SUMBER GAMBAR, ANTARAFOTO
Keterangan gambar,Karen Agustiawan sebelum masuk mobil tahanan usai konferensi pers penetapan tersangka oleh KPK, Selasa (19/09).
Mantan Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, divonis sembilan tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina.
“Karen Agustiawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif pertama,” kata Hakim Ketua Maryono dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada Senin (24/06), sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara.
Vonis itu lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta agar Karen dipenjara selama 11 tahun.
Denda yang dijatuhkan kepada Karen juga lebih rendah dari tuntutan jaksa sebesar Rp1 miliar. Dalam tuntutannya, jaksa menilai Karen telah merugikan negara sebesar US$113 juta atau setara Rp1,77 triliun.
Kasus ini diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mencium adanya dugaan korupsi dalam pembelian LNG oleh perusahaan plat merah tersebut pada kurun 2011 hingga 2021.
Karen disebut melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan asing secara sepihak, yang berujung pada kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun.
Karen sempat membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa tindakannya sesuai dengan ketentuan dan sudah melalui uji tuntas atau due diligence. Dia juga mengeklaim pemerintah saat itu tahu tentang pengadaan LNG yang dia lakukan.
Ini kedua kalinya perempuan itu terjerat kasus korupsi.
Pada pertengahan 2019, dia divonis pidana penjara selama delapan tahun setelah dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus korupsi investasi di Australia.
Namun pada awal 2020, Mahkamah Agung membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
Siapa Karen Agustiawan?
Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menjabat Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dari 2009 hingga 2014. Dia adalah perempuan pertama yang menempati posisi puncak di Pertamina sepanjang 51 tahun sejarah perusahaan itu.
Sebelum bekerja di Pertamina, lulusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978 itu sudah malang melintang di industri minyak dan gas.
Dia pernah bekerja di perusahaan multinasional Amerika Mobil Oil kemudian Halliburton, sebelum bergabung dengan Pertamina pada 2006.
Karen lahir di Bandung, Jawa Barat pada 19 Oktober 1958.
Ayahnya, Sumiyatno, adalah delegasi pertama Indonesia untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pernah menjabat presiden perusahaan plat merah Biofarma.
Apa tuduhan terhadap Karen?
Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam konferensi pers pada 19 September 2023 memaparkan kasus dugaan korupsi yang menjerat Karen.
Kasus ini, kata Firli, bermula pada tahun 2012 ketika Pertamina berencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif demi mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Waktu itu Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit gas dalam kurun 2009-2040 sehingga diperlukan pengadaan gas alam cair untuk memenuhi kebutuhan industri pupuk dan petrokimia.
Karen yang saat itu menjabat Dirut Pertamina mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan pemasok di luar negeri. Perusahaan yang diajak bekerja sama antara lain Corpus Christi Liquefaction (CCL) dari Amerika Serikat.
Firli mengatakan, Karen secara sepihak memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh serta tidak melaporkannya kepada Dewan Komisaris PT Pertamina.
“Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” tutur Firli dalam konferensi yang disiarkan di kanal YouTube KPK.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan Karen melakukan perjanjian secara sepihak dengan perusahaan Amerika sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun.
Dalam perjalanannya, semua kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari CCL tidak terserap di pasar domestik, menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Akibatnya, Pertamina harus menjual rugi LNG itu di pasar internasional.
Atas perbuatannya, Karen diduga menyebabkan kerugian negara senilai 140 juta dolar AS atau setara Rp2,1 triliun. Dia dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Bagaimana perjalanan kasus Karen?
Firli mengatakan KPK telah memanggil sejumlah saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina, termasuk Menteri Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) periode 2011-2014, Dahlan Iskan.
Usai pemeriksaan, Dahlan mengaku tidak tahu-menahu soal pembelian LNG sebab menurutnya Kementerian BUMN tidak mengurus persoalan teknis belanja perusahaan, lansir Kompas.com.
Selain Dahlan, KPK juga memanggil sejumlah mantan direksi di Pertamina sebagai saksi. Mereka adalah Dirut PT Pertamina 2014-2017 Dwi Soetjipto, Direktur Utama PT PLN 2011-2014 Nur Pamudji, mantan Pelaksana Tugas (Plt) Dirut Pertamina 2017 Yenni Andayani, dan mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.
KPK juga memeriksa Dimas Mohamad Aulia yang merupakan anak Karen.
Sebelum kasus korupsi ini, Karen juga pernah terjerat kasus korupsi di Pertamina. Kasus sebelumnya terkait investasi di blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada tahun 2009 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp568 miliar.
Karen diduga mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di Pertamina dengan menyetujui kerja sama tanpa adanya due diligence serta analisis risiko. Selain itu, menurut jaksa, penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA) dilakukan tanpa persetujuan Dewan Komisaris PT Pertamina.
Jaksa mengatakan Pertamina tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis melalui investasi di Blok BMG karena Roc Oil Company Limited (ROC) Australia selaku operator di blok tersebut menghentikan produksi dengan alasan lapangan tersebut tidak ekonomis lagi sejak 20 Agustus 2010. Ujung-ujungnya, Karen dituduh memperkaya ROC.
“Walau sejak 20 Agustus 2010, ROC telah menghentikan produksi di Blok BMG, berdasarkan SPA antara PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan ROC, PT PHE wajib membayar kewajiban biaya operasional (cash call) dari Blok BMG Australia sampai 2012 sehingga hal tersebut menambah beban kerugian bagi PT Pertamina,” kata jaksa seperti dilansir detikcom.
