PEMIMPIN JARINGAN PEMBURU BADAK BERCULA SATU DI UJUNG KULON DIVONIS 12 TAHUN PENJARA – ‘INI KEMATIAN TERBESAR MENGINGAT POPULASINYA KIAN MENYUSUT’

SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES
Keterangan gambar,Bayi badak putih Afrika (Ceratotherium simum) berusia tiga bulan bernama Azsyifa berada di Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada 23 Januari 2020.

Pemimpin jaringan pemburu liar, Sunendi, telah divonis 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan atas pembunuhan enam ekor badak Jawa bercula satu di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sunendi merupakan satu dari 13 pelaku yang ditangkap karena dituduh membunuh 26 ekor badak Jawa.

Dalam putusan vonis yang dibacakan hakim anggota Pengadilan Negeri, Pandji Answinartha di Pengadilan Negeri Pandeglang, Rabu (5/6) sore, Sunendi membunuh enam ekor badak menggunakan senjata jenis mouser, pistol, senapan angin dan bedil locok.

Keenam ekor yang dibunuh itu terdiri dari lima badak jantan dan satu betina pada periode 2019 sampai 2023, kata hakim Panji Answinartha.

Oleh karena itu, Sunendi dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana menangkap, membunuh dan memperniagakan satwa yang dilindungi, yakni badak Jawa, sebagaimana dakwaan kumulatif Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf a dan huruf d Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam serta Pasal 1 Undang-undang Darurat dan Pasal 362 KUHP.

“Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya, terdakwa tidak memiliki belas kasih pada satwa yang dilindungi sehingga membidik dan menembaknya hingga mati,” kata hakim Pandji Answinartha seperti dikutip detikcom.

Vonis ini jauh lebih tinggi ketimbang tuntutan lima tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider dua bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Pandeglang, pada 13 Mei lalu.

Berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan, Sunendi memiliki koleksi tengkorak dan tulang belulang badak Jawa yang pernah ia buru.

Dia juga memiliki satu lembar rekapitulasi data individu badak yang terekam camera trap pada 2020-2023. Ada pula peta penjagaan jalur masuk atau keluar prioritas dan operasi penyergapan di Seksi II Taman Nasional Ujung Kulon.

Bahkan, menurut hakim, ia memiliki satu bundel peta distribusi badak Jawa hasil rekaman camera trap sepanjang 2020-2023.

Menurut hasil temuan Polda Banten, Sunendi merupakan salah satu pemimpin jaringan pemburu liar badak bercula satu. Cula tersebut diduga diselundupkan dan dijual ke China untuk obat dan kosmetik.

Bagaimana aksi Sunendi terbongkar?

Aksi Sunendi terbongkar saat petugas TNUK menemukan kepala badak yang sudah terpotong. Petugas juga menemukan tulang belulang badak yang tewas diduga karena ditembak.

“Saksi Ujang Acep menemukan kepala badak Jawa atau badak bercula satu pada Juni 2023 di sekitaran kubangan badak Jawa minum dan mandi, dan tim menemukan tulang badak diduga mati karena ditembak senapan locok di jalan yang bisa dilintasi badak,” kata hakim Pandji Answinartha di Pengadilan Negeri Pandeglang sebagaimana diberitakan Detik.com.

Rekaman camera trap, menurut hakim, menampilkan Sunendi dan kelompoknya membawa laras panjang. Rekaman juga menunjukkan empat camera trap yang dimasukkan ke tas.

“Resmob melakukan penyelidikan hilangnya camera trap sampai untuk mengetahui dengan jelas terlihat seseorang pakai topi, sepatu bot, selempang, bawa senapan dan golok. Bahwa dari dalam rekaman Sunendi tanpa seizin pemiliknya telah mengambil camera trap di Citadahan,” papar hakim.

Sunendi telah divonis 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan atas pembunuhan enam ekor badak Jawa bercula satu di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Pihak kepolisian mengaku masih terus mengejar jaringan pemburu liar lainnya setelah menangkap 13 terduga pelaku, termasuk delapan orang dari jaringan Sunendi.

