KESAKSIAN CALON DOKTER SPESIALIS YANG SEMPAT BERUSAHA BUNUH DIRI – ‘PERUNDUNGAN DIJUSTIFIKASI ATAS NAMA PENDIDIKAN MENTAL’

SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES
Keterangan gambar,Ilustrasi tenaga kesehatan mengalami depresi.Informasi artikel

Penulis,Trisha Husada & Viriya Singgih
Peranan,BBC News Indonesia

Ribuan calon dokter spesialis tercatat mengalami depresi, sementara ratusan lainnya mengaku ingin mengakhiri hidup. Beban pendidikan dan pelayanan yang tinggi, ditambah lingkaran setan perundungan senior terhadap junior disebut menjadi penyebabnya.

Peringatan: Artikel ini memuat konten bunuh diri dan bisa membuat Anda tidak nyaman.

Sejak awal menjadi calon dokter spesialis, David telah menyiapkan mental.

Sejumlah anggota keluarganya adalah dokter. Karena itu David—bukan nama sebenarnya—telah lama mendengar kisah-kisah tak enak.

Saat kumpul keluarga, pamannya yang dokter bisa bercerita soal bagaimana ia meminta calon dokter spesialis membelikan ponsel BlackBerry, atau bagaimana koleganya meminta “uang tiket” untuk mengikuti sebuah seminar.

“Belum masalah bullying-nya, bentak-bentaknya, tindakan tidak mengenakannya, yang semua dijustifikasi atas nama pendidikan mental,” kata David pada BBC News Indonesia, Selasa (16/04).

Maka, saat David mulai mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), ia telah mengantisipasi yang terburuk.

“[Ibaratnya] kalau kita tahu mau dipukul, perut kita udah nahan. Jadi kita semua kayak sudah nahan perut, sudah siap dipukul,” kata David, yang menempuh pendidikan kedokteran karena permintaan orang tua.

“Enggak dipukul beneran, tapi kita kayak udah siap mental bahwa kita akan melewati sesuatu yang buruk.”

Dan, benar saja. Hal-hal “buruk” itu menyapanya di semester pertama PPDS.

Ia dan teman-teman seangkatan mesti patungan hingga belasan juta rupiah untuk mentraktir seluruh seniornya dalam rangka “penyambutan” mereka.

David dan kawan-kawan pun kerap diminta membelikan berbagai kebutuhan pribadi senior, termasuk makanan dan tiket pesawat.

“Mereka kadang menganggap kita benar-benar kayak personal assistant mereka. Jadi apa pun yang mereka minta, mau sekonyol apa pun, ya itu kita kerjain,” kata David.

Calon dokter spesialis yang depresi dan coba bunuh diri: ‘Pendidikan dokter harus diperbaiki’

Menurutnya, masa-masa perundungan paling parah oleh senior adalah di semester pertama, saat anak-anak baru masih dianggap sebagai “keset”.

“Pokoknya semua kotoran orang disikat di kita. Terus nanti kalau sudah mulai naik semester, ya mulailah agak sedikit-sedikit manusiawi,” ujarnya.

“Terus kalau sudah semester atas, ya sudah suka-suka kita aja. Mau kita yang salah juga biasanya enggak disalahin ke kita, dilempar aja ke yang bawah.”

Namun, itu tak berarti kehidupannya baik-baik saja setelah melewati semester 1.

David bilang, meski beban perundungan berkurang—tidak benar-benar hilang, beban pendidikan dan pelayanan sebagai calon dokter spesialis justru bertambah.

Misal, di semester 3 dan 4 biasanya mahasiswa PPDS sibuk mempersiapkan pasien untuk operasi, sementara di semester-semester selanjutnya mereka mulai mengoperasi sendiri.

Pada saat yang sama, para senior disebut selalu siap “meneror” para junior. Sedikit kesalahan saja, katanya, bisa berujung ke bentakan dan makian.

“Itu hal yang lumrah. Dan akhirnya kita berusaha untuk berbuat sempurna bukan karena dorongan untuk melayani, tapi dorongan teror dari senior,” kata David.

“Pokoknya cara paling gampang buat menggambarkan keadaan pendidikan kedokteran itu, anggap saja kami itu tentara tapi enggak pakai seragam.”

Beban kerja dan ekspektasi yang tinggi, ditambah lingkungan yang tak nyaman karena tekanan bertubi-tubi dari para senior, lantas membuat David kerap mempertanyakan dirinya sendiri.

Ia merasa “tidak pantas”, tidak cukup baik menjalani pekerjaannya.

Pada satu titik, ia kalut.

Ia tak tahan lagi, dan berusaha bunuh diri.