Pada pertengahan 2019, Karen divonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dihukum delapan tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Namun, pada awal 2020, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi membebaskan Karen dari segala tuntutan hukum. MA menilai apa yang dilakukan Karen bukan tindak pidana korupsi melainkan murni keputusan bisnis.
“Alasan dalam pertimbangan majelis kasasi antara lain bahwa apa yang dilakukan terdakwa Karen adalah ‘business judgment rule’ dan perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana,” kata juru bicara MA waktu itu Andi Samsan Nganro kepada detikcom.
Apa bantahan Karen?
Usai dinyatakan tersangka oleh KPK, Karen mengatakan kepada wartawan bahwa pengadaan LNG di Pertamina pada masanya bukan aksi pribadi melainkan aksi korporasi karena sudah disetujui oleh jajaran direksi secara kolektif kolegial. Persetujuan itu diberikan demi melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Jadi pengadaan LNG ini bukan aksi pribadi, tapi merupakan aksi korporasi Pertamina berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden),” kata Karen sebelum masuk mobil tahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa kemarin.
Karen menyatakan tindakan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dan sudah diuji tuntas (due diligence) dengan melibatkan tiga konsultan, salah satunya McKinsey.
Lebih lanjut, dia mengklaim pemerintah tahu soal pengadaan LNG tersebut. Bahkan, Dahlan Iskan selaku menteri BUMN sempat menandatangani disposisi untuk perusahaan pelat merah tersebut.
“Itu jelas banget (ada disposisi tanda tangan Dahlan Iskan), tolong nanti yang UKP4 tolong ditanyakan ke Pertamina, di situ ada jelas bahwa ada targetnya,” kata Karen sebagaimana dilansir Kompas.com.
Karen juga membantah kerugian negara senilai Rp2,1 triliun yang disampaikan KPK. Menurut dia, Pertamina harusnya untung karena bisa menjual dengan nilai positif sekitar 70 sen/mmbtu berdasarkan dokumen bulan Oktober 2018.
“Kenapa itu tidak dilaksanakan? Saya tidak tahu. Tapi year to date sekarang dari mulai first delivery 2009 sampai 2025 itu sudah untung Rp 1,6 triliun. Dan kalau masih ada kecurigaan, satu-satunya perdagangan Indonesia dan AS yang di-file di Securities And Exchange Commission AS itu adalah perdagangan LNG,” ungkapnya.
“Jadi semua perjanjian maupun harga itu transparan. Jadi silakan masih ke website tersebut,” imbuhnya.
Bagaimana membedakan risiko bisnis dengan korupsi?
Menurut peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman, KPK perlu banyak belajar dari kasus dugaan korupsi BMG yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus ini, lembaga antirasuah itu perlu mengumpulkan alat bukti yang dapat memastikan bahwa kerugian adalah akibat tindakan korupsi dan bukan sekadar risiko bisnis.
“Apakah ada alat bukti yang menunjukkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka? Barangkali juga KPK punya alat bukti yang menunjukkan ada atau tidaknya moral hazard (bahaya moral) yang bisa berupa kickback (imbalan atau gratifikasi), konflik kepentingan, dan lain-lain,” kata Zaenur kepada BBC News Indonesia.
Zaenur menjelaskan, ada bermacam-macam jenis kerugian yang dialami BUMN. Ada yang murni disebabkan oleh penyimpangan moral seperti penipuan (fraud), imbalan atau gratifikasi (kickback), konflik kepentingan, atau pelanggaran peraturan atau prosedur operasional standar (SOP) BUMN — kasus seperti ini jelas adalah tindak pidana korupsi.
Tetapi jika insan BUMN sudah menerapkan tindakan kehati-hatian, tidak ada konflik kepentingan, sudah berusaha mencegah kerugian, tidak melakukan penyimpangan moral, dan tidak melanggar aturan namun tetap terjadi kerugian; maka itu merupakan risiko bisnis yang tidak dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi.
Bagaimanapun prinsip kehati-hatian perlu diutamakan, kata Zaenur, mengingat BUMN mengelola duit negara.
“Sebagian orang memandang kalau cuma salah prosedur tidak perlu dipidana, tapi menurut saya salah prosedur atau tidak mengikuti prosedur itulah yang menyebabkan kerugian. Mengikuti prosedur itu juga menunjukkan prinsip kehati-hatian,” ujarnya.
Menteri BUMN Erick Thohir berusaha membersihkan perusahaan pelat merah dari lilitan utang dan korupsi.
BUMN selama ini banyak dikritik karena kontribusi yang minim pada pendapatan negara – kendati mendapat modal dari APBN – banyak utang, dan disebut-sebut “sarang korupsi”.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 2016 hingga 2021, aparat penegak hukum telah menyidik sedikitnya 119 kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN. Kasus-kasus tersebut mengakibatkan kerugian negara setidaknya hampir Rp48 triliun.
Menurut Zaenur, ada tiga hal yang membuat BUMN rawan korupsi. Pertama, kurangnya rasa memiliki atau pertaruhan pribadi karena BUMN adalah entitas bisnis yang dimiliki negara. Kedua, budaya fraud yang telah melembaga begitu kuat sehingga tidak mudah dibersihkan. Ketiga, intervensi yang bersifat non-bisnis dari pihak luar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip good corporate governance.
sumber: bbc