SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES/AFP
Keterangan gambar,Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi (kiri) dan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz (kanan).
Kementerian Luar Negeri RI membantah Indonesia berencana menjalin hubungan diplomatik dengan Israel setelah muncul kabar bahwa telah terjadi negosiasi antara Indonesia, Israel, dan OECD. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, disebut-sebut keberatan Indonesia menjadi anggota OECD tanpa menormalisasi hubungan dengan Israel.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama dengan masih berlangsungnya “situasi kekejaman Israel di Gaza”.
“Posisi Indonesia tidak berubah dan tetap kokoh mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka two-state solution. Indonesia akan selalu konsisten, berada di garis terdepan membela hak-hak bangsa Palestina,” kata Iqbal dalam keterangannya.
Pada 20 Februari 2024, Dewan OECD membuat keputusan untuk membuka diskusi untuk mempertimbangkan penerimaan Indonesia sebagai anggota.
Sejak 2007, Indonesia sudah menjadi salah satu mitra kunci OECD yang terlibat dalam beberapa program kerja sama, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun reformasi kebijakan lingkungan.
Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann menyajikan temuan laporan tahunan organisasi mengenai pendidikan.
Pada 2014, Indonesia juga membantu meluncurkan Program Regional Asia Tenggara OECD dan menjabat sebagai salah satu pemimpin pertama.
“Aplikasi yang diajukan Indonesia adalah yang pertama di Asia Tenggara, salah satu kawasan dengan pertumbuhan paling dinamis di dunia,” kata Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann.
“Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia adalah pemain global yang signifikan, memberikan kepemimpinan yang penting di kawasan ini dan sekitarnya,” lanjutnya.
Jika berhasil, Indonesia akan menjadi negara Asia ketiga yang bergabung dalam organisasi tersebut, setelah Jepang dan Korea Selatan.
Akan tetapi, apakah Indonesia memerlukan persetujuan Israel untuk menjadi anggota OECD?
Apa itu OECD?
Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi merupakan badan internasional beranggotakan 38 negara yang memiliki misi untuk mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan.
Dibentuk pada 14 Desember 1960, OECD merupakan kelanjutan dari Organization for European Economic Co-operation (OEEC) yang dibentuk pada 1948.
Tujuan OECC adalah memantau kontribusi AS dan Kanada di bawah Rencana Marshall agar Eropa dapat bangkit dari Perang Dunia II.
Sebagai lembaga ekonomi internasional, OECD bertujuan untuk membentuk kebijakan yang mendorong kemakmuran, kesetaraan, peluang, dan kesejahteraan bersama.
“Dalam konteks hubungan internasional, semacam aturan main, tata kelola atau kesepakatan-kesepakatan yang biasanya mengikat negara-negara anggotanya, tetapi juga ketika negara anggota itu berelasi dengan negara yang non-OECD,” ujar Guru Besar bidang Ilmu Hubungan Internasional, Poppy Sulistyaning Winanti.
Poppy menamakan OECD sebagai “organisasi klub elite” yang terdiri dari negara-negara anggota yang masuk ke dalam kategori negara dengan level pendapatan tinggi dan sudah mampu menerapkan standar-standar global yang sudah ditetapkan oleh organisasi tersebut.
“Misalnya OECD mengeluarkan kebijakan, negara harus memenuhi good governance, kebijakan ramah lingkungan dan lainnya. Itu semua harus dipenuhi dan dia mengikat negara-negara anggotanya,” katanya.
Mengapa Indonesia ingin bergabung dalam OECD?
Guru Besar bidang Ilmu Hubungan Internasional, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan dengan Indonesia menjadi bagian dari OECD, itu menunjukkan Indonesia sudah memiliki kemampuan dan kapasitas yang mumpuni sebagai negara yang diakui dunia.
“Menjadi anggota OECD itu semacam stempel bahwa standar yang ada di Indonesia itu sudah sesuai standar dunia dan itu bisa memberikan jaminan kepada investor asing dan pelaku bisnis asing,” kata Poppy.
Ia menyatakan bahwa status Indonesia sebagai anggota akan mempermudah dan memperlancar kerja sama antarnegara sesama OECD, karena sudah ada jaminan standar dan ketentuan yang saling disepakati.
Lebih lanjut, dengan menjadi anggota OECD, Indonesia dapat ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan dan agenda prioritas dalam pengaturan perekonomian dunia.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani (kiri) berbicara dengan Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Mathias Cormann (kanan) usai penandatanganan deklarasi Bali Asia Initiative pada G20.