Ribuan calon dokter spesialis depresi, ratusan merasa ‘lebih baik mati’

Kementerian Kesehatan melakukan skrining kesehatan jiwa yang melibatkan 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia pada 21, 22, dan 24 Maret lalu.

RS vertikal adalah rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Kesehatan.

Hasilnya, 22,4% atau 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi. Sebesar 1,5% atau 178 orang mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 0,6% atau 75 orang terkena depresi berat.

Sebanyak 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi.

Dalam dua pekan terakhir sebelum skrining, 51% peserta PPDS merasa lelah, 38% mengalami gangguan tidur, 35% kurang tertarik melakukan apa pun, 25% merasa murung, muram, atau putus asa, dan 24% merasa kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan.

Pada periode yang sama, 3,3% atau 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.

Ada 2,7% yang merasakan hal itu selama beberapa hari, 0,4% selama lebih dari separuh waktu, serta 0,2% yang merasakannya “hampir setiap hari”.

Sebanyak 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa penyebab stres yang dialami para calon dokter spesialis, meski ini perlu didalami lebih lanjut.

Ia bilang, penyebabnya termasuk beban pendidikan seperti tuntutan menyelesaikan karya ilmiah dan membaca jurnal, beban pelayanan seperti kewajiban jaga malam, beban ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan keluarga, serta masih adanya perundungan.

Pada periode Juli-Desember 2023, Kementerian Kesehatan menerima 216 aduan terkait dugaan perundungan di lingkungan rumah sakit.

Sebanyak 109 di antaranya dilaporkan terjadi di RS vertikal, sementara 107 lainnya di RSUD, fakultas kedokteran universitas, RS universitas, dan lainnya.

“Sudah banyak sekali pelaporannya. Karena itulah kita melakukan skrining ini, tujuannya untuk mendeteksi apakah perundungan menjadi salah satu faktor penyebab depresi di kalangan PPDS,” kata Siti.

Ia menambahkan, akan ada pemeriksaan lanjutan untuk penanganan yang lebih komprehensif.

“Kalau ini ada beban pendidikan atau beban pelayanan yang berat, tentunya ini harus dievaluasi,” ujarnya.

BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menanggapi hasil skrining Kementerian Kesehatan ini, tapi hingga artikel ini diterbitkan IDI belum memberikan tanggapan.

Di sisi lain, Hartono, mantan ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang menjabat pada 2015-2017, mengatakan tidak bisa dimungkiri perundungan masih ada dalam pendidikan calon dokter spesialis.

“Tanpa bullying itu, beban studinya sudah cukup berat di PPDS. Bahkan ada orang menganalogikan tidak kalah dengan militer-lah, kira-kira begitu,” kata Hartono, yang kini menjabat direktur RS Universitas Sebelas Maret (UNS).

“Apalagi ditambah [bullying] itu.”

Menurut Hartono, potensi stres mahasiswa PPDS bisa datang dari berbagai hal. Apalagi, katanya, mereka kerap harus berjaga selama 24 jam atau lebih, menangani banyak pasien, serta terkadang berhadapan dengan situasi antara hidup dan mati.

Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan, juga mengatakan hal serupa.

PPDS disebut berat karena calon dokter spesialis mesti memperdalam ilmunya dalam waktu relatif singkat, kira-kira empat hingga enam tahun.

Selama itu, peserta PPDS bisa jadi kewalahan menghadapi beban pembelajaran dan pelayanan, termasuk saat menghadapi pasien dan keluarganya.

Sering kali, jumlah pasien yang harus ditangani tak sebanding dengan jumlah dokter atau peserta PPDS yang berjaga. Setelah berjaga, peserta PPDS pun mesti membuat laporan lagi keesokan hari.

Itu membuat waktu istirahat, juga waktu bertemu keluarga jadi sangat terbatas, kata Elvine.

Ada pula faktor ekonomi, terutama untuk mereka yang kerap diandalkan sebagai tulang punggung keluarga.

“Itu tidak ada mata pencarian sama sekali [selama menjalani PPDS], sementara tagihan di rumah tetap berjalan,” kata Elvine.

Karena itu, akan lebih baik bila para peserta PPDS bisa mendapat gaji, meski entah kapan ini bisa terealisasi.

“Jadi ketika orang bersekolah, mereka nggak harus membakar tabungannya,” kata Elvine.

‘Setiap hari mengeluh ingin keluar, tapi tetap dijalankan’

Dari seluruh calon dokter spesialis yang mengalami depresi, paling banyak tercatat ada di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta dengan angka 614 orang.

RS Dr. Hasan Sadikin di Bandung, Jawa Barat, serta RS Dr. Sardjito di Sleman, Yogyakarta, ada di posisi kedua dan ketiga tertinggi, masing-masing dengan temuan 350 dan 326 orang.

