pertolongan. Beberapa kali dia mencoba kabur, tapi akses keluar dari hunian majikannya ditutup.
Berbekal potongan kertas bertuliskan permintaan pertolongan yang dilemparkan Mariance kepada seorang tetangga, akhirnya polisi setempat datang dan menyelamatkannya.
sumber: bbc