MOTIF POLITIK DI BALIK PUTUSAN MA SOAL SYARAT USIA CALON KEPALA DAERAH – DEMI MULUSKAN JALAN KAESANG PANGAREP?

SUMBER GAMBAR, INSTAGRAM/PSI
Keterangan gambar,Presiden Jokowi (kiri) dan Kaesang Pangarep (kanan).

Putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah disebut sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun sejumlah partai politik menampik tudingan tersebut, seraya menegaskan putusan ini “memberikan kesempatan” kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik.

Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi.

“Selain karena umur, alasan kecurigaan lain adalah kenapa harus direvisi saat ini? Saat proses [pemenuhan persyaratan dukungan calon perseorangan] tengah berlangsung dan kenapa perubahannya lewat jalur-jalur potong kompas?“ kata Aisah saat dihubungi BBC News Indonesia, Jumat (31/05).

MA mengubah ketentuan syarat calon kepala daerah dari yang berusia paling rendah 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten “terhitung sejak penetapan pasangan calon” pada 22 September 2024 menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” yang kemungkinan akan berlangsung pada awal tahun 2025.

Selain kecurigaan itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik penalaran hukum dalam putusan MA yang menurutnya tidak wajar dan bahkan “sudah keluar dari tugas konstitusional MA“.

Adapun, Presiden Jokowi dan kakak Kaesang yang menjadi wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, enggan berkomentar banyak tentang putusan MA tersebut.

Dalam beberapa waktu belakangan nama Kaesang kerap muncul sebagai calon kepala daerah, mulai dari Pilkada Kota Depok, Kota Bekasi, hingga DKI Jakarta.

Teranyar terlihat dalam unggahan di Instagram milik politisi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, yang menyandingkan keponakan Prabowo Subianto, yaitu Budisatrio Djiwandono dengan Kaesang Pangarep sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Mengapa putusan MA ‘sarat’ kepentingan politik?

Peneliti politik dari BRIN Aisah Putri Budiarti menyebut terdapat beberapa kecurigaan yang menguatkan dugaan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu dalam putusan MA tentang syarat usia calon kepala daerah.

Pertama, ujarnya, putusan MA ini membuka pintu bagi Kaesang untuk maju pilkada. Situasi ini serupa dengan fenomena yang terjadi saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat batas usai capres dan cawapres yang memuluskan langkah Gibran mencalonkan diri.

“Otomatis ketika ada kasus yang serupa, terkait dengan dinasti politiknya Jokowi, dan syarat usia berbasis aturan hukum untuk pemilu maka jadi sangat wajar ketika kemudian terbangun asumsi adanya kepentingan politik ini [membuka pintu Kaesang],” kata Aisah.

Faktor selanjutnya adalah revisi aturan terjadi saat proses pilkada tengah berlangsung. Saat ini, penyelenggaran pilkada 2024 telah memasuki tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan hingga Agustus mendatang.

“Apakah memang mendesak untuk dilakukan perubahan saat proses pilkada tengah berlangsung? Ini kan jadi terlihat tanpa dasar, tanpa riset mendalam kenapa harus berubah sekarang. Akhirnya memunculkan kembali dugaan kepentingan politik di dalamnya,” katanya.

“Lalu, kenapa perubahannya harus lewat jalur-jalur potong kompas di MK misalnya untuk konteks pilpres dan MA untuk pilkada sekarang? Kenapa tidak lewat proses pembuatan undang-undang yang dipikirkan secara serius dan matang oleh pembuat kebijakan?” tambah Aisah.

Menurutnya, langkah yang tepat adalah dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh dan komperhensif melalui jalur legislatif terkait aturan teknis pelaksanaan pemilu, yang tidak hanya kriteria tentang usia namun juga syarat pengalaman politik yang memadai.

‘Polanya sama’

Senada, dugaan adanya kepentingan politik untuk memuluskan Kaesang maju pilkada 2024 dalam putusan MA ini juga diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.

”Kita memang lazim melihat pola yang sudah terjadi dan pola oleh keluarga ini kan sudah kelihatan waktu MK dengan bantuan paman Anwar Usman membuat pasal berubah. Persis polanya, cuma beda institusinya, satu MK, satu lagi MA,” kata Bivitri.

