WARISAN JOKOWI: IRONI KEMUNDURAN DEMOKRASI DI TANGAN SI ‘ANAK KANDUNG REFORMASI’ DI BALIK GENCARNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN INVESTASI

SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES

Selama dua periode memimpin Indonesia, para ekonom sepakat bahwa Presiden Joko Widodo berhasil memperbanyak infrastruktur dan gencar menggaet investasi. Namun warisan Jokowi di bidang pembangunan itu harus dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi, kata pakar politik dan pegiat HAM.

Pada tahun terakhirnya menjabat sebagai presiden, Jokowi mendapat “peringatan keras” dari para akademisi, mahasiswa, hingga ekonom lantaran dituding mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai presiden demi memuluskan langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.

Bagaimana Jokowi – si “anak kandung reformasi” – yang dulu digadang-gadang sebagai “harapan baru” bagi Indonesia, justru disebut mewarisi kemunduran demokrasi dan HAM?

Joko Sugiyarto, 59, masih ingat betul bagaimana Jokowi – ketika menjabat sebagai Wali Kota Solo – mendekati para pedagang kaki lima (PKL) agar mau direlokasi dari Monumen 45 Banjarsari ke Pasar Semanggi pada 23 Juli 2006.

Para PKL ini hendak direlokasi sejak 1998 pada era Wali Kota Imam Soetopo. Rencana itu selalu ditolak. Begitu pula pada era wali kota berikutnya, Slamet Suryanto.

Tetapi di tangan Jokowi, para pedagang yang awalnya menolak keras direlokasi – termasuk Joko – akhirnya melunak.

“Kalau wali kota sebelumnya hanya ngasih edaran bahwa besok ada rencana pemindahan, tapi setelah ditengok teman-teman [tempatnya] itu jelek kayak kandang kambing, tidak manusiawi, jadi teman-teman menolak,” kenang Joko ketika ditemui wartawan Fajar Shodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Menurut Joko, para pedagang diajak berdialog hingga puluhan kali. Mulai dari jamuan makan siang hingga dilibatkan dalam rapat dengan berbagai instansi untuk membahas rencana detail relokasi.

“Ketika dengan Pak Jokowi banyak pendekatan humanis tadi. Semua alat negara dilibatkan sampai tingkat RT untuk mengajak teman-teman pedagang sampai 100 persen mau semua,” kenangnya.

“[Kami] dikasih pemahaman bahwa kalau ada relokasi itu, teman-teman pedagang akan dimanusiakan.”

“Misalnya dikasih pasar, nanti pedagang disuruh ngasih nama sendiri, warna cat kios pasarnya pilih sendiri, nanti dikasih alat transportasi [umum] dari berbagai arah, terus disosialisasikan kepada masyarakat agar langsung pulih [kembali ramai].”

Relokasi ratusan PKL itu akhirnya berjalan bak perayaan. Pemerintah Kota Solo menggelar kirab budaya bersama para pedagang, prajurit Keraton Surakarta, dan prajurit Pura Mangkunegaran. Jokowi bersama wakil wali kota FX Rudy turut serta dalam kirab itu.

Menurut Joko, suasana begitu meriah. Kisah sukses relokasi PKL itu kemudian melegenda.

Jokowi identik dengan blusukan, istilah dalam bahasa Jawa yang berarti turun langsung ke lapangan untuk mendengar persoalan yang dihadapi masyarakat.

Gaya blusukan ini pula yang membuatnya dikenal dan menjadi populer. Dia dianggap sebagai pemimpin “yang merakyat” dan mau mendengar masyarakat.

Pencapaian Jokowi di Solo membuatnya mulai dilirik di pentas politik yang lebih besar. Dia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, meski tugasnya di Solo belum tuntas.

Baru dua bulan dilantik, pemerintahan Jokowi menghadapi persoalan klasik yang tak pernah tuntas di ibu kota: banjir.

Sejumlah titik di pusat ibu kota tergenang usai hujan deras menjelang akhir 2012, salah satunya Bundaran Hotel Indonesia.

Jokowi kemudian datang ke Jalan MH Thamrin pada 26 Desember 2012 untuk mengecek saluran pembuangan air di area itu.

Saat itulah, Jokowi masuk ke dalam gorong-gorong. Momen itu dipotret oleh banyak media dan kerap dikenang hingga saat ini.

Potret Jokowi masuk gorong-gorong itu pula yang pernah dilihat oleh Pandi, 51, dari layar kaca di rumahnya di Desa Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Bagi Pandi, pada saat itu Jokowi tampak seperti sosok politisi yang “merakyat”. Itu bukan hal biasa yang ditampilkan oleh para pejabat di negeri ini. Pandi termasuk yang sempat terpukau oleh gestur itu.

Tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa beberapa tahun setelahnya, kebijakan dari si politisi yang “merakyat” itu akan mengubah kehidupannya.