Secara keseluruhan, 13 terduga pelaku itu ditengarai sudah membunuh 26 badak bercula satu dan menjual culanya di pasar gelap internasional.

Yayasan Auriga Nusantara menyebut dugaan kematian 26 badak Jawa bercula satu oleh jaringan pemburu liar di TNUK merupakan jumlah terbesar jika merujuk pada populasinya yang semakin berkurang.

Catatan mereka, sebelum tahun 2020, jumlah badak bercula satu di TNUK mencapai 60-an ekor. Tapi jumlah badak tersebut terus menyusut tahun-tahun setelahnya karena diduga aktivitas perburuan liar meningkat di kawasan tersebut.

Karena itulah Auriga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kepolisian serius mengungkap kejahatan yang terorganisir ini sampai ke pemodalnya dan menghukum seberat-beratnya sebagai efek jera.

Sidang vonis perkara perburuan badak Jawa Taman Nasional Ujung Kulon dengan terdakwa Sunendi.

Sementara itu, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan laporan polisi yang menyebut 26 badak Jawa mati oleh pemburu masih perlu pendalaman dan pembuktian berupa tulang-belulang dari hasil perburuan.

Saat ini tim dari TNUK bekerja sama dengan penyidik Polda Banten sedang memetakan di mana lokasi perburuan dan di mana tulang itu berada berdasarkan pengakuan dari para pemburu yang sudah ditangkap.

Polisi tangkap 13 orang terduga pelaku

Polda Banten menangkap setidaknya 13 orang terduga pelaku perburuan badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Kabupaten Pandenglang, Banten.

Dari keterangan para pelaku menyebutkan mereka sudah membunuh 26 badak bercula satu dan menjual culanya di pasar gelap internasional.

Namun demikian, polisi akan terus menggali berapa jumlah pasti badak yang mati diburu dengan terjun ke lapangan dan memeriksa tulang belulang badak ke laboratorium.

Sebab, ada kemungkinan jumlah badak yang diburu bisa lebih dari 26 atau kurang dari itu.

“Ini masih belum kita ketahui berapa jumlahnya, [26 ekor] hasil keterangan saja. Tapi kita belum tahu fakta yang ada di lapangan, tulang badak dan sebagainya. Karena kita susah menentukan, artinya pengakuan ini belum tahu juga fakta di lapangan,” ujar Abdul Karim seperti dilansir Kompas.com.

Badak Sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.

Kapolda Banten, Irjen Pol Abdul Karim, bilang 13 orang pelaku tersebut berasal dari dua jaringan yang dipimpin Sunendi dan Suhar.

Selain menangkap para pemburu, polisi juga menyita hasil perburuan berupa cula badak yang hendak dijual ke China.

“Itu jaringan Suhar ada lima orang dan jaringan Nendi ada delapan orang. Jadi totalnya 13 orang,” ujarnya.

Terkait jaringan, polisi menyebut masih terus mengejar jejaring pemburu liar lainnya. Tapi setidaknya ada dua jaringan yang baru terdeteksi oleh aparat.

Sejauh ini, polisi belum melakukan pencarian penjualan cula ilegal tersebut ke China karena masih fokus melakukan penyelidikan dan penyidikan di taman nasional.

Hanya saja polisi mengeklaim telah menangkap dua orang yang diduga menjadi penghubung atau calo penjualan cula badak dari Indonesia ke China.

Calo cula badak itu disebut merupakan warga negara China.

“Sebelumnya sudah diamankan yang menjual sampai ke China. Nilainya yang paling mahal dijual ke China, untuk obat dan kosmetik. Orang China-nya ada dua (yang ditangkap). Di China ada pasar yang belum kami amankan,” jelas Dirkrimum Polda Banten, Kombes Pol Yudhis Wibisana.

