Widodo SP – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), eks Gubernur DKI Jakarta pernah memberi petuah bijak soal kepemimpinan, yang mungkin tidak banyak yang akan memilih berada “di jalan” yang Ahok bentangkan itu.
“Kita bisa katakan akar dari semua kejahatan, orang yang cinta uang. Akar dari permasalahan kita adalah korupsi. Kalau berbicara korupsi, kalau kepalanya lurus bawahannya tidak berani tidak lurus,” kata Ahok dalam suatu kesempatan saat masih menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta mendampingi Jokiwi, yang lantas menjadi RI-1 sehingga Ahok naik menjadi gubernur.
Sekali lagi, sayangnya, tidak banyak orang dengan sebutan “pemimpin” bersedia menempuh jalan keteladanan yang memang cenderung sepi peminat itu. Ahok bahkan pernah menambahkan soal tantangannya agar para pejabat Indonesia berani melakukan pembuktian harta secara terbalik, supaya rakyat mengerti secara jelas dari mana duit atau pendapatan mereka berasal, karena tak sedikit yang lantas bertambah kekayaan secara luar biasa begitu menjabat sebagai “abdi negara” di tingkat elit.
Namun, omongan Ahok itu meskipun ada banyak yang setuju (terutama bagi mereka yang muak dengan perilaku para koruptor), tapi seakan susah sekali dipahami oleh para elit politik di negeri ini, tak terkecuali sosok RI-1 yang tampaknya sudah mulai “agak serong” jalannya.
Majunya Gibran, yang didahului oleh putusan MK hasil desain yang sempurna dari Paman Usman, bahkan seakan dibiarkan begitu saja oleh Jokowi, yang sebenarnya masih punya power untuk melarang anaknya, belakangan tampaknya akan diikuti oleh menantu laki-lakinya, agar tidak maju sebagai Cawapres atau Gubernur dengan cara-cara yang tidak lazim atau jalan yang agak miring kalau kita menggunakan kalimat Ahok di atas.
Ya, perkataan Ahok tadi jika direnungkan memang tidak hanya cocok diimplementasikan untuk menentang setiap tindakan korupsi, tetapi arti “kepala yang lurus” tadi bisa dimaknai mwnurut konteks di manapun kepemimpinan itu ada, mulai dari dalam rumah (tidak berlaku bagi suami yang takut istri), di masyarakat mulai dari Ketua RT, RW, Kepala Desa hingga Camat, bahkan bisa diterapkan di berbagai instansi dan perkantoran, baik negeri maupun swasta, juga di bidang keagamaan!
Akan tetapi, sungguh disayangkan karena sosok yang mendapat perhatian masyarakat dan media begitu kuat, yang dahulu kita sangka dapat menjadi “figur nyata” soal pemimpin yang lurus, eh malah tanpa sadar mengajarkan contoh soal pemimpin yang agak oleng tanpa pernah merasa bersalah.
Memang tak ada pemimpin yang sempurna, tetapi setidaknya jangan pertontonkan “jalan yang oleng atau miring” itu kepada khalayak, apalagi pada era media sosial seperti ini, dimana (maaf) orang kentut sembarangan pun kalau kebetulan ada yang merekam dan bertemu “momentum” yang tepat, akan viral dalam sekejap mata. Bagaimana menurut Anda?
Begitulah kura-kura…
sumber: seword