Semua bermula ketika pada 2019, Jokowi yang baru saja terpilih untuk periode keduanya sebagai presiden, mengumumkan akan memindahkan ibu kota dari Jakarta dan membangun ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Rencana itu membuat gelisah masyarakat adat yang mendiami wilayah itu secara turun temurun.

Pandi khawatir suatu saat akan digusur, sebab rumahnya dekat dengan tempat pembangunan bendungan Sepaku yang akan memasok air ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Apalagi, Pandi tidak memiliki sertifikat atas tanah, rumah, dan kebunnya.

Namun Pandi merasa keresahannya itu tak pernah benar-benar didengar dan dipahami. Tiba-tiba, patok batas pembangunan muncul di sekitar rumah-rumah mereka tanpa penjelasan.

“Ini berbeda gambaran di media yang saya lihat [Jokowi] bisa turun ke gorong-gorong, bisa bermasyarakat, ternyata ambisi di baliknya, ngeri..,” kata Pandi.

Keresahan yang sama juga dirasakan Yati Dahlia, 32, yang masih tinggal di Desa Bumi Harapan, pemukiman masyarakat yang berjarak sekitar lima kilometer dari Titik Nol IKN.

Pemerintah menjanjikan ganti rugi sebesar Rp150 juta untuk tanahnya seluas 1,2 hektare. Di tanah itu berdiri rumah, kontrakan, serta warung miliknya. Tetapi hingga kini, ganti rugi itu tidak kunjung dibayarkan.

“Rumah saya yang di belakang sempat saya sewakan, belum ada pembayaran ganti rugi sampai sekarang, tapi mereka [bagian pertanahan] sudah disuruh kosongkan tempat,” ujar Dahlia.

Yati Dahlia mengatakan pemerintah menawarkan ganti rugi sebesar Rp150 juta untuk tanah seluas 1,2 hektare miliknya

“Mungkin orang-orang melihat kondisi fisik saya baik-baik saja, tapi di dalam rasanya mau gila, stres. Kami disuruh pindah, sedangkan kami belum dibayar, kami mau pindah kemana?”

Dia merasa masyarakat tak banyak dilibatkan dan diberdayakan terkait pembangunan IKN. Pada akhirnya, mereka tersingkir dari kampung yang telah mereka tinggali turun temurun.

Dahlia kini hanya bisa pasrah. Apalagi ada Undang-Undang IKN yang mewajibkan presiden selanjutnya meneruskan program ini.

“Walaupun tidak dilanjutkan, toh tanah kami sudah habis,” kata dia.

Dahlia sendiri mengaku tidak masalah jika proyek IKN dilanjutkan sepanjang pemerintah memperhatikan nasib masyarakat adat.

Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, Jokowi tampaknya mengharapkan pembangunan IKN menjadi “gong” dari warisan infrastruktur yang telah dia bangun secara masif selama 10 tahun terakhir.

Akan tetapi, peneliti politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menilai banyak dari warisan pembangunan Jokowi tidak mencerminkan proses yang demokratis dan justru mencerabut hak masyarakat terdampak.

Menurutnya, proyek IKN merefleksikan itu semua. Polanya serupa dengan yang terjadi dalam proyek-proyek investasi di Pulau Rempang, Desa Wadas, Air Bangis, Mandalika, dan lain-lain.

“Partisipasi [dalam proyek IKN] itu sangat elitis, idenya tidak didialogkan, setelah idenya jadi kebijakan baru didialogkan. Ini adalah gaya-gaya otoriter. Dia [Jokowi] tidak menganggap serius eksistensi masyarakat dan alam di IKN,” kata Firman kepada BBC News Indonesia.

“Dalam banyak aspek, [IKN] ini suatu refleksi, cerminan bagaimana nilai-nilai demokrasi itu luruh dari praktik politik yang terjadi kurang lebih 10 tahun ini,” tutur Firman.

BBC News Indonesia telah menghubungi dan mengirimkan surat permintaan hak jawab kepada Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana serta sejumlah pejabat di Kantor Staf Presiden. Namun hingga artikel ini diterbitkan, tidak ada yang merespons perihal kemunduran demokrasi dan HAM di era Jokowi.

‘Bukan politisi standar’

Jargon “Jokowi adalah kita” bermunculan ketika Jokowi untuk pertama kalinya mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014.

“Jargon itu ketika itu sangat bermakna untuk melawan model politisi ‘standar’,” kenang Firman.

“Politisi standar” yang dimaksud Firman adalah yang berasal dari kalangan elit dan terasa berjarak dengan rakyat.

Sejak era reformasi, “politisi standar” inilah yang mewarnai ruang demokrasi Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat sebelum Jokowi, menurut Firman, termasuk “politisi standar” itu.

“Sementara sosok Jokowi saat itu digambarkan sangat sederhana, sangat merakyat, sehingga diharapkan demokrasi kita menjadi lebih baik,” tutur Firman.

