REVISI UU TNI JANGAN JADI AJANG AJI MUMPUNG UBAH ATURAN

Poster bernada kecaman terhadap kondisi bangsa yang dinilai semakin jauh dari cita-cita reformasi 1998 ditempel di bawah jalan layang non-tol Antasari, Cipete, Jakarta, Selasa (25/6/2024). Dua usulan perubahan krusial pada RUU TNI tentang penempatan prajurit TNI di jabatan sipil dan perpanjangan masa pensiun dinilai beberapa kalangan mengkhianati hasil reformasi 1998.

Oleh KURNIA YUNITA RAHAYU

Sejumlah persoalan internal, mulai dari perwira non-job hingga kesejahteraan prajurit, mesti dibenahi lewat tata kelola.

JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI diharapkan tidak menjadi ajang aji mumpung untuk mengubah berbagai ketentuan yang bertentangan dengan hakikat tentara sebagai alat negara di bidang pertahanan. Sejumlah persoalan internal, mulai dari banyaknya perwira non-job hingga kesejahteraan prajurit, semestinya dibenahi melalui perubahan tata kelola. Kalaupun diubah, ketentuan di UU harus mencerminkan suara seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya penguasa.

Meski sudah diusulkan sebagai rancangan undang-undang (RUU) inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak akhir Mei 2024 lalu, pembahasan RUU TNI belum dimulai. Selain DPR tengah menjalani masa reses sejak Jumat (12/4/2024) hingga Agustus mendatang, pemerintah juga belum mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dibahas bersama di parlemen.

Di tengah kekosongan DIM itu, pemerintah sempat menggelar dengar pendapat dengan TNI dan kelompok masyarakat sipil di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Jakarta, Kamis (11/4/2024). Rapat tersebut memunculkan, salah satunya, usulan untuk menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI karena terkait dengan urusan kesejahteraan.

Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengatakan, revisi UU TNI jangan sampai membuka kotak pandora perubahan ketentuan yang bertentangan dengan tugas pokok TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan. Berbagai permasalahan di institusi tersebut, antara lain, soal kesejahteraan dan banyaknya perwira non-job, semestinya diselesaikan dengan tata kelola internal. Sebab, persoalan tersebut tidak berhubungan langsung dengan substansi UU TNI.

Jangan biarkan prajurit berjalan sendiri untuk mencari kesejahteraannya karena itu awal dari malapetaka.

”(Penyelesaian masalah internal TNI) Tidak memerlukan revisi UU TNI karena UU tidak salah. Kalau diubah, justru menjadi menyimpang dari kaidah penyelenggaraan fungsi pertahanan dalam demokrasi,” kata Agus, yang juga salah satu perumus reformasi TNI pasca-Reformasi 1998, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/7/2024).

Agus mencontohkan, soal kesejahteraan prajurit merupakan tanggung jawab negara dan dijamin melalui kebijakan pemerintah. Urgensi peningkatan kesejahteraan memang menjadi hal yang relatif, tetapi inisiatif untuk memperbaiki soal tersebut mutlak harus berasal dari pemerintah dan bukan dari prajurit.

”Jangan biarkan prajurit berjalan sendiri untuk mencari kesejahteraannya karena itu awal dari malapetaka,” kata Agus yang juga Duta Besar RI untuk Filipina tersebut.

Malapetaka dimaksud terkait dengan potensi konflik kepentingan saat prajurit, apalagi yang menduduki jabatan sebagai komandan kesatuan, terlibat urusan bisnis. Mereka semestinya fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi perang atau ancaman militer dari luar negeri.

Jika tengah berada di luar tugas tersebut, maka hal yang perlu dikerjakan adalah membangun kesiapan yang diatur melalui jalur konstitusional. Hal itu seperti pembahasan anggaran atau pengadaan alat utama sistem persenjataan.

Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo.

”Di negara mana pun juga tentara seperti itu (dilarang berbisnis). Sebagai alat negara, tentara tidak boleh punya bocoran kewenangan di luar jalur konstitusi karena kalau ada bocoran itu, akan membuka peluang bagi konflik kepentingan dan perselingkuhan loyalitas,” ujar Agus.

Persoalan lain, yakni terkait dengan banyaknya perwira non-job, juga tidak bisa diselesaikan dengan memperluas jabatan sipil yang bisa diduduki prajurit TNI aktif serta menambah usia pensiun perwira dan bintara. Masalah itu semestinya dibenahi dengan rancangan pendidikan perwira yang langsung dikaitkan dengan penghitungan kebutuhan untuk mengisi pangkat jenderal.

Adapun jabatan yang tidak perlu diduduki oleh jenderal bisa diisi oleh prajurit yang mengikuti pendidikan perwira dari bintara. Dengan begitu, usia karier mereka terbatas dan hanya akan sampai pada tingkat perwira menengah.

Langkah mundur reformasi

Menurut Agus, substansi revisi UU TNI yang diusulkan oleh DPR ini merupakan langkah mundur dari reformasi TNI. Perluasan jabatan sipil untuk prajurit TNI aktif jelas bakal mengembalikan dwifungsi ABRI yang terjadi pada Orde Baru dan mengurangi kesiapan dalam menghadapi perang. Padahal, hal itu juga yang telah dihapus oleh bangsa Indonesia dengan mengamendemen konstitusi serta merumuskan UU TNI sebagai bagian dari reformasi TNI.

Anggota DPR mengikuti rapat paripurna dengan agenda penyampaian pandangan fraksi-fraksi terhadap revisi empat rancangan undang-undang (RUU) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2024).

Kalaupun UU TNI perlu direvisi, menurut Agus, hal itu harus berdasarkan pada aspirasi seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya pembentuk UU, tetapi juga TNI dan seluruh masyarakat. Namun, saat ini usulan revisi muncul dari DPR dan disetujui pemerintah dalam waktu singkat, padahal kritik publik terus bermunculan.

Untuk itu, penyerapan aspirasi publik melalui berbagai dialog harus dilakukan sebelum RUU TNI dibahas secara formal. ”Jangan diam-diam, jangan ada kepentingan-kepentingan rahasia yang tertutup karena negara ini negara kita bersama, bukan negara kekuasaan,” tutur Agus.

Secara terpisah, peneliti hak asasi manusia (HAM) dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Merisa Dwi Juanitas, mengatakan, perkembangan wacana seputar RUU TNI semakin mengkhawatirkan. Semula, rencana perubahan hanya pada Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia pensiun prajurit, tetapi kini bertambah ke Pasal 39 yang terkait dengan larangan prajurit untuk berbisnis.

Warga menaiki tank milik Korps Marinir TNI Angkatan Laut saat upacara peringatan HUT Ke-77 Korps Marinir di Lapangan Kesatrian Marinir Hartono, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).

”Usulan perubahan pada pasal-pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini dirawat. Hal itu juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi spektrum ancaman yang semakin luas,” kata Merisa.

Oleh karena itu, menurut Merisa, pembahasan RUU TNI harus ditunda untuk memperluas partisipasi bermakna dari publik, baik masyarakat secara umum, akademisi, maupun kelompok masyarakat sipil. Kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI harus dijaga dengan memperkuat agenda reformasi TNI. Dengan begitu, TNI bisa benar-benar mewujud sebagai institusi yang profesional dalam bidang pertahanan negara.

Tunggu pemerintah

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan RUU TNI hanya menunggu kesiapan dari pemerintah. Meski sudah mengirimkan surat presiden (supres) berisi persetujuan untuk membahas RUU TNI, pemerintah belum menyertakan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berisi pandangan terhadap setiap usul perubahan. Tanpa DIM pemerintah, Baleg DPR tak bisa memulai pembahasan kendati pimpinan DPR sudah menugaskan alat kelengkapan dewan itu untuk membahasnya bersama pemerintah.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.

”Jadi, tergantung pemerintah, ya. Kalau DIM-nya dikirim pada masa sidang depan, ya, kita akan bahas pada masa sidang depan. Kalau DIM-nya tidak jadi-jadi, ya, tidak jadi dibahas,” kata Supratman yang adalah politisi Partai Gerindra itu.

Saat ini, DPR tengah berada dalam masa reses dan baru akan kembali memasuki masa sidang pada Agustus 2024 mendatang. Masa sidang mendatang merupakan masa sidang terakhir sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 berakhir pada akhir September 2024.

Sebagai pengusul awal revisi UU TNI, kata Supratman, Baleg DPR tentu menargetkan agar pembahasan RUU TNI sudah tuntas pada masa sidang terakhir periode 2019-2024. Akan tetapi, target itu tidak bisa dipaksakan karena harus menunggu sikap pemerintah melalui DIM. ”Sebagai Ketua Baleg, saya tentu berharap ini bisa diselesaikan segera agar tidak menjadi beban teman-teman yang akan memulai jabatan baru pada 1 Oktober mendatang,” tuturnya.
sumber: kompas

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.