Hendra, bukan nama sebenarnya, sedang menjalani pendidikan dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorok (THT) di RSCM. Dia mengaku sempat berulang kali mengalami stres akibat tingginya tekanan dan banyaknya tugas yang dihadapi.

“Setiap hari ada beban, ada tugas baru,” kata Hendra.

Dari seluruh calon dokter spesialis yang mengalami depresi, paling banyak tercatat ada di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta dengan angka 614 orang.

“Dan tugasnya bukan yang bisa dikerjakan tiga hari sebelumnya. Kemudian kita kerjainnya mepet, dan diminta harus cepat, cepat, cepat [oleh para senior].”

Ia pun mengakui, senioritas berlaku di dunia kedokteran. Bahkan dalam sumpah kedokteran pun, katanya, disebut bahwa senior “harus dijunjung, harus dihormati”.

Namun, senioritas yang dihadapi di program studi THT disebutnya tidak “sejauh itu”. Permintaan yang datang dari senior biasanya masih terkait dengan pekerjaan atau studi, kata Hendra.

Tetap saja, tekanan yang dihadapi membuat Hendra dan kawan-kawan rajin mengeluh dan mengucap ingin keluar dari PPDS.

“Itu keluhan setiap hari, biasa kalau mengeluh begitu,” kata Hendra.

“Tapi tetap dilakukan dan dijalankan.”

Sementara itu Valdo, juga bukan nama sebenarnya, mengatakan rutinitas sebagai calon dokter spesialis memang kerap membuat stres.

Valdo, yang merupakan mahasiswa PPDS tahun terakhir di RSCM, mengatakan ia mesti berhadapan dengan “hidup dan mati manusia” dengan jam kerja yang panjang.

“Kalau jaga malam, bisa 24 jam sampai 36 jam nggak tidur. Nggak tidur pernah dua hari paling lama,” katanya.

“Menurut saya, PPDS itu stressful betul. Tekanan di mana-mana ada.”

Salah satu tekanannya memang datang dari senior, yang katanya menuntut para junior untuk bekerja “serapi dan sebaik mungkin”. Namun, sejauh ini yang Valdo alami disebut masih dalam tahap wajar.

Ia pun tak mau ambil pusing. Segala tekanan yang ada ia anggap sebagai latihan untuk bisa bekerja lebih baik dalam menolong pasien.

“Ada yang merasa tekanan itu dapat membuat dirinya lebih matang, ada juga yang depresi karena itu,” kata Valdo.

“Jadi kembali ke orangnya.”

Di sisi lain, David pun mengatakan memang ada pula teman-temannya yang terkesan mewajarkan kondisi berat yang harus dilalui para peserta PPDS.

Teman-temannya itu mengatakan, pendidikan dokter spesialis “memang berat dan bukan untuk semua orang”.

“Saya cukup tergelitik sebenernya melihat komentar seperti itu,” kata David.

“Kesannya jadi mengglorifikasi bahwa memang kondisi sekolah pendidikan spesialis seperti ini.”

“Sekarang pertanyaannya, tenaga pendidik mau sampai kapan tutup mata?”

‘Tidak perlu malu ke psikiater’

David selamat dari usaha mengambil nyawanya sendiri, dan sekarang sedang berjuang bangkit dengan bantuan psikiater.

Titik baliknya, menurutnya, adalah ketika ia mengingat kembali apa tujuan awalnya ingin menjadi dokter: membantu banyak orang.

Ia pun tidak ingin membuat keluarganya bersusah hati.

“Bagaimanapun caranya, saya harus kembali sehat secara mental untuk melanjutkan pendidikan saya,” kata David.

David mencoba berdamai dengan kondisi yang ada. Ia sadar tidak punya kapasitas untuk mengubah keadaan di PPDS. Namun, ia berkomitmen tidak mau menjadi bagian dari lingkaran setan yang melanggengkan perundungan.

“Yang saya bisa lakuin hanya tidak mengikuti apa yang saya rasa tidak baik, misalkan mengajari junior tapi dengan teror gitu ya, dengan bullying, dengan dibentak-bentak. Saya rasa itu tidak perlu ya,” katanya.

“Setidaknya ini berhenti di saya.”

Ia tidak berharap banyak pada pemerintah untuk mengubah keadaan, meski sempat terbit Instruksi Menteri Kesehatan pada 2023 tentang pencegahan dan penanganan perundungan terhadap peserta didik di RS vertikal.

Hartono, mantan ketua AIPKI 2015-2017, juga mengatakan belum ada tindak lanjut konkret dari berbagai universitas untuk menuangkan kebijakan di Instruksi Menteri Kesehatan itu ke peraturan rektor, misalnya.