“Kita punya kesempatan juga untuk melakukan negosiasi, dan punya kesempatan juga untuk menentukan agenda setting-nya seperti apa. Itu yang ke depannya bisa menjadi salah satu keuntungan yang bisa diperoleh oleh negara yang menjadi anggota OECD,” ujarnya.
Selain itu, standar-standar yang diterapkan OECD dapat menjadi dorongan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi domestik, yakni perbaikan pada berbagai sektor dalam negeri yang dapat membantu Indonesia menjadi semakin maju dan sejahtera.
“Sebagai anggota OECD, pemerintah harus menerapkan sejumlah standar, mulai dari good governance, prinsip-prinsip demokrasi, hingga cara mengatasi korupsi.
“Jadi ada banyak prinsip norma dan nilai yang disepakati dalam OECD yang mengharuskan negara anggotanya untuk memenuhi ketentuan tersebut,” ungkapnya.
Bagaimana proses penerimaan anggota baru dalam OECD?
Melansir situs resmi OECD, setiap negara melalui proses aksesi berbeda-beda dan dikaji secara independen.
Fase pertama dimulai dengan pembuatan Accession Roadmap (Peta Aksesi) yang menjabarkan secara detail semua syarat, ketentuan dan proses dari masing-masing aksesi.
Proses tersebut terdiri dari evaluasi yang ketat dan mendalam oleh lebih dari 20 komite teknis pada berbagai bidang kebijakan. Evaluasi tersebut menilai keselarasan negara kandidat dengan instrumen OECD yang relevan, dan mengevaluasi kebijakan dan praktiknya.
Sebagai bagian dari penilaian ini, perubahan terhadap undang-undang, kebijakan dan praktik negara-negara kandidat diperlukan agar negara calon anggota sejalan dengan standar dan praktik OECD, sehingga dapat menjadi katalis yang kuat untuk reformasi.
Tidak ada batas waktu untuk penyelesaian proses aksesi. Durasi waktu proses aksesi juga tergantung pada kecepatan negara kandidat memberikan informasi kepada komite dan menanggapi rekomendasi perubahan terhadap undang-undang, kebijakan, dan praktik yang relevan.
Di akhir evaluasi teknisnya, masing-masing komite akan memberikan “pendapat formal” kepada Dewan OECD.
Berdasarkan pendapat formal dan informasi relevan lainnya, Dewan akan mengambil keputusan akhir dan bulat mengenai apakah undangan akan dikirim kepada negara calon untuk menjadi anggota.
Perjanjian aksesi kemudian ditandatangani dan negara kandidat mengambil langkah-langkah domestik yang diperlukan untuk akhirnya menyerahkan instrumen aksesi pada Konvensi OECD kepada pihak penyimpan, yaitu pemerintah Prancis.
Pada tanggal penyetoran, negara kandidat secara resmi menjadi anggota OECD.
Apa keuntungan dan kerugian dari bergabung dalam OECD?
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh Indonesia jika berhasil menjadi anggota OECD, khususnya di bidang investasi dan perdagangan.
Bahkan, tak jarang penerimaan status sebagai anggota OECD dapat mendongkrak investasi luar negeri alias foreign direct investments (FDI). Sebagai contoh, Meksiko dan Cile mengalami peningkatan investasi luar negeri setelah menjadi anggota.
Menurut Heri, hal ini dapat terjadi karena negara yang menjadi anggota OECD dipandang sebagai negara yang ramah investasi, tidak diskriminatif terhadap investor dan transparan dalam menyusun regulasi dan tata cara berbisnis.
“Jadi hal itu bisa membuat tingkat kepastian yang lebih tinggi bagi investor. Jadi kalau misalnya kita masuk OECD, harapannya FDI bisa meningkat, kemudian ekspor bisa semakin luas dan mudah,“ ungkapnya.
Namun, banyaknya keuntungan tersebut juga dibarengi dengan tuntutan besar bagi Indonesia jika ingin menjadi anggota OECD.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Nethanyahu bersama dengan pemimpin-pemimpin negara anggota OECD lain di Kantor pusat Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 27 Mei 2010.
“Kita harus menyesuaikan berbagai regulasi, berbagai penyusunan peraturan dan seterusnya agar lebih transparan dan kemudian lebih baik dalam berbagai aspek. Ini beberapa tantangan dan PR yang harus kita lakukan,” ujarnya.
Dari segi pertumbuhan ekonomi, Heri juga menilai Indonesia masih belum sampai pada level negara-negara yang sudah bergabung dalam OECD. Sebab, rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) para negara anggota mencapai US$53.000 per tahun per kapita.
