SUMBER GAMBAR, ANTARA FOTO
Keterangan gambar,Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Pengamat perumahan menilai kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) “tidak masuk akal” untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau selama pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru.
Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 itu mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji.
Itulah sebabnya, menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan sebab niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.
Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027.
Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengeklaim Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Tapera dikritik warganet
Kehadiran kebijakan teranyar pemerintah yakni Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menuai polemik.
Di media sosial X, warganet menyebut kebijakan ini hanya memberatkan pekerja karena lagi-lagi gaji mereka harus dipotong sebesar 2,5%-3% di luar pajak penghasilan.
“Bayangin aja, ada karyawan gajinya Rp10 juta, lalu dipotong pajak penghasilan atau biasa disebut dengan PPh 21sebesar 2%, BPJS kesehatan 1%, BPJS Ketenagakerjaan 2%, jaminan hari tua 1%, terus bakal nambah Tapera 2,5%,” sebut akun @ribkadel.
“Belum apa-apa sudah kepotong 8,5% alias Rp850.000 ditambah anggaplah Rp500.000 sebagai potongan PPN belanja kalian. Tiap bulan sudah kerja sampai nangis, ehhh hilang gitu aja,” sambungnya.
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD juga ikut berkomentar. Dia bilang, pemerintah perlu betul-betul mempertimbangkan suara publik terkait Tapera.
“Kalau tidak ada jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal,” ucap Mahfud MD.
Kesan Tapera tidak rasional pun, diutarakan selebritas @solehsolihun yang menyebut bahwa perlu waktu 100 tahun bagi pekerja bergaji Rp10 juta untuk mendapatkan rumah.
“Kalau gaji Rp10 juta per bulan, dipotong Tapera 3%, maka setahun terkumpul Rp3,6 juta. Jadinya 100 tahun menabung akhirnya bisa deh dapat rumah yang harganya Rp360 juta. Ngitungnya gitu gak sih?”
Apa alasan pemerintah membuat Tapera?
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah, klaimnya, sangat terbatas. Oleh karena itu, implementasi Tapera dinilai menjad salah satu jalan yang mampu mengatasi persoalan tersebut.
“Pertumbuhan demand (permintaan) tiap tahun 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak punya rumah. Jadi kalau mengandalkan pemerintah saja tak akan terkejar backlog-nya,” ujar Budi dalam konferensi pers di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Jumat (31/05).
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho (kedua kiri) memberikan keterangan kepada media terkait program Tapera di kantor Staf Presiden, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
“Makanya perlu ada grand design yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah, bareng. Konsepnya bukan iuran, [tetapi] menabung,” sambungnya.
Dia menambahkan pekerja yang sudah punya rumah maka sebagian tabungannya digunakan untuk mensubsidi KPR yang belum memiliki rumah.
Itu dilakukan agar bunga kreditnya tetap lebih rendah dari KPR komersial yang saat ini mencapai 5%.
“Jadi kenapa harus ikut menabung? Ya prinsipnya gotong royong di UU-nya itu [UU nomor 4 tahun 2016].”
Siapa yang menjadi peserta Tapera?
BP Tapera menyatakan tidak semua pekerja di Indonesia wajib menjadi peserta Tapera.
Budi Pudyo Nugroho mengatakan, dalam UU nomor 4 tahun 2016 dijelaskan hanya pekerja dengan gaji di atas upah minimum saja yang masuk menjadi peserta.
Dengan menjadi peserta Tapera, pekerja mandiri akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari gajinya setiap bulan dan 2,5% bagi pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, BUMN.
Adapun bagi pekerja yang gajinya di bawah upah minimum, tidak wajib.
Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.
Apa dan siapa penerima manfaat Tapera?
Merujuk pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat disebutkan manfaat dana Tapera bisa digunakan untuk pembiayaan:
• Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor hingga 30 tahun, suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan uang muka 0%.
• Kredit Bangun Rumah (KBR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan jangka waktu maksimal 15 tahun.
• Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap, dan jangka waktu 5 tahun.
Foto udara areal pembangunan perumahan alih fungsi persawahan di Kecamatan Ranomeeto, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (13/4/2024). Pemerintah menargetkan sebanyak 173.251 unit rumah bisa tersalurkan kepada masyarakat melalui pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) serta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada tahun 2024.