“Peraturan rektor nanti akan dituangkan dalam guideline atau SOP di tingkat fakultas dan program studi.”

“Di situ tentu secara teknis akan diatur, termasuk bagaimana melaporkan perundungan dan dijamin keamanannya segala macam kalau yang melapor. Kemudian tindak lanjutnya juga jelas,” kata Hartono.

“Itu kelihatannya kan belum ditindaklanjuti secara maksimal.”

Karena sulit berharap pada pemangku kebijakan, David hanya berharap agar para calon dokter spesialis bisa pandai menjaga diri, agar mereka “tabah dan kuat”.

Bila mengalami depresi atau bahkan terpikir ingin bunuh diri, kata David, lebih baik segera cari bantuan, karena tidak perlu semua dihadapi sendirian.

“Kita tidak perlu malu kita ke psikiater, kita tidak perlu malu kita ke psikolog. Apalagi kita sebagai tenaga kesehatan, tidak apa-apa. Saya rasa itu hal yang wajar,” kata David.

“Hal yang wajar bukan berarti baik ya. Namun, ini hal yang sangat mungkin terjadi. Jadi, kalau misalnya memang sudah berasa ada gejala itu, langsung cari pertolongan profesional.”

Anis Luthfiyah Rumengan, peneliti dari Into The Light Indonesia, komunitas yang berfokus pada advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri, mengatakan penting untuk memiliki safety plan.

Safety plan yang dimaksud adalah langkah-langkah yang harus dilakukan seseorang ketika mendapat pemicu untuk depresi atau mengakhiri hidup.

Misal, ketika muncul suicidal thoughts atau pikiran yang mengarah ke bunuh diri, segera ke RS untuk mendapat penanganan.

Namun, Anis mengatakan bisa jadi ada sejumlah hal yang membuat para peserta PPDS enggan memeriksakan diri.

“Karena mungkin saja waktu di awal daftar itu kondisinya baik-baik saja. Ketika di tengah jalan, stresnya cukup berat, akhirnya merasa, ‘Apakah ini memengaruhi saya dalam konteks profesionalitas saya?'” katanya.

“Atau misalnya, ‘Kalau saya memeriksa diri, apakah saya dianggap inkompeten atau saya merasa tidak nyaman kalau diperiksa oleh dokter-dokter yang sudah spesialis atau bahkan sudah sampai sub-spesialis?'”

Anis bilang, kurang tepat bila pendidikan dokter spesialis dibuat lebih mudah. Yang lebih tepat, katanya, adalah membuat peserta PPDS “lebih nyaman” menjalaninya.

“Ada anggapan-anggapan bahwa ya sudah memang begini pekerjaannya. Padahal pemerintah juga bisa memperbaiki,” kata Anis.

Saat ditanya soal upaya pencegahan lebih lanjut untuk menekan kasus depresi di calon dokter spesialis, juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi hanya menekankan pentingnya skrining di awal agar ada deteksi dini.

“Ini juga perlu dilakukan untuk menjaga keamanan pasien, dan tentunya ada penanganan serta mencegah terjadinya perundungan,” kata Siti.

Elvine Gunawan, dokter spesialis kejiwaan, merasa pemerintah perlu memperluas kembali akses layanan kesehatan untuk membantu mereka yang depresi atau ingin bunuh diri.

Itu bisa dilakukan, misalnya, dengan membuat nomor aduan untuk RS dengan jumlah kasus depresi tinggi, atau menyediakan pusat konseling untuk semua tenaga medis yang membutuhkan.

“Karena mungkin bukan hanya dokter spesialis saja yang stres. Dokter umum, apalagi perawat itu burnout banget menangani pasien langsung. Kita tidak pernah memeriksa mereka juga,” kata Elvine.

“Ini penyakit berstigma. Orang [kerap berpikir], ‘Apalagi saya dokter. Kalau ke psikiater terus, ya ampun, mau dibilang apa oleh dokter lainnya.'”

Di luar itu semua, Danika Nurkalista, psikolog sekaligus manajer layanan konseling di Yayasan Pulih, juga menekankan pentingnya dukungan dari lingkaran terdekat untuk membantu mereka yang mengalami stres atau depresi.

“Cara bersikap suportif itu bisa dengan mendengarkan dan hadir ketika ada rekan yang bercerita,” kata Danika.

“Hadir di sini maksudnya mendengarkan tanpa menghakimi, menilai, menganalisis, atau buru-buru memberi solusi.”

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di puskesmas atau rumah sakit terdekat.

Anda juga dapat mencari informasi mengenai depresi dan kesehatan jiwa dengan mengontak sejumlah komunitas seperti LSM Into The Light melalui intothelightid.org dan Yayasan Pulih pada laman yayasanpulih.org.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.