Negara anggota OECD dengan PDB terkecil, yakni Kolombia, bahkan masih berada di kisaran US$18.000 per tahun per kapita.
“Kalau kita masih di angka US$4.500-an. Sementara yang paling rendah saja sudah hampir US$20.000. Artinya untuk bisa menyetarakan atau memantaskan diri, kita harus lebih berjuang lagi,” tutur Heri.
Apakah Indonesia perlu persetujuan Israel untuk masuk OECD?
Guru Besar bidang Ilmu Hubungan Internasional, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan bahwa negara manapun yang ingin menjadi anggota OECD harus diterima dan disetujui oleh semua anggota OECD yang sudah ada. Artinya, seluruh 38 negara OECD harus menyetujui.
“Dan itu yang mungkin sekarang menjadi kontroversi. Artinya, kita harus mendapatkan persetujuan dari Israel. Saya kira Israel juga akan bermain politik dalam konteks ini,“ ujar Poppy.
Ia mengatakan bahwa jika Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia setuju untuk memenuhi syarat dan ketentuan yang diberikan Israel demi bisa menjadi anggota OECD, maka akan timbul kontroversi.
“Kalau pemerintah kita ingin mengejar membership-nya OECD dan salah satu persyaratan yang diajukan sebagai proses aksesi tersebut adalah persetujuan dari seluruh anggota OECD yang ada, termasuk Israel, maka itu konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah kita,” ujarnya.
Massa ikut dalam unjuk rasa untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap rakyat Palestina di Surabaya, Indonesia, pada 7 Januari 2024.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Muhammad Lalu Iqbal, membenarkan kabar bahwa untuk menjadi anggota OECD, dibutuhkan “unanimous vote” alias suara bulat dari seluruh anggota OECD.
“Bahwa keputusan harus unanimous itu benar, tapi proses ke situ masih sangat panjang,” kata Iqbal dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
Topik normalisasi hubungan Indonesia dan Israel beberapa kali mengemuka dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pada Desember 2021 lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, menyebut bahwa “isu Israel” disinggung dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Anthony Blinken, dan Menlu RI, Retno Marsudi, di Jakarta.
Media Israel lainnya, Hamodia, juga mengabarkan bahwa bulan lalu, kuasa usaha Israel di Bahrain berbicara dengan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, dalam interaksi publik yang langka antara pejabat Indonesia dan Israel.
“Pertemuan antara Itay Tagner dan Prabowo Subianto terjadi di sela-sela konferensi tahunan Manama Dialogue di Bahrain,” sebut Hamodia.
Pada Desember 2020 lalu, Kementerian Luar Negeri Indonesia menolak laporan sejumlah media bahwa “Israel akan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia dalam waktu dekat”.
Kemudian pada 2016 lalu, Wakil Menlu Israel Tzipi Hotovely dikabarkan mengatakan Indonesia memiliki ‘hubungan diplomatik rahasia’ dengan Israel terkait rencana pembukaan konsul Indonesia di Ramallah.
Apa tanggapan Kemlu terhadap persyaratan Israel?
Media Jerulasem Post merilis artikel bahwa Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menolak Indonesia bergabung dengan OECD, kecuali Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel.
Media tersebut juga mengeklaim OECD menjadikan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi Indonesia jika ingin menjadi anggota OECD. Namun, klaim tersebut masih belum bisa diverifikasi kebenarannya.
Menanggapi kabar tersebut, juru bicara Kemlu Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa proses keanggotaan Indonesia agar dapat menjadi bagian dari OECD masih akan memakan waktu cukup panjang.
“Roadmap keanggotaan menurut rencana akan diadopsi Mei depan dan dalam roadmap itu banyak sekali hal yang harus dipersiapkan Indonesia,“ kata Iqbal dalam keterangannya.
Ia menjelaskan bahwa waktu yang diperlukan setiap negara untuk menyelesaikan proses keanggotaan penuh di OECD berbeda-beda. Sebab, semua tergantung pada kesiapan negara tersebut.
Ketika ditanya apakah Indonesia masih berkeinginan untuk menjadi anggota OECD jikalau normalisasi hubungan dengan Israel menjadi syarat, Iqbal belum memberikan tanggapan.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak berencana untuk membuka hubungan dengan Israel terutama di tengah situasi yang ada di Gaza saat ini. Ia mengatakan Indonesia tetap mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka solusi dua-negara.
“Indonesia akan selalu konsisten, berada di garis terdepan membela hak-hak bangsa Palestina,“ katanya.
sumber: bbc