BAGAIMANA NASIB HAMAS SETELAH SETENGAH TAHUN PERANG LAWAN ISRAEL DI GAZA?

SUMBER GAMBAR, REUTERS
Keterangan gambar, Sebelum serangan 7 Oktober 2023, Hamas diperkirakan memiliki sekitar 30.000 anggota pasukan.

Enam bulan berlalu sudah sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, 2023. Dalam insiden itu, 1.200 orang tewas dan lebih dari 200 lainnya menjadi sandera.

Israel pun berjanji akan “meluluhlantakkan Hamas” supaya kelompok itu tak lagi menjadi ancaman. Dalam operasi militer skala besar yang dilakukan Israel di Gaza, Kementerian Kesehatan Palestina menyebut lebih dari 33.000 jiwa melayang.

Israel mengeklaim telah membunuh ribuan pejuang Hamas dan menghancurkan sebagian besar jaringan terowongan bawah tanah yang dibangun para milisi Palestina di bawah Gaza. Terowongan-terowongan ini digunakan Hamas untuk melancarkan serangan mereka.

Namun, apakah Israel benar-benar sudah mencapai tujuannya menghancurkan Hamas?

Lalu bagaimana warga Palestina memandang penguasa mereka dan kepemimpinan Hamas di Gaza setelah mengalami salah satu pertumpahan darah terbesar di tanah air mereka?

Kementerian Kesehatan menyebut lebih dari 70% korban tewas di Gaza adalah perempuan dan anak-anak.

Apakah Israel berhasil melenyapkan pemimpin Hamas?

Tim pengecek fakta BBC meninjau pernyataan-pernyataan dan berbagai unggahan media sosial Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Temuan BBC menunjukkan bahwa, menurut banyak laporan yang mengutip para komandan IDF, Hamas diperkirakan punya sekitar 30.000 pejuang di Gaza sebelum 7 Oktober 2023.

Kebanyakan tokoh politik terkemuka Hamas—misalnya Ismail Haniyeh, yang banyak dipandang sebagai pemimpin politik utama mereka—tinggal di luar negeri.

Haniyeh tinggal di Qatar—jauh dari medan perang kontra Israel. Akan tetapi, pada Rabu (10/04), dia mengaku tiga anaknya dan beberapa cucunya meninggal akibat serangan udara IDF.

Pasukan Israel mengeklaim bahwa ketiga anak laki-laki Haniyeh itu adalah “personel militer” dan mengonfirmasi bahwa mereka telah “dieliminasi”.

Bagaimanapun, sebagian besar struktur kepemimpinan militer Hamas diyakini ada di dalam Gaza.

Dalam pernyataannya baru-baru ini, IDF mengaku membunuh 13.000 pejuang dari kelompok Palestina itu sejak awal perang. Meski begitu, IDF tidak mengatakan bagaimana mereka menghitung jumlah tersebut.

Sementara Hamas sendiri melaporkan kehilangan sebanyak 6.000 anggota pasukan.

Israel juga mempublikasikan nama-nama individu pemimpin Hamas yang diklaimnya sudah mati. Namun, mustahil untuk memverifikasi apakah mereka benar-benar anggota Hamas.

Sebagai contoh, salah satu nama yang disebut adalah Mustafa Thuraya. Thuraya bekerja sebagai jurnalis lepas di Gaza bagian selatan saat kendaraannya dihantam serangan Israel pada Januari. BBC juga menemukan nama-nama ganda di daftar IDF itu.

Sejak Oktober, Israel mengungkap nama 113 korban tewas yang diduga merupakan bagian dari Hamas. Sebagian besar dari nama ini tewas dalam kurun waktu tiga bulan setelah perang dimulai.

Untuk tahun ini, Israel baru melaporkan kematian Marwan Issa, wakil komandan sayap militer Hamas, pada Maret silam. Issa sendiri dipandang sebagai orang nomor tiga di kelompok itu dan masuk urutan tertinggi di DPO Israel.

Sebagian besar pemimpin top Hamas di Gaza, termasuk Yahya Sinwar, diyakini masih hidup.

Di luar Gaza, Israel pada Januari lalu disalahkan atas ledakan yang menewaskan pemimpin politik Hamas, Saleh al-Arouri, di kota pinggiran Dahiyah di selatan Beirut, Lebanon.

Namun, banyak pakar mengatakan kepada BBC bahwa sebagian besar pemimpin tertinggi di Gaza diyakini masih hidup.

“IDF belum berhasil menyentuh kepemimpinan senior Hamas,” ujar Mairav Zonszei, analis untuk isu-isu Israel-Palestina di Kelompok Krisis Internasional.

Benar saja, pemimpin kelompok Hamas—masih aktif—antara lain Yahya Sinwar, Mohammed Deif, dan beberapa pemimpin lain yang bertanggung jawab atas peristiwa 7 Oktober.

Apakah pasukan Israel berhasil menghancurkan jaringan terowongan Hamas di Gaza?