Akan tetapi, manfaat dari Tapera hanya bisa dirasakan oleh:
• Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
• Belum memiliki rumah dan/atau
• Menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama
• Mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan
Dalam aturan juga tertulis MBR adalah mereka yang bergaji maksimum Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan khusus wilayah Papua dan Papua Barat.
Adapun bagi pekerja non-MBR dan tetap menjadi peserta namun tidak mendapatkan fasilitas KPR, KBR, dan KRR berhak atas pengembalian pokok tabungan beserta hasil pemupukannya.
Apakah program Tapera rasional?
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menyebut program Tapera sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau.
Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran.
Pengunjung melihat maket perumahan mewah ramah lingkungan di Ammaia Ecoforest Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/4/2024).
Kalaupun ada, kata Jehansyah, lokasi rumahnya “tidak terjangkau” alias jauh dari kota.
“Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah,” ucap Jehansyah kepada BBC News Indonesia.
“Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter.”
“Di Ciseeng [Bogor] saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau.”
Pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 akan mewajibkan pekerja yang berpenghasilan minimal setara upah minimum untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang iurannya dipotong dari 2,5 persen gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.
Kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru.
Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.
Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.
Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.
“Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance.”
Pengunjung memperhatikan maket rumah kost yang dipamerkan dalam Expo Investasi Properti 2024 di Hall Malang Town Square, Jawa Timur, Jumat (31/5/2024). Pameran yang deselenggarakan selama sebelas hari itu untuk menarik minat masyarakat agar mau berinvestasi di bidang properti seperti villa, Apartemen dan rumah kost.
“Contoh di Soreang [Bandung], ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek [hunian] pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah.”
“Selain itu harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan.”
Ketiga, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta – jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.
Namun, kata Jehansyah, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah.
“Untuk kota metropolitan, mengatasi backlog dan permukiman kumuh di tengah kurangnya ruang terbuka hijau harus membangun rusunawa rasa apartemen minimal kayak Rusunawa Jatinegara Barat, itu harus diperbanyak.”
“Ini kan enggak ada hunian TOD yang sewa murah.”
Sejumlah pekerja berjalan saat jam pulang kerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Menurut Jehansyah, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama ‘gotong royong’ bisa disebut sebagai penipuan.
Sebab bagaimanapun, katanya, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat.
Kewajiban itu, sambung Jehansyah, tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 -di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dia mencontohkan Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya karena 80% proyek hunian di sana dikuasai oleh pemerintah setempat.
“Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak.”
“Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus.”
Bagaimana respons pekerja?
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita SIlaban, mengatakan buruh dan pengusaha tidak dilibatkan dalam pembahasan Tapera.
Karenanya mereka menolak kebijakan tersebut. Pasalnya selain tidak dilibatkan, tidak ada satupun perwakilan buruh maupun pengusaha dalam kepengurusan Badan Pengelola (BP) Tapera.
Selain itu, penolakan juga didasarkan lantaran aturan Tapera tumpang tindih.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita SIlaban, mengatakan buruh dan pengusaha tidak dilibatkan dalam pembahasan Tapera.
Program serupa juga telah ada di BPJS ketenagakerjaan dalam bentuk program Jaminan Hari Tua (JHT).
“Kalau pernah terlibat, pasti tidak sekeras ini atau meminta ada revisi atau menolak. Kami iuran sampai 58 tahun di mana rumahnya? Di mana lahannya? ujar Rosita dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/05) seperti dilansir Detik.com.
KSBSI, sambungnya, mempertimbangkan untuk melayangkan judicial review ke Mahkamah Agung jika tak kunjung direvisi.
Uji peraturan akan menyasar Pasal 7 yang berisi kewajiban melakukan iuran. Menurutnya, kalau Tapera menggunakan konsep tabungan maka harusnya bersifat sukarela, bukan dipaksakan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani memberikan keterangan saat konferensi pers terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Senada dengan KSBSI, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani telah menyampaikan keberatan pada tahun 2016 lalu sebelum UU nomor 4 tahun 2021 disahkan.
“Kami sudah menyurati presiden, memberikan pandangan kami, masukan kami, namun sampai Peraturan Pemerintah (PP 21/2024) ini diterbitkan, belum ada tanggapan ya. Mungkin pemerintah punya sikap tersendiri kenapa harus jalan. Makanya kami pikir mungkin perlu klarifikasi,” ujarnya.
sumber: bbc