Menurutnya, pola itu sudah dilakukan sebelumnya dan terbukti sukses.

“Jadi pola itu bisa jadi salah satu alasan kenapa publik boleh menduga bahwa ini adalah sebuah modus operandi,” ujar Bivitri di akun Instagramnya.

Faktor kedua, ujarnya, adalah pihak pemohonnya sama. Di MK, Partai Garuda bersama PSI mengajukan gugatan tentang syarat usia capres dan cawapres, walaupun ditolak.

”Yang ketiga juga [dari] pemberitaan bahwa Kaesang ataupun anggota keluarga lainnya yang berusia muda memang tengah digadang-gadang oleh beberapa partai politik untuk maju dalam pilkada,” ujar Bivitri.

‘Nalar putusan MA yang tidak wajar’

Selain dari dimensi politik, Bivitri Susanti juga mengkritik penalaran hukum dalam putusan MA yang menurutnya tidak wajar.

Bivitri menjelaskan KPU berfokus menjalankan tugasnya dalam pelaksanaan pemilu, yaitu dari proses pendaftaran hingga penetapan paslon. KPU tidak mengambil peran dalam proses pelantikan calon kepala daerah.

“[Oleh karena itu] PKPU tidak berpikir ke depan sampai proses pelantikan. Jadi tidak wajar penalaran hukumnya [putusan MA],” katanya.

Selain itu, Bivitri menjelaskan dalam pertimbangan hukum putusan MA di halaman 58 disebutkan bahwa “dalam sistem tata negara yang diatur di dalam UUD 1945 peraturan pokok yang perlu dipertimbangkan adalah penentuan badan dan alat kelengkapan negara termasuk para pejabat yang mendudukinya.”

Menurutnya, MA secara konstitusional bertugas untuk menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan untuk menguji UU terhadap UUD adalah tugas MK.

“Jadi dengan MA mengacu ke UUD 1945 ini sudah keluar dari tugas konstitusional yang harusnya dilakukan MA,” kata Bivitri.

Sekelompok masyarakat adat berdemo di depan gedung Mahkamah Agung.

Kemudian, menurut Bivitri, di halaman 59 putusan MA itu disebutkan bahwa “membatasi sejak pendaftaran hanya akan menggambarkan pelaksanaan UU 10 Tahun 2016 [tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota] dari sisi termohon selaku penyelanggara pemilihan dan tidak mengambarkan original intent [penafsiran tekstual] UU 10 Tahun 2016 untuk mengakomodasi anak muda.”

“Mereka menyimpulkan itu dari mana? Apakah dengan meletakan 30 dan 25 [tahun] maka bisa dibaca sebagai original intent untuk anak muda?”

“Dan kritik logika berikutnya, kalau persoalan di anak muda atau tidak muda, apakah dengan memberikan pembedaan antara sejak penetapan paslon ke pelantikan, perbedaannya signifikan? Sehingga membuat seseorang dari yang dikategorikan anak muda menjadi tidak anak muda lagi?”

“Karena dalam kasus sekarang saja bedanya itu kurang lebih tiga bulan,” ujar Bivitri.

Senada, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar melihat bahwa aturan MA itu membuka ruang bagi calon yang belum genap berusia 30 maupun 25 tahun untuk mendaftar saat pendaftaran pilkada dibuka pada 27 Agustus 2024.

Akibatnya akan berpotensi menimbulkan masalah baru dan ketidakpastian hukum.

“Bukannya dengan menafsirkan itu kepada saat pendaftaran itu memastikan tidak ada pelanggaran, kan clear itu,” kata Zainal, Jumat (31/05).

Terkait dengan tudingan tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, partai yang disebut-sebut berpotensi mendukung Kaesang dalam pilkada, Habiburokhman mengatakan secara substansi putusan MA tentang syarat batas usia sudah sangat tepat.

“Karena memang batas usia pejabat dihitung pada saat dia menjabat. Hak dan kewajiban sebagai pejabat baru timbul setelah adanya jabatan.”

“Ini kan masalah hukum yang sederhana dan mudah dipahami. Lagi pula UU Pilkada tidak membatasi penghitungan usia mengacu pada pencalonan,” kata Habiburokhman kepada BBC News Indonesia.

Habiburokhman pun melihat bahwa pandangan masyarakat tentu beragam menyikapi putusan MA itu.

“Ada yang mendukung dan ada pula yang menuding, itu hal yang biasa dan merupakan bagian dari demokrasi. Kita persilahkan rakyat yang akan menilai.”

“Secara formal putusan MA sebagai lembaga peradilan harus kita hormati. Negara kita adalah negara hukum, makanya kita harus selalu taat hukum,” ujarnya.

Apa isi putusan MA tentang syarat usia?

MA mengabulkan hak uji materi (HUM) yang dimohonkan oleh Ketum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana terhadap atas Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Awalnya, isi dari pasal tersebut berbunyi: “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.“

Setelah putusan MA No 23P/HUM/2024 maka isinya menjadi: “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”.

Dalam pertimbanganya, MA berpandangan pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Apa alasan Partai Garuda menggugat?

Dalam jadwal pilkada 2024, penetapan pasangan calon dilakukan pada 22 September 2024, dan pelantikan diperkirakan berlangsung pada awal tahun 2025.

Implikasi dari putusan ini maka setiap orang boleh mengajukan diri menjadi calon kepala daerah ketika usia mereka lebih dari 30 tahun (untuk provinsi) dan 25 tahun (kabupaten/kota) saat pelantikan dilakukan, dan bukan saat penetapan pasangan calon.

Putusan MA ini pun membuka pintu bagi Kaesang untuk maju menjadi calon kepala daerah tingkat provinsi karena dia akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Namun, Partai Garuda membantah bahwa gugatannya untuk membuka langkah Kaesang berpartisipasi dalam pilkada tingkat provinsi.

“Untuk semua bukan hanya Mas Kaesang, ini sama terjadi ketika kami melakukan gugatan ke MK terkait umur capres cawapres, yang juga akhirnya diarahkan seolah-olah hanya untuk Mas Gibran,” ujar Waketum Partai Garuda Teddy Gusnaidi, Kamis (30/05).

“Lagian Pilkada ini bukan hanya di satu tempat saja tapi seluruh Indonesia,” tambahnya.

Teddy menjelaskan partainya menggugat pasal itu karena ingin regenerasi kepemimpinan.

“Regenerasi kepemimpinan. Ini untuk Indonesia ke depan, diisi oleh para generasi muda,” katanya.

Putusan dalam tiga hari, mengapa secepat itu?

Perkara di MA yang diperiksa dan diadili oleh Hakim Agung Yulius, Cerah Bangun dan Yodi Martono Wayunadi ini masuk pada 23 April 2024.

Kemudian, perkara itu didistribusikan 27 Mei 2024, dan diputuskan pada 29 Mei 2024.

Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini mempertanyakan pengujian yang begitu cepat dan tidak adanya proses persidangan yang terbuka di MA.

“Itu lah mengapa sangat mendesak agar judicial review di Mahkamah Agung dilakukan terbuka, transparan, dan akuntabel seperti pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi,” kata Titi, Kamis (31/05).

Zainal Arifin Mochtar dari UGM pun menganggap pengujian syarat usia itu seperti mendapatkan perlakukan ekstra oleh MA.

“Kayak ada perlakuan ekstra, coba tanya MA pengujian reviewnya temen-temen NGO itu berapa lama, emang ada empat hari? Enggak ada,” kata Zainal.

Juru bicara MA Suharto mengatakan cepatnya MA memproses uji materi terkait batas usia calon kepala daerah ini sebagaimana asas ideal sebuah lembaga peradilan.

“Sesuai asas yang ideal itu yang cepat karena asasnya pengadilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan Jadi cepat itu yang ideal,” kata Suharto, Kamis (30/5).

Apakah Kaesang akan maju dalam pilkada gubernur?

Pada Rabu (29/05), politisi Parti Gerindra yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengunggah foto Budisatrio Djiwandono dan Kaesang Pangarep di akun Instagramnya.

Dalam unggahan itu ditulisakan Budisatrio sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dan Kaesang sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Unggahan itu pun menarik lebih dari 29.000 like dan 3.000 komentar.

Dalam komentar itu terlihat ada yang mendukung maupun mengkritik.

Selain pilkada DKI Jakarta, nama Kaesang juga disebut-sebut dalam pilkada Kota Depok dan Kota Bekasi.