Sebagai bagian dari janjinya untuk melenyapkan Hamas, Israel menyatakan akan menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah luas yang dibangun kelompok militan itu di bawah Gaza. Jaringan ini digunakan untuk mengirim barang-barang dan orang-orang.

“Bayangkan Jalur Gaza ini punya satu lapis untuk warga sipil kemudian lapisan berikutnya untuk Hamas. Kami berupaya mencapai lapisan kedua yang dibangun Hamas itu,” ungkap juru bicara IDF, Jonathan Conricus, pada Oktober lalu.

Hamas menyebut jaringan terowongan ini mencapai luas 500 kilometer, tetapi tidak ada cara untuk memverifikasi ini secara independen.

Hamas menyebut jaringan bawah tanahnya mencapai 500 kilometer, tetapi angka ini tidak bisa diverifikasi.

BBC menanyakan kepada IDF seberapa besar jaringan bawah tanah yang sudah mereka hancurkan. Respons IDF adalah pasukan mereka telah “menghancurkan sebagian besar infrastruktur teroris di Gaza.”

Untuk menentukan seberapa besar jaringan terowongan bawah tanah yang ditemukan pasukan Israel, BBC meninjau pesan-pesan IDF di platform media sosial Telegram yang merujuk ke terowongan-terowongan bawah tanah di Gaza antara 7 Oktober 2023 dan 26 Maret 2024.

Sebagian besar pesan tidak memberikan rincian atau lokasi spesifik terowongan, sehingga tidaklah mungkin untuk memverifikasi berapa banyak terowongan atau bagian dari jaringan yang ditemukan atau dihancurkan IDF.

Labirin di bawah Gaza terdiri dari beberapa elemen, termasuk rute-rute terowongan bawah tanah, berbagai ruangan dalam ukuran berbeda-beda, dan poros-poros sebagai akses ke luar.

Dari seluruh pesan yang dikaji BBC, 36 di antaranya merujuk ke lebih dari 400 poros terowongan.

Akan tetapi, menurut Dr. Daphné Richemond-Barak, pakar di bidang operasi bawah tanah dan dosen di Universitas Reichman di Israel, mengatakan adalah menyesatkan apabila kita menganggap poros sebagai terowongan penuh.

Richemon-Barak menyebut sekadar menghancurkan poros terowongan tetap saja tidak akan mempengaruhi jaringan secara keseluruhan.

Pemimpin Hamas di Gaza pernah mengklaim bahwa mereka punya terowongan hingga sepanjang 500km.

“Saya rasa kita belum melihat hancurnya terowongan secara total dalam perang ini,” tambahnya.

Sebuah kajian yang dipresentasikan pada Maret silam oleh intelijen AS memperkirakan Hamas akan dapat meneruskan gerakan mereka selama bertahun-tahun—akibat kesulitan Israel menghentikan jaringan terowongan bawah tanah ini.

“Israel kemungkinan akan menghadapi pemberontakan bersenjata dari Hamas pada tahun-tahun mendatang, dan militer akan kesulitan menetralisir infrastruktur bawah tanah Hamas,” ujar Avril Haines, Direktur Intelijen Nasional AS, dalam laporan itu.

“Akibatnya, para pemberontak dapat bersembunyi, mengumpulkan kekuatan, dan mengejutkan pasukan Israel,” katanya kemudian.

Enam bulan setelah perang pecah, bagaimana Palestina memandang pemimpin mereka di Tepi Barat dan Gaza?

“Pembalasan dendam luar biasa” yang dijanjikan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas Hamas tidak hanya berdampak kepada Gaza.

Di teritori Palestina yang lain, Tepi Barat, Israel melancarkan rangkaian serangan mematikan terhadap kelompok-kelompok bersenjata yang menewaskan warga sipil tak bersalah. Israel juga menangkap ribuan orang yang ditahan tanpa peradilan.

Para petani Palestina telah terusir dari tanah mereka menyusul kampanye intimidasi dari pemukim Yahudi ekstrimis yang keji dan terkadang mematikan.

Akan tetapi, jajak pendapat memperlihatkan dukungan yang kuat di antara warga Palestina atas serangan Hamas pada 7 Oktober.

Khalil Shikaki, profesor di bidang ilmu politik dan direktur Lembaga Penelitian Kebijakan Publik Palestina (PCPSR), mengatakan kepada BBC bahwa bahkan mereka yang tidak menyukai Hamas, setuju bahwa serangan terhadap Israel berhasil membawa perjuangan kemerdekaan Palestina ke peta politik ASEAN.

PCPSR adalah lembaga jajak pendapat independen yang berbasis di Ramallah, ibukota Tepi Barat. Sejak 1990, lembaga ini mengukur opini publik di teritori-teritori Palestina secara triwulanan.

Dalam jajak pendapat terakhirnya di Tepi Barat dan Gaza pada bulan Maret, sebanyak 71% dari responden orang Palestina mengakui menyetujui keputusan Hamas untuk melancarkan serangan pada Oktober.