Seorang penjaga hutan dari Konservasi Leuser menunjukkan perangkap hewan yang dipasang oleh pemburu liar untuk menangkap berbagai satwa liar termasuk hewan buruan besar seperti badak, gajah, harimau, dan beruang di hutan hujan ekosistem Leuser.

Untuk diketahui, pada April 2024 lalu Polda Banten juga telah menangkap tiga orang, yakni pemburu berinisial N, pembeli berinisial W, dan Y selaku penghubung atau calo dari N ke W.

Dari pengakuan N diketahui dia sudah membunuh enam badak bercula satu di TNUK.

Cula badak hasil perburuan tersebut dihargai Rp200 juta sampai Rp500 juta.

Mereka pun dikenakan Pasal 40 ayat 2, juncto Pasal 21 ayat 2 UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dengan ancaman lima tahun penjara.

Bagaimana modus para pelaku?

Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, meyakini para pemburu cula badak Jawa ini adalah pemburu profesional badak Sumatra yang belakangan mengincar badak Jawa.

Pasalnya populasi badak Sumatra juga menyusut drastis, bahkan di Lampung hampir dipastikan sudah punah kecuali yang berada di Taman Nasional Way Kambas.

Kondisi itu membuat para pemburu akhirnya beralih ke Ujung Kulon yang jaraknya relatif dekat.

“Ini yang jadi soal karena kita tidak pernah mendengar penangkapan pemburu badak di Sumatra,” ujar Timer Manurung kepada BBC News Indonesia, Senin (03/06).

Badak Sumatra adalah badak terkecil dari semua badak, dan satu-satunya varietas Asia yang memiliki dua cula.

“Makanya kalau [kasus di TNUK] tidak ditangkap pembeli dan pemodalnya, tinggal menunggu waktu akan ada badak yang mati. Karena otak pelakunya dibiarkan.”

Perkiraan Auriga Nusantara, jumlah badak Jawa di TNUK sebelum tahun 2020 tersisa 60-an ekor. Jumlah itu sebetulnya berkurang dari tahun ke tahun.

Pada April 2023, Auriga pernah melaporkan 15 ekor badak Jawa di TNUK hilang alias tidak terpantau sejak tiga tahun terakhir. Lembaga ini menduga kuat, hilangnya belasan badak itu berkaitan dengan meningkatnya aktivitas perburuan liar di kawasan tersebut.

Selain itu sebanyak tiga badak yang terdiri dari satu jantan dan dua betina juga ditemukan mati pada tahun 2020 dan 2021.

Itu mengapa, Timer memercayai temuan Polda Banten yang menyebut 26 badak Jawa telah mati di tangan pemburu liar.

Pasalnya sejak tahun 2020 atau ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutus kerja sama dengan WWF Indonesia kegiatan patroli terbengkalai.

“Karena orang bebas masuk, enggak ada pengawasan. Ujung Kulon kan tepi laut, orang bisa sandar perahu di mana saja. Kalau tidak ada yang patroli, ya bisa-bisa aja [masuk].”

Seorang anggota dari JRSCA (Area Studi dan Konservasi Badak Jawa) sedang melihat jejak badak di Taman Nasional Ujung Kulon di provinsi Banten.

“Perlu diketahui, kegiatan teknis konservasi di taman nasional biasanya dilakukan mitra-mitra KLHK atau NGO seperti WWF Indonesia. Saat WWF Indonesia [diusir], konservasi dan patroli enggak ada.”

“Sekarang ALeRT Indonesia mencoba mengisi kekosongan itu, tapi kan sudah kadung mati badaknya.”

Timer juga menyebut para pemburu biasanya membunuh hewan yang terancam punah ini dengan cara ditembak.

Lalu mengambil culanya, lantas bangkainya dicincang dan dikubur. Itu mengapa jasadnya tidak ditemukan.

“Itu cerita dari pemburu, mereka bagi-bagi tugas, ada yang menembak, mengambil cula, dan mengubur. Jadi ini sudah menjadi kejahatan yang terorganisir,” ungkap Timer.

“Karena sebelum-sebelumnya kalau ada badak mati, pasti ketemu jasadnya. Artinya cula badak tidak dicuri.”

Kasus kematian badak terbesar

Timer Manurung menyebut kematian 26 badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) menjadi yang terbesar jika merujuk pada populasinya yang semakin menyusut.

Dia khawatir, dari 26 badak yang mati itu di antaranya ada yang berjenis kelamin betina. Sebab kalau ada badak betina yang menjadi korban pemburu liar sudah pasti mengancam upaya pelestarian badak Jawa.

“Makanya harus dicek yang 26 ini jenis kelamin apa, umur berapa, dan apakah badak produktif?”

Delilah (kiri), anak badak berusia dua bulan, bersama induknya Ratu (kanan) di Taman Nasional Way Kambas di Lampung.

“Lalu hitung ulang berapa yang tersisa, karena itu bisa menentukan berapa nanti yang bisa diharapkan kelahiran per tahun.”

“Kalau betina sampai ada yang mati, maka persoalannya untuk bereproduksi menjadi masalah. Selesai sudah Ujung Kulon, enggak ada lagi yang bisa melahirkan.”

Atas dasar itulah, dia mendesak KLHK agar terbuka soal populasi badak Jawa yang tersisa di sana. Tujuannya supaya kegiatan konservasi satwa menjadi jelas dan terarah.

Sebab dalam beberapa tahun terakhir, menurutnya, KLHK maupun pengelola TNUK terkesan menutup-nutupi jumlah populasi badak sehingga Auriga Nusantara harus melayangkan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP) tahun lalu.

“Sengketa kami masih jalan sampai sekarang, sudah mau mendekati putusan.”

“Makanya kami minta KLHK membuka diri dan transparan soal ini. Kalau tindakan konservasi satwa mau benar, angkanya harus jelas. Karena badak ini bukan punya KLHK, tapi negara,” jelas Timer.

“Ini kan datanya enggak pernah dibuka, karena harus seizin menteri dan menteri enggak membolehkan. Sekarang KLHK hanya bersuara kalau ada kelahiran satwa.”

“Seolah-oleh selebrasi terus. Seperti bau [bangkai] yang dibungkus parfum.”

Apa tanggapan KLHK soal matinya 26 badak Jawa?

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Satyawan Pudyatmoko, mengatakan terkait laporan polisi yang menyebut 26 badak Jawa mati oleh pemburu, masih perlu pendalaman dan pembuktian berupa tulang-belulang dari hasil perburuan.

Saat ini tim dari TNUK bekerja sama dengan penyidik Polda Banten sedang memetakan di mana lokasi perburuan dan di mana tulang itu berada berdasarkan pengakuan dari para pemburu yang sudah ditangkap.

“Jumlah 26 ini masih belum dapat dipastikan kebenarannya karena ini merupakan pengakuan dari setiap orang yang berburu yang sudah ditangkap,” sebut Satyawan dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/06).

Badak bercula satu adalah salah satu yang paling terancam punah, yang kini berada di Taman Nasional Udjung Kulon,Indonesia.

“Dalam berburu mereka biasanya berkelompok terdiri dari tiga orang dan bergantian kelompoknya tidak tetap, sehingga dimungkinkan satu regu bisa double hitungannya.”

Kasus perburuan badak, sambungnya, adalah masalah serius yang memerlukan tanggapan cepat dan terkoordinasi dari semua pemangku kepentingan.

Dia berharap perburuan badak bisa dihentikan dengan menangkap seluruh DPO (Daftar Pencarian Orang) yang telah ditetapkan.

Berapa banyak populasi badak di kawasan TNUK?

Badak Jawa termasuk satwa yang mempunyai sifat menghindar dari kehadiran manusia, hidup menyendiri pada kawasan hutan yang lebat dan luas sehingga sulit untuk dijumpai secara langsung.

Monitoring populasi badak Jawa menggunakan kamera jebak yang dipasang di semenanjung Ujung Kulon -berjumlah 79 sampai 132 unit setiap tahunnya.

Pada tahun 2020 terpasang 79 unit kamera jebak (yang merekam dan teridentifikasi 34 individu), kumulatif dengan tahun 2019 (72 individu) dan kelahiran dua individu menjadi 74.

Penjaga hutan Indonesia dari Rhino Monitoring Unit (RMU) berbaris saat mereka bersiap untuk perjalanan pemantauan sepuluh hari di Taman Nasional Ujung Kulon di provinsi Banten.

Pada tahun 2021 terpasang 92 unit kamera jebak (yang terekam dan teridentifikasi 61 individu), kumulatif dari tahun 2020 (74 individu), kelahiran lima individu dan kematian tiga individu badak menjadi 76.

Pada tahun 2022 terpasang 132 unit kamera jebak (yang terekam dan teridentifikasi 41 individu), kumulatif dengan tahun 2021 (76 individu) dan kelahiran 4 individu menjadi 80 badak.

Data populasi badak Jawa dikumulatifkan dari jumlah tahun sebelumnya ditambah kelahiran dan dikurangi kematian.

Pada pelaksanaan monitoring badak Jawa, apabila di lapangan tidak ditemukan kematian, maka jumlah akan tetap dan akan bertambah apabila ditemukan rekaman anakan.

Apa yang dilakukan KLHK untuk memantau dan melindungi badak Jawa?

Catatan KLHK pada tahun 2018 sampai 2019 dilaporkan adanya dua kematian badak Jawa yang teridentifikasi sebagai Badak Samson dan Badak Manggala, yang saat itu belum diketahui dengan pasti penyebabnya.

Pada 2020 hingga 2021 ditemukan tulang belulang badak di tiga lokasi yang menunjukkan individu yang berbeda berdasarkan analisis DNA. Hasil analisis berdasarkan identitas badak dari kamera jebak, ketiga badak itu diidentifikasi sebagai Badak Febri, Wira, dan Puspa.

Seorang anggota JRSCA (Javan Rhino Study and Conservation Area) menunjukkan bagaimana pagar listrik akan dipasang untuk melindungi badak dan hewan lain yang keluar dari hutan di Taman Nasional Ujung Kulon.

Kuat dugaan ketiganya mati akibat perburuan liar karena diperkuat oleh rekaman kamera jebak soal aktifitas manusia menggunakan senjata api rakitan dan pengakuan tersangka.

“Kami sementara menduga bahwa perburuan badak kembali ada pada tahun 2018, setelah kurang lebih sepuluh tahun dalam keadaan relatif aman,” sebut Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Satyawan Pudyatmoko.

Selain menggunakan kamera jebak untuk memantau keberadaan populasi badak di kawasan TNUK, kementerian juga rutin patroli dan mengubah sistem pengamanan dengan full protection system -yakni seluruh wilayah semenanjung tidak boleh dimasuki oleh masyarakat dengan alasan apapun termasuk wisata.

Kemudian mengubah pola patroli yang mewajibkan 24 jam berada di lapangan termasuk wilayah laut dan darat.

Terakhir, patroli menggunakan drone thermal sehingga apabila ada masyarakat yang masuk bisa terdeteksi dengan baik.

“Kami juga bekerja sama dengan aparat TNI dan Polri dalam patroli. Balai TNUK juga telah bekerja sama dengan Polda Banten untuk melakukan penangkapan para DPO yang berasal dari kampung Ciakar, Desa Rancapinang. Hal ini akan kami teruskan hingga keseluruhan DPO tertangkap.”

Ia menambahkan saat ini sedang dibahas perubahan UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Di undang-undang itu, menurut Satyawan, sanksi untuk pelaku perburuan masih terlalu ringan yakni lima tahun.

Dalam revisi, KLHK akan meningkatkan sanksi pidana dan perdata dengan harapan bisa menimbulkan efek jera.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.