Ketua DPP PSI William Aditya Sarana mengatakan, partainya membuka peluang untuk mengusung ketua umumnya Kaesang maju pilkada jika syarat adminstratif terpenuhi.

“Kalau administratifnya bisa terpenuhi, Menurut saya kira ya Mas Kaesang salah satu sosok yang bisa diusung,” ujar William dalam keterangannya, Rabu (27/03).

“Menurut saya beliau [Kaesang] sosok figur sangat baik. Kita [juga] ada beberapa figur internal, ada beberapa figur yang saya kira pantas. Kami ada Sis Grace [Natalie],” kata William.

Selain itu, Waketum DPP PSI Andy Budiman mengatakan partainya masih menunggu sikap dari Kaesang.

“Sampai kemarin saya bertemu dan berkomunikasi dengan mas Kaesang ia masih sibuk mengurus persiapan pilkada di berbagai daerah,” ujar Andy.

Bagaimana reaksi Jokowi dan Gibran?

Presiden Jokowi enggan berkomentar banyak terkait keputusan MA yang membuka jalan Kaesang maju dalam pilkada tingkat gubernur.

“Itu tanyakan ke Mahkamah Agung, atau tanyakan ke yang gugat,” kata Jokowi usai meninjau Pasar Bukit Sulap Lubuklinggau, Sumatra Selatan, Kamis (30/05).

Jokowi pun mengaku belum membaca putusan tersebut.

Sementara itu, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka mengatakan keputusan adiknya, Kaesang, maju dalam pilgub DKI Jakarta silakan ditanyakan ke PSI.

“Ya keputusan di Kaesang untuk maju atau tidak. Tanyakan saja ke teman-teman PSI,” ujar Gibran saat ditemui di Taman Balekambang, dilansir detikJateng, Kamis (30/5/2024).

Disinggung mengenai putusan MA yang membuka peluang bagi anak muda, termasuk Kaesang, Gibran tidak menampiknya.

“[Kesempatan anak muda] Ada, terbuka luas untuk semua,” ujarnya.

Bagaimana reaksi KPU dan partai politik?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bicara banyak terkait putusan MA tentang syarat batas usia. Komisioner KPU Idham Kholik mengatakan pihaknya belum menerima salinan putusan tersebut.

“Secara resmi KPU belum menerima petikan Putusan MA tersebut,” ujar Komisioner KPU Idham Kholik, Kamis (30/05).

Sementara itu, Partai Golkar melihat putusan MA itu sebagai hal yang bagus karena akan membuka jalan bagi siapa saja untuk maju dalam pilkada. Waketum Golkar Ahmad Doli Kurnia pun tidak setuju jika putusan itu dikaitkan dengan tokoh tertentu.

“Saya tahu persis ini juga banyak teman-teman lain yang juga mendorong terjadinya perubahan ini. Enggak ada kaitannya sama sekali dengan Mas Kaesang dan ini bisa dipergunakan oleh siapa saja anak-anak muda di Indonesia sekarang,” kata Doli, Kamis (30/05).

“Jadi, kalau saya ya bahwa kemudian ini memberikan kesempatan kepada Mas Kaesang ya itu kelanjutannya saja. Tapi buat saya penurunan batas umur ini bagus saja,” lanjut Doli.

Berbeda, Partai Nasdem mengkritik putusan MA itu. Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto berharap putusan MA tidak dijadikan alat untuk memuluskan karier politik golongan tertentu.

“Menurut kita, enggak usahlah saling semuanya, ‘mengakali aturan’. Cukuplah sekali yang kemarin, cukup. Itu mahal betul biaya psycological social-nya,” ujar Sugeng, Kamis (30/05).

Senada, politisi PDI Perjuangan Chico Hakim menilai putusan MA menunjukkan bahwa hukum kembali diakali oleh hukum guna mengakomodir pihak tertentu.

“Kembali lagi hukum diakali oleh hukum demi meloloskan putra penguasa maju sebagai calon,” kata Chico Hakim, Kamis (30/05).

Politisi PKS, Zainudin Paru, menilai putusan MA itu tidak sesuai dengan UU Pilkada karena syarat usia terhitung sejak sesorang ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.