Ketika ditanya siapa yang akan memenangkan peperangan ini: Hamas atau Israel, sebanyak 64% menjawab Hamas.

Untuk topik dukungan terhadap para pemimpin mereka, opini responden terus memperlihatkan betapa kuatnya dukungan atas Hamas—yang sudah menguasai Gaza sejak 2007.

Jajak pendapat teranyar memperlihatkan penolakan besar-besaran terhadap Mahmoud Abbas, yang memimpin Tepi Barat dan didukung negara-negara Barat.

Di sisi lain, ada penolakan teramat besar terhadap Mahmoud Abbas, presiden Otoritas Nasional Palestina, yang memerintah Tepi Barat dan didukung Barat.

Jajak pendapat memperlihatkan 70% orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat puas atas performa Hamas di perang ini—hanya 14% mendukung Abbas.

Ditanya soal siapa pilihan mereka apabila ada pilpres antara Mahmoud Abbas dari kelompok Fatah dan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas—37% memilih Haniyeh dan hanya 11% mendukung Abbas.

Di Tepi Barat, Mahmoud Abbas tetap terlihat tidak populer. Jajak pendapat yang sama memperlihatkan 93% penduduk Tepi Barat ingin Abbas mengundurkan diri. Di Gaza, 71% mengatakan Abbas harus melengserkan diri.

Apa Hamas akan punya masa depan politik di Gaza setelah perang usai?

Banyak yang mempertanyakan siapa yang akan memerintah Gaza setelah perang. Sejauh ini, belum ada yang bisa mengantisipasi jawabannya.

Di sisi Israel, yang diketahui adalah visi Benjamin Netanyahu yang dipresentasikannya pada Februari lalu—visi itu tidak menyebut Otoritas Palestina dalam pemerintahan Gaza di masa depan.

Rencana si perdana menteri, bahwa Israel akan mempertahankan kontrol militer di wilayah tersebut tanpa batas, menuai kritik tajam dari berbagai analis di seluruh dunia.

Seperti dijelaskan Ethar Shalaby, wartawan BBC Arab, berbagai skenario sudah diajukan tentang siapa yang bisa memimpin Gaza setelah perang berakhir.

Semuanya berdasarkan hipotesa-hipotesa yang berkaitan dengan apakah Netanyahu akan tetap berkuasa atau siapa yang memenangkan pilpres AS pada November.

“Beberapa skenario yang diajukan termasuk kemungkinan Otoritas Palestina kembali ke panggung politik Gaza, tetapi visi-visi lain meniadakan mereka,” ujar Shalaby.

Enam bulan setelah perang pecah, sebagian besar Gaza hancur lebur.

“Ada juga kemungkinan kehadiran pasukan militer regional dalam fase transisi sementara kelompok lainnya menunggu pembentukan pemerintahan sipil di bawah kendali pasukan keamanan Israel.”

“Tetapi tidak ada satu pun dari skenario ini yang bisa dikonfirmasi mengingat kehancuran dan pembunuhan yang terjadi di Gaza sejauh ini,” jelas Shalaby.

Barangkali satu hal yang pasti adalah segala visi masa depan itu kesemuanya mengecualikan peran Hamas dalam pemerintahan apa pun di Gaza.

Kendati demikian, para pakar menekankan bahwa akan sangat sulit bagi institusi Palestina di Gaza—siapa pun yang berkuasa nantinya—untuk tidak berelasi dengan Hamas.

“Tidak mungkin untuk menumpas semua orang yang punya koneksi dengan Hamas,” ujar Sarah Yerkes, peneliti senior Carnegie Endowment for International Peace kepada BBC.

“Saya memahami keinginan untuk melengserkan Hamas dari kekuasaan dan melenyapkan kemampuannya untuk mengontrol Gaza.”

“Tapi saya rasa tidaklah realistis bagi orang Israel untuk mengharapkan siapa pun yang pernah bekerja untuk pemerintahan Hamas bisa disingkirkan.”

“[Kalau itu dilakukan] maka tidak akan ada lagi birokrasi tersisa dan tidak akan ada orang yang punya pengalaman memimpin Gaza,” ujar sang ahli.

Muncul berbagai laporan bahwa pejabat Hamas tengah berdiskusi untuk mengizinkan pembaruan Otoritas Palestina untuk mengambil alih kendali di Gaza melalui pemerintahan teknokrat baru.

Dr. Mukheimer Abu Saada, profesor kajian politik di Universitas Al-Azhar di Gaza, meyakini ini adalah opsi yang paling layak untuk Gaza pascaperang.

“Ini adalah skenario yang paling mungkin karena inilah yang paling bisa diterima AS dan negara-negara Arab,” ujar ahli kepada BBC.

Dia menambahkan: “Ini akan menjadi pemerintahan baru, dengan menteri-menteri baru yang tidak ada hubungannya dengan Hamas.”

“Saya rasa pemerintahan ini akan bisa diterima Washington dan komunitas internasional, bahkan kalaupun Netanyahu tidak menyukainya, dan dia tidak punya hak untuk memutuskan.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.