Warga Palestina memeriksa dampak serangan Israel di Rafah, Jalur Gaza, Sabtu, 10 Februari 2024. (Foto: AP)
Serangan udara Israel menghantam wilayah padat penduduk, Rafah, pada Sabtu (10/2) menyusul perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada pasukannya untuk “bersiap beroperasi” di kota perbatasan selatan. Padahal Rafah menjadi tempat pertahanan terakhir bagi para pengungsi Palestina.
Serangan yang direncanakan Netanyahu di Rafah, tempat sekitar 1,3 juta orang mengungsi, menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia dan Washington. Di sisi lain, warga Palestina mengeluhkan kondisi mereka yang tidak punya tempat lagi untuk pindah.
Para saksi mata melaporkan adanya serangan yang menggempur Rafah pada Sabtu (10/2) pagi, setelah militer Israel mengintensifkan serangan udara. Warga khawatir serangan itu akan diikuti oleh invasi darat.
“Kami tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Mohammad al-Jarrah, seorang warga Palestina yang mengungsi dari utara ke Rafah.
Namun sebagai tanda rasa frustrasinya yang semakin besar terhadap kepemimpinan Israel, Presiden Joe Biden mengeluarkan kritik terpedasnya terhadap perilaku perang tersebut. Ia menggambarkan pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai tindakan yang terlalu berlebihan.
“Saya berpandangan, seperti yang Anda tahu, bahwa tindakan respons di Gaza, di Jalur Gaza, sudah berlebihan,” kata Presiden AS.
“Ada banyak orang tak berdosa yang kelaparan… dalam kesulitan dan sekarat, dan ini harus dihentikan.”
Mati di Rumah
Warga Palestina yang mengungsi dari kota-kota lain di Gaza telah membanjiri Rafah, di mana ratusan ribu orang tidur di tenda-tenda yang terletak di dekat perbatasan Mesir.
Gambar-gambar AFP menunjukkan pemandangan kehancuran di jalan-jalan Rafah, di mana orang-orang mengantre untuk mendapatkan air yang semakin langka.
“Tidak ada tempat yang aman di Rafah. Jika mereka menyerbu Rafah, kami akan mati di rumah kami. Kami tidak punya pilihan. Kami tidak ingin pergi ke tempat lain.”
Tentara Israel mengkalim pasukannya berhasil “melenyapkan 15 teroris” dalam satu hari terakhir di Khan Yunis, kota terbesar di Gaza selatan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan setiap serangan Israel ke Rafah “akan secara eksponensial meningkatkan apa yang sudah menjadi mimpi buruk bagi kemanusiaan”.
Namun kantor Netanyahu mengatakan “tidak mungkin” mencapai tujuan perang untuk melenyapkan Hamas ketika meninggalkan empat batalyon militan di Rafah. [ah/ft]
sumber: voa