Wisnu Sapto Nugrohoi – Mengawali tulisan ini penulis menyatakan pengakuan dosa kepada Anda semua. Dosa penulis adalah menempatkan sosok Jokowi terlalu tinggi dalam kancah politik Indonesia. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, penulis pernah menganggap sosok ini nyaris sempurna. Jika kesempurnaan Tuhan disimbolkan angka 7 dalam pemikiran orang kuno, mungkin kesempurnaan sosok itu adalah angka 6.
Salah satu alasan mengapa menempatkan dia amat tinggi adalah gagasan tentang revolusi mental.
Revolusi mental digaungkan sejak tahun 2014, saat beliau memenangkan kontestasi pemilu melawan Prabowo. Saat itu setiap kali mendengar ungapan REVOLUSI MENTAL, hati penulis serasa bergelora dan bangga. Dari mana semangat itu? Revolusi mental sangat berkaitan dengan pemikiran Soekarno. Maklumlah Jokowi diusung oleh PDIP yang kuat dengan gagasan-gagasan Proklamator RI.
Kita tahu Soekarno pernah menggagas gerakan itu pada tahun 60-an. Beliau menghendaki semangat Indonesia bebas dari mentalitas sebagai bangsa terjajah. Mentalitas itu amat membelenggu cara pandang, cara berpikir dan cara bertindak sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Jokowi yang mengusung gagasan Soekarno itu begitu mempesona. Apalagi dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, kinerja pemerintahan semakin meningkat. Mentalitas pejabat negara berubah total. Dari mental tuan menjadi pelayan. Masyarakat yang membutuhkan pelayanan dilayani dengan cepat, minim pungli dan sesuai SOP. Tidak banyak yang berani macam-macam karena semua sistem terintegrasi.
Paruh pemerintahan pertama berjalan dengan baik. Kami bangga dengan semua itu. Paruh kepemimpinan Jokowi yang kedua berlangsung sejak 2019. Ia kembali memenangkan pertarungan melawan rivalnya, Prabowo. Gerakan revolusi mental kembali digaungkan.
Supaya pemerintahan berjalan dengan kondusif, sebisa mungkin tidak ada oposisi. Akibatnya ditariklah Prabowo dan Sandiaga Uno, rival politik di Pilpres masuk ke kabinet. Di sinilah kontrol parlemen menjadi lemah. lemahnya kontrol parlemen terbukti nyata dengan terbentuknya beberapa Undang-Undang yang prosesnya menyalahi proses-proses pembentukan Undang-Undang yang semestinya.
Perjalanan pemerintah tanpa oposisi ternyata bukanlah pemerintahan yang ideal. Hilangnya oposisi membuat pemerintah yang dinahkodai presiden sebagai kepala negara dapat bertindak sesuka hati. Jika ada pihak-pihak yang kritis, pembungkaman dilakukan. Selanjutnya unsur-unsur bergaya militerisme mulai dimasukkan ke dalam pemerintahan.
Ketika hal itu terjadi, penulis amat sedih. Militerisme yang dekat dengan model diktator dan anti civil society menginfiltrasi pemerintahan.
Kemelekatan Jokowi dengan Prabowo semakin lengket bak permen karet. Sebagai presiden, ia kerap mengajak Prabowo ke berbagai acara. Bahkan diajaknya pula Prabowo turun ke sawah, lalu membangun food estate. Wow… ini mirip Orde Baru. Demiliterisasi kembali terjadi. Selanjutnya KPK mulai dilemahkan. Seorang sahabat penulis yang merupakan kawan sekerja pembuat film “Dirty Vote” menyampaikan bahwa pelemahan KPK sengaja dilakukan dengan maksud agar KPK bisa menjadi alat politik. Pihak-pihak yang tidak sejalan dengan penguasa akan dikunjungi KPK.
Parlemen, militer, KPK, kepolisian, sudah digenggaman penguasa. Ada lagi yang selanjutnya dipegang yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu kewenangan MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apakah kebetulan jika pada masanya ketua MK dijabat oleh adik ipar Jokowi? Inilah celah untuk mengobok-obok Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dan itu terbukti karena MK menambahkan norma atas gugatan tentang batas usia Capres/Cawapres. Kita tahu bahwa putusan MK bersifat erga omnes, final dan mengikat. Maka sekalipun di kemudian hari ditemukan bahwa MK melanggar etika, putusan itu tetap mengikat.
Adakah lagi yang dilakukan Jokowi? Masih banyak. Menjelang pemilu Bansos dibagikan secara TSM alias Terstruktur, Sistematis dan Masif. Bansos yang mestinya dilakukan keneterian sosial diambil alih presiden, sang kepala negara. Dan masih banyak lagi……
Apakah itu melanggar hukum? Dari sisi hukum positif, tindakan itu tidak melanggar hukum. Alasannya adalah karena semua dilakukan dalam kerangka hukum, sehingga semua legal dan formal. Namun apakah sesuatu yang tidak melanggar hukum itu pasti benar?
Humberto Ávila seorang pakar ilmu hukum menyebut bahwa dalam hukum terdapat tiga hukum yaitu norma, asas dan nilai. Sederhananya, norma merupakan aturan tertulis. Asas adalah prinsip-prinsip di balik norma. Dan nilai adalah landasan etis, moral dari asas dan norma. Jadi jelas, secara norma, tidak ada yang dilanggar Jokowi, namun dalam asas dan nilai, ada banyak kekeliruan yang fatal.
Uraian di atas adalah pandangan penulis dan kekecewaan penulis pada sang pembangun revolusi mental pada tahun 2016. Pada akhirnya revolusi mental itu dikudeta sendiri karena hasrat berkuasa jauh lebih kuat ketimbang hasrat mencintai Indonesia.
Ke mana arah revolusi mental? Rumput yang bergoyang tidak tahu jawabnya. Apa maning inyong??
sumber: seword