RAMAI-RAMAI BORONG PANEN SAYUR KARENA HARGA ANJLOK – ‘MENDINGAN DIBUANG DARIPADA CAPEK’

Fenomena petani yang memilih membuang sayur hasil panen daripada dijual karena harga turun drastis kembali menjadi perbincangan dunia maya. Beberapa pihak termasuk masjid dan kampus memutuskan untuk memborongnya – yang kemudian menjadi viral di media sosial. Ada apa di balik fenomena ini?

Salah satu yang viral datang dari Sleman, Yogyakarta. Pengurus Masjid Nurul Ashri menjadi populer di platform Instagram dan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) setelah membeli berton-ton sayuran dari petani dari Ngablak di Magelang, Jawa Tengah pada 12 Juli silam.

Banyak warganet memberikan apresiasi mereka, walau tidak sedikit yang mempertanyakan kehadiran pemerintah dalam hal ini.

Faturrahman Arhaby, yang menjabat sebagai koordinator kemitraan dan komunikasi Masjid Nurul Ashri, mengatakan pihaknya mencoba menolong petani dengan membeli hasil panen dengan harga yang wajar.

Inisiatif sosial untuk membantu para petani ini tidak hanya dilakukan Masjid Nurul Ashri.

Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) juga membeli sayur-mayur seperti kacang panjang, tomat, dan daun bawang yang totalnya mencapai tujuh kuintal dari para petani di kaki Gunung Sumbing, di Kecamatan Kajoran, Magelang.

“Tadinya [sayur-sayuran] mau digratiskan oleh petani. Bahkan, kalau tidak kami beli, mau dibuang karena petani merasa rugi kalau dijual ke pasar,” ujar juru bicara Unimma, Arina Husnia, seperti dikutip dari Kompas.com pada Jumat (19/07).

Apa yang dilakukan para petani – membuang hasil panen ketika harga turun drastis – sebetulnya bukan baru kali ini terjadi. Namun, inisiatif sosial seperti yang dilakukan masjid dan universitas memunculkan semangat solidaritas di masyarakat untuk saling membantu.

Tetapi ada apa sebetulnya di balik fenomena para petani membuang hasil panen mereka – apa yang mereka harapkan dari aksi ini? Lalu, apakah aksi solidaritas dengan memborong hasil panen para petani benar-benar bisa menjadi solusinya?

Apa penyebab masjid di Sleman memborong hasil panen?

Koordinator kemitraan dan komunikasi Masjid Nurul Ashri, Faturrahman Arhaby, mengatakan pihaknya terdorong membantu kesejahteraan petani setelah mengetahui harga sayuran anjlok di pasaran seiring dengan musim panen pada tanggal 10 Juli lalu.

“[Kebetulan] kita sudah ada agenda bazar masjid. Memang niat pertamanya kita ambil [hasil panen] untuk memenuhi bazar sayur kita setiap Jumat [19/07] pagi,” ujarnya kepada wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Senin (23/07).

Pihak masjid, lanjutnya, mendapat informasi tentang lokasi para petani di Dusun Tejosari, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dari pasar setempat.

“Dua minggu yang lalu kita ke pasarnya. Setelah itu kita tidak ke pasarnya lagi, langsung [ke] petaninya.”

Faturrahman mengeklaim banyak orang yang kemudian tergerak turut membantu, terutama setelah pengurus masjid membuka program jasa titip untuk membeli sayur dari petani.

Beberapa orang membantu dengan ikut memesan, sedangkan yang lain tangan menjadi relawan dalam program bazar.

Faturrahman mengaku bisa merasakan rasa frustasi para petani yang penghasilannya menjadi terganggu karena fenomena jatuhnya harga di pasaran.

“Waktu saya tanya ke mereka, panen itu butuh tenaga, butuh modal… Kalau misalnya dibeli dengan harga di bawah modal, mereka juga rugi,” ujar Faturrahman.

“Sementara bertani bukanlah pekerjaan sekunder bagi mereka [melainkan] keseharian,” ujarnya kemudian, seraya menambahkan harga sayuran mulai merangkak setelah adanya program masjid.

“Kalau kemarin yang kita rasakan mereka [para petani] berterima kasih [kepada kami karena] membantu menaikkan harga. Detail harganya langsung ke petani saja.”

Kenapa petani membuang hasil panennya?

Priyono, seorang petani sayur asal Dusun Tejosari, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak Kabupaten Ngablak, mengaku terpaksa membuang hasil panennya karena harga anjlok.

Priyono adalah salah satu petani yang terpaksa membuang hasil panen di tempat dia bercocok tanam di kaki Gunung Merbabu tepatnya di Dusun Tejosari, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

“Kemarin itu kita panen raya sehingga stoknya membengkak, sementara kita jualnya hanya di Pasar Ngablak sini saja,” ujar pria berusia 36 tahun itu menceritakan kebuntuan yang dialaminya.

“Mendingan dibuang daripada capek.”

Priyono yang tinggal bersama kakaknya, Jumarno, dan harus menghidupi anaknya yang baru menginjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) menyebut harga beberapa sayuran seperti labu siam, sayur sawi atau pakcoy, dan tomat sempat mengalami keanjlokan.

“Sawi pakcoy itu kemarin borongannya sempat dihargai Rp15.000 [per keranjang]. [Sementara] itu buat beli keranjangnya Rp7.000 – Rp9.000, kemudian beli tali rafianya anggap saja Rp2.000. Jadi, dapat bersih hanya Rp5.000. Padahal itu beratnya 50 kilogram per keranjangnya,” ungkap Priyono.

Kejadian seperti ini, menurut Priyono, bukan kali pertama terjadi bagi para petani di Ngablak. Dia pun hanya bisa berharap masyarakat maklum apabila melihat petani memilih membuang hasil panen.

“Mau mengeluh ke siapa, bingung. Mikirnya: ‘enggak laku, buang, yang penting kita sudah kerja’, ujarnya.

Di sisi lain, Priyono mengaku mulai bisa bernapas lega setelah ada bantuan dari pihak swasta seperti Masjid Nurul Ashri. Menurut dia, pembelian dalam jumlah besar “cukup membantu” bahkan bisa mempengaruhi harga pasaran.

“[Masjid] Nurul Ashri sudah tiga kali memborong sayur kita. Sampai sekali ambil itu bisa 1 ton,” ujarnya.

Menurut Priyono, beberapa harga sayur sudah mulai merangkak dan membaik. Sayur sawi pakcoy, misalnya, yang sebelumnya dipatok seharga Rp15.000 per keranjang (seberat 50 kilogram) sekarang naik menjadi Rp50.000 per keranjang.

Priyono berharap solidaritas sosial terhadap petani ini juga bisa diterapkan pemerintah dengan membantu para petani mendistribusikan hasil buminya ke daerah-daerah lain.

Sementara itu, kakak Priyono, Jumarno (40), mengatakan para petani membuang hasil buminya lantaran mengalami frustasi yang, menurutnya, “menjadi hal wajar” pada “masa-masa sulit”.

“Ya itu ungkapan emosi kita. Karena untuk tanaman sayur itu kita butuh pupuk, obat… supaya tidak dimakan ulat dan masih banyak kebutuhan lainnya,” ujar Jumarno yang anaknya saat ini duduk di bangku SMP.

“Saya itu pernah sampai tidak bisa bayar sekolah anak saya. Akhirnya utang lagi, utang lagi,” keluhnya.

Ada apa di balik fenomena petani membuang hasil panen?

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, mengatakan para petani memilih membuang sayur dikarenakan harga yang jatuh di tengah panen yang berlimpah.

Sayangnya, menurut Henry, pemerintah tidak memiliki solusi dalam menghadapi persoalan tersebut. Aksi membuang hasil panen, kata dia, menjadi sebuah bentuk protes supaya suara mereka terdengar.

“Kenapa mereka buang sebagai bentuk protes? Ya, karena itu jauh lebih efektif untuk mengomunikasikannya ke publik ketimbang harus demonstrasi ke Jakarta atau ke kantor pemerintah,” ujar Henry kepada Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (23/07).

“Semua orang punya akses terhadap media sosial. Dan itu tidak perlu dilakukan beramai-ramai. Cukup satu, dua orang petani saja sudah bisa.”

Priyono dan istrinya, Priyanti, menuju ladang sayur di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Ngablak di Magelang, Jawa Tengah pada 23 Juli 2024

Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan para petani – khususnya dalam hal ini, petani hortikultura – selalu menghadapi permasalahan serupa ketika musim panen tiba.

Bahkan, menurut Andreas, di beberapa tempat di Indonesia, petani akhirnya membiarkan lahannya ketika panen raya tiba.

“Untuk biaya panen saja itu lebih mahal daripada harga jual produknya,” ujar Dwi Andreas melalui sambungan telepon pada Senin (22/07).

“Sayuran itu, kan, karakternya mudah rusak. Nah, [karena] mudah rusak, ya, otomatis ketika pasokan berlebihan harganya akan jatuh sekali.”

Dalam situasi seperti, lanjut Andreas, para petani pun memilih membagi-bagikan hasil panen secara gratis atau “menumpahkan produk [panen] di jalan untuk mendapatkan perhatian pemerintah [dan] konsumen”.

Apakah solidaritas sosial seperti ini bisa menjadi solusi?

Baik Henry Saragih dan Dwi Andreas mengapresiasi aksi sosial seperti yang dilakukan Masjid Nurul Ashri di Sleman dan Universitas Muhammadiyah Magelang.

“Paling tidak, untuk sementara, itu bagus dan harusnya dengan sebuah kesadaran yang lebih luas,” ujar Henry.

“Sebenarnya sudah lama ada yang melakukan seperti itu. Hanya saja, mungkin belakangan ini semakin tumbuh kesadaran yang lebih banyak lagi.”

Meski begitu, Henry menekankan bahwa solusi yang ideal tetap saja di tangan pemerintah dalam membuat regulasi dan mengatur supaya para petani dan konsumen bisa lebih terlindungi.

“Pemerintah kita ini enggak punya satu arahan. Kapan petani menanam [atau] memanen, kan, tidak ada,” ujar Henry.

“Misalnya, tanaman kelapa sawit. Sekarang ini orang tanam saja, tidak ada batasan berapa luas.”

“Kemudian juga petani sudah lama sekali tidak ada didorong [untuk] misalnya membentuk koperasi-koperasi untuk mengurus pasca-produksi dan produksinya.”

Selain itu, Henry mendorong pemerintah untuk menerapkan pengaturan untuk memproteksi kedaulatan pangan di Indonesia.

“Jangan sampai, misalnya, masyarakat sudah semangat melakukan produksi, kemudian diimpor dengan harga bebas di luar negeri,” tukasnya.

Hal senada diungkapkan Dwi Andreas. Walau mengakui solidaritas sosial bisa membangkitkan kesadaran masyarakat, aksi memborong sayur hasil panen petani tetap disebutnya “sporadis” dan “tidak akan cukup banyak berkontribusi terkait dengan persoalan ini”.

Dwi Andreas menyarankan solusi berupa pengaturan agar para petani didorong untuk menanam “melawan” musim panen untuk menghindari puncak-puncak panen raya.

“Sehingga nanti [petani] tidak panen bersamaan,” ujar Dwi Andreas.

Dwi Andreas mengakui tidak banyak petani yang mampu melakukan hal ini karena investasinya cukup besar. Untuk itu, Dwi Andreas mendorong pemerintah agar terus mengembangkan dan menginisiasi program pengelolaan pascapanen.

“Pengelolaan pascapanen ini bisa ditingkatkan. Kelebihan produk tersebut langsung diolah, dikeringkan ataupun diolah [misalnya tomat] jadi pasta supaya tidak hancur harganya [dan] bisa dimanfaatkan,” ujarnya.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, tetapi hingga artikel ini diterbitkan belum memberikan tanggapan.

Reportase tambahan oleh Kamal, wartawan di Jawa Tengah.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Berita dan Informasi Utk Takasima, Informasi AgriBisnis, Informasi Untuk Kab. Karo, Taneh Karo Simalem. Bookmark the permalink.