Jokowi mulanya digambarkan sebagai sosok politisi yang sederhana dan dekat dengar rakyat

Prabowo Subianto yang menjadi penantang Jokowi dalam Pilpres 2014 – dan kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2019 serta pemilihan presiden 14 Februari mendatang – juga berasal dari kalangan elit.

Dia adalah putra dari Soemitro Djojohadikusumo, mantan menteri Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, sekaligus punggawa ekonomi Indonesia. Prabowo juga pernah menjadi menantu Soeharto.

Di militer, Prabowo pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus pada 1995-1998, sebelum diberhentikan karena diduga terlibat dalam penculikan aktivis pro-demokrasi.

Itulah mengapa Pilpres 2014 dianggap sebagai momen ketika demokrasi “dipertaruhkan”.

Ketika Jokowi terpilih, Firman mengatakan banyak yang merayakan kemenangan itu sebagai “sebuah harapan baru” bagi demokrasi.

Nuansa kepemimpinan yang ‘anti-demoktratik’

Ironisnya, Firman menilai pemerintahan Jokowi ternyata “tidak lebih demokratis” dibanding SBY yang berlatar militer.

Hal itu juga terlihat dari sejumlah indikator terkait iklim demokrasi Indonesia, antara lain Freedom House, The Economist Intelligence Unit, dan V-Dem.

Ketika SBY menyelesaikan masa jabatannya, demokrasi Indonesia dianggap dalam kondisi “stagnan”. Namun pada era Jokowi, indeks demokrasi Indonesia justru cenderung menurun.

Hingga indeks terakhir yang dirilis pada 2022, The Economist Intelligence Unit masih mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan “demokrasi cacat”.

Demokrasi pada pemerintahan periode kedua Jokowi, menurut Firman, “semakin rusak”. Salah satunya karena minim oposisi.

Jokowi merangkul oposisi politiknya. Bahkan Prabowo yang menantangnya dalam dua kali pemilu – Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 – dijadikan sebagai Menteri Pertahanan.

Koalisi pemerintah menguasai 81,9% kursi di DPR. Ini membuat banyak kebijakan dihasilkan nyaris tanpa tantangan meski ditentang publik.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan bahwa hal itu menyebabkan pengawasan terhadap pemerintah melemah.

“Berbagai undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Jokowi bukan hanya kurang menghormati kepentingan hak asasi manusia dari kalangan rakyat seperti petani, buruh, dan masyarakat adat, tetapi juga proses pembentukannya dilakukan dengan melanggar hak-hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik,” kata Usman kepada BBC News Indonesia.

Pada 2019, pemerintah dan DPR mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih mengandung pasal-pasal karet seperti penghinaan presiden, pemerintah, dan pengadilan; pasal yang memuat ancaman pidana bagi aksi demonstrasi tanpa pemberitahuan; pasal penodaan agama; mengkriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan; dan pasal-pasal problematis lainnya.

Kemudian Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang oleh Amnesty dianggap mengancam HAM karena sangat berpihak pada investor dan mengancam kesejahteraan buruh, juga disahkan pada 2023 dengan cara yang sama.

Ada pula revisi Undang-Undang KPK yang dianggap “melemahkan” lembaga antirasuah tersebut. Salah satu dampaknya telah terlihat pada merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 ke titik terendah dalam 10 tahun terakhir.

Firli Bahuri yang dipilih pemerintah dan DPR sebagai Ketua KPK memiliki rekam jejak pelanggaran etik.

Beberapa bulan belakangan, Firli bahkan terjerat kasus suap dan menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.

Firli Bahuri, yang dipilih sebagai Ketua KPK, justru terjerat kasus dugaan suap

Selain itu, Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang ditentang banyak pihak juga disahkan secara kilat tanpa partisipasi publik yang bermakna.

Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), UU IKN disahkan hanya dalam waktu kurang dari dua pekan sejak tim panitia khusus pembahas RUU dibentuk di DPR.

Rentetan aksi protes ke jalan dan kritik luas dari masyarakat tidak menghentikan pengesahan beragam UU tersebut.

Kebebasan berekspresi turut terancam.

Menurut Usman, itu ditandai dengan maraknya taktik represif melalui penguatan aparat serta undang-undang yang mengatur ketentuan yang bertentangan dengan HAM.

Selama 2019 hingga 2022, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital dengan setidaknya 834 korban. Korbannya mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) turut digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan haknya berpendapat.

Amnesty mencatat sebanyak 332 orang menjadi korban karena dijerat menggunakan pasal “karet” UU ITE pada periode yang sama. Jumlahnya pun masih terus bertambah berdasarkan pantauan sepanjang 2023.

Salah satu kasus yang mengemuka adalah yang menjerat dua aktivis, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang diadili lantaran dituduh mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berdasarkan pasal karet UU ITE.

Meski Haris dan Fatia pada akhirnya divonis bebas di persidangan, kasus ini telah menyoroti kekhawatiran soal kebebasan berekspresi.

Firman Noor, pengamat politik dari BