SIMAK KATA DOSEN ILMU POLITIK INI TERKAIT PRABOWO-GIBRAN

Xhardy – Ada satu penjelasan dari seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di UGM, Mada Sukmajati.

Jadi dia berkata, isu demokrasi seperti HAM, konflik kepentingan dan moralitas pejabat negara tidak dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat ekonomi bawah dan kelompok berpendidikan rendah.

Makanya, MK mau seenaknya kek, pejabat tidak netral kek, presiden mau cawe-cawe kek, ada film tentang kecurangan pemilu kek, bagi masyarakat menengah ke bawah, itu tidak penting dan itu bukan masalah serius buat mereka. Yang selama ini teriak demokrasi hancur adalah dari kalangan yang berpikir kritis dan logis, bukan dari masyarakat akar rumput.

Menurut Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2021, 7 dari 10 penduduk Indonesia adalah orang dengan pendapatan menengah ke bawah. Selain itu, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2022 mencapai 26 juta orang.

Selain itu, jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana hanya 6,4 persen pada Juni 2022, jumlah penduduk yang tamat SMA dan sederajat hanya 20,8 persen atau sekitar 57 juta orang.

Perlu kalian ketahui, sejak Jokowi menjabat pada 2014 lalu, jumlah penduduk miskin sekitar 27 jutaan orang. Artinya sampai saat ini angka kemiskinan tidak banyak berkurang. Sebelum Covid, angka kemiskinan sudah berkurang menjadi 24 jutaan orang, tapi karena pandemi, angka kemiskinan naik lagi menjadi 27 jutaan orang. Dan sekarang ketika pandemi sudah berakhir, ekonomi sudah pulih, angka kemiskinan tetap bertahan di sekitaran 26 juta orang.

Menurut Dosen UGM tadi, bagi pemilih dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, “bisa makan dan punya tempat tinggal layak” adalah persoalan nyata yang mereka hadapi setiap hari.

Saya setuju, kelompok ini gak sempat mikirin politik, gak sempat mikirin MK yang ugal-ugalan, gak punya waktu mikirin apapun karena otak mereka sudah cukup pusing memikirkan hari ini makan apa. Uang yang didapat hari itu kadang hanya cukup untuk satu hari, habis untuk membeli beras dan lauk ala kadarnya. Mereka tidak tahu besok mau makan apa, bahkan kadang tidak tahu apakah besok bisa makan tiga kali sehari atau tidak.

Dan jumlah orang-orang di kelompok ini sangat banyak di negara ini. Dan mereka inilah orang-orang yang gampang dipengaruhi atau dibodohi atau ditakuti. Mereka adalah target empuk dari calon-calon pemimpin yang menawarkan program populis, misalnya bansos dan BLT. Mereka sangat senang kalau dikasih bansos, dikasih uang, dikasih apapun yang gratis. Urusan perut yang jadi masalah sehari-hari, setidaknya terselesaikan untuk jangka pendek.

Lumayan perut kenyang selama 1-2 minggu. Lumayan dapat duit buat makan selama 2 minggu. Itulah pemikiran mereka. Mereka bodo amat dengan internet gratis karena gak bisa bikin kenyang. Program makan siang dan susu gratis, jauh lebih menggoda karena itu adalah solusi atas persoalan ekonomi mereka.

Dosen ini juga menilai, bantuan berbentuk uang sebesar Rp 600 ribu yang dibagikan Presiden melalui bansos mitigasi risiko pangan jelang pencoblosan memperkuat posisi Prabowo-Gibran sebagai calon pemimpin yang populis. Menurut dia, bansos inilah yang kemungkinan besar membuat suara Prabowo-Gibran lebih tinggi dari sejumlah survei sebelum hari pencoblosan.

Ketika urusan perut sudah kritis, mereka tidak peduli lagi dengan apapun yang terjadi di negara ini meskipun di ambang hancur sekalipun. Perut mereka lebih kritis. Siapapun yang bisa mengenyangkan perut mereka, meski hanya jangka pendek, akan dianggap pahlawan atau pemimpin mulia. Mereka kadang tidak peduli dengan visi misi calon pemimpin yang fokus pada pendidikan atau lapangan kerja sebagai solusi memutus rantai kemiskinan di jangka panjang.

Mereka maunya solusi instan, lewat bansos atau uang. Padahal ini adalah cara yang tidak mendidik, membuat mereka ketagihan, malas dan tidak produktif karena selalu berharap bantuan dari pemerintah. Apalagi ini dilakukan karena tahun politik.

Rakyat diajari untuk menunggu bantuan dari pemerintah, bukannya diajari untuk mencari makan sendiri. Mereka terus diberi ikan, bukan diajari cara memancing ikan. Udah itu, mereka ditakut-takuti, kalau tidak memilih paslon tertentu, ikannya bakal disetop. Ya takut lah mereka. Membayangkan perut lapar itu sangat menakutkan, ketimbang melihat hantu.

Dengan besarnya angka kemiskinan di negara ini, tentu saja menjadi sebuah peluang yang besar bagi politisi yang mau melenceng. Masyarakat seperti itu begitu mudah disetir. Cukup disiram bansos, masalah selesai. Mereka akan mendukung mati-matian.

Dan sialnya, cara ini efektif pula. Dan sialnya lagi, di masa depan cara ini bisa saja diulang demi kepentingan politik. Ini sangat memprihatikan sekaligus bisa menjadi bom waktu. Indonesia Emas 2045, kadang sedih kalau mikirin itu. Apa bisa tercapai di saat SDM kita masih banyak yang low level, banyak yang hidupnya ngos-ngosan, gampang dipengaruhi?

Di media sosial, ada banyak narasi orang miskin dipelihara untuk kepentingan pemilu. Benar atau tidak, silakan kalian renungkan sendiri.

Bagaimana menurut Anda?
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.