SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES
Keterangan gambar,
Saat ini ada sekitar 1,5 juta warga Palestina tinggal di Rafah yang berlokasi di selatan Jalur Gaza.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan malapetaka yang menghantui Rafah – kota di Gaza bagian selatan – apabila Israel melancarkan operasi militer berskala besar di sana.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memerintahkan aparat militer untuk bersiap-siap mengevakuasi warga sipil dari Rafah menjelang serangan bersenjata yang lebih besar terhadap Hamas.
Pada Minggu (11/02), Israel menggempur Rafah via serangan udara yang menewaskan sedikitnya 67 orang, menurut pernyataan kementerian kesehatan Hamas.
Israel menyatakan ”pemantauan udara dan serangkaian serangan” mengiringi operasi pembebasan dua sandera.
Israel berargumen bahwa Rafah merupakan benteng pertahanan terakhir bagi para pejuang Hamas. Namun, PBB menyebut lebih dari setengah populasi Gaza kini menjadi pengungsi di Rafah – dan kota ini menjadi kunci untuk bantuan kemanusiaan.
Seiring dengan banyaknya komunitas internasional yang menyerukan penghentian serangan ke Rafah, mari kita tengok kota ini, para pengungsinya, dan sejarahnya.
Di mana letak Rafah?
Rafah adalah kota paling selatan di Gaza. Wilayah administrasi Rafah berbatasan dengan Mesir dan Israel – sementara kotanya sendiri terletak persis di perbatasan Gaza-Mesir.
Saat ini populasi Rafah diperkirakan terdiri dari 1,5 juta orang Palestina. Dengan kata lain, jumlahnya lima kali lipat lebih besar dibanding jumlah sebelum Israel menggempur Gaza.
Luas wilayah Rafah adalah sekitar 60 kilometer persegi. Kalau dibandingkan, ini kira-kira seluas wilayah Manhattan di New York atau kalau di Indonesia kira-kira seluas Banda Aceh.
Satu-satunya batas penyeberangan antara Jalur Gaza dan Mesir terletak di Rafah.
Berpuluh-puluh tahun lamanya Rafah menjadi tempat penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza. Sebelum perang, ratusan truk menggunakan rute ini untuk memasuki Jalur Gaza setiap harinya.
Pada masa lalu, terdapat puluhan terowongan untuk menyelundupkan barang-barang di bawah perbatasan ini.
Terowongan penyelundupan ini digunakan untuk menghindari blokade Israel-Mesir yang menghalangi barang-barang masuk ke Gaza. Hal ini menjadikan Rafah lokasi yang penting dalam konteks perdagangan juga bidang ekonomi.
Belum jelas berapa banyak terowongan yang tersisa. Pasukan Mesir mengeklaim telah mengakhiri praktek penyelundupan dan menghancurkan terowongan-terowongan itu dalam beberapa tahun belakangan.
Sejarah Rafah
Rafah adalah satu kota kuno bersejarah di Gaza. Firaun, Asyura, Yunani, dan Romawi sudah pernah menaklukkan kota ini.
Sejak 1917 sampai 1948, Rafah berada di bawah kekuasaan Inggris dan kemudian negara Israel dideklarasikan.
Perang kontra negara-negara Arab pun menyusul setelah pembentukan Israel. Setelah perang berakhir, Rafah – dan juga Jalur Gaza – kemudian berada di bawah kendali Mesir.
Pengungsi Palestina di sebuah pasar di Rafah pada 1975
Kemudian, pada perang tahun 1967 – alias Perang Enam Hari – Israel mengambil kendali atas Rafah seiring pendudukannya atas Gaza dan Semenanjung Sinai Mesir, juga Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Yerusalem Timur.
Pada tahun 1979, Mesir dan Israel mencapai kesepakatan perdamaian. Semenanjung Sinai dikembalikan ke Mesir, dan Rafah dibagi dua: sebagian di Mesir dan sebagian di Gaza di bawah pendudukan Israel. Kawat duri membentang di perbatasan dan memisahkan keluarga-keluarga.
Seperti daerah-daerah lainnya di Gaza, Rafah menjadi rumah berlindung bagi ribuan pengungsi Palestina yang terpaksa melarikan diri karena rumah mereka digempur pada 1948 – dan para keturunan mereka.
Seperti apa situasi di Rafah sekarang?
PBB menyatakan lebih dari setengah populasi Gaza berdesak-desakan di Rafah. Martin Griffiths, salah satu koordinator bantuan untuk PBB, mendeskripsikan kondisi hidup di sana dengan satu kata: “mengkhawatirkan”.
“Mereka kekurangan kebutuhan yang mendasar untuk bertahan hidup, juga dihantui kelaparan, penyakit, dan kematian,” ujarnya.
Orang-orang terlantar hidup di jalanan-jalanan, di sekolah-sekolah, dan tenda-tenda. Analisa dari gambar satelit BBC (seperti terlihat di atas) menunjukkan peningkatan jumlah tenda dalam jumlah besar di Rafah semenjak perang dimulai.
Banyak orang di sini, seperti Abu Rushdi Abu Daqin, kabur dari pertempuran di utara Gaza setelah militer Israel memerintahkan pengungsi untuk pindah ke selatan.
“Kami menderita,” Abu Daqin mengatakan kepada BBC.
“Saya meninggalkan Kota Gaza untuk pergi ke Hamad lalu pindah ke Khan Younis. Lalu dari Khan Younis ke Rafah. Tapi sampai kapan seperti ini?” tanya dia setelah mendengar kabar ancaman serangan darat Israel ke Rafah.
Banyak orang terlantar di Rafah mengatakan kepada BBC bahwa mereka lebih memilih tinggal di bagian barat Rafah yang dekat dengan Laut Tengah. Ini karena mereka takut terkena “invasi” dari bagian timur yang dekat dengan perbatasan Israel.
Hanya ada beberapa rumah sakit yang masih buka, termasuk Rumah Sakit Sentral Rafah, Rumah Sakit Spesialis Kuwait, dan Rumah Sakit Martir Abu Youssef Al-Najjar. Semua rumah sakit ini kekurangan alat-alat kesehatan yang standar dan harus berjibaku dengan kurangnya daya listrik.
Perdana Menteri Israel Netanyahu sudah memperingatkan akan melakukan serangan darat di Rafah – kendati komunitas internasional mengecamnya. Kebanyakan orang di Rafah menanyakan hal yang sama dengan Abu Daqin: “Semua orang Gaza di sini. Ke mana lagi kami harus pergi?”
Israel menyatakan akan berupaya meminimalisir korban sipil dalam operasi mereka yang dimulai sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di mana 1.200 korban jiwa melayang dan 250 lainnya dijadikan sandera.
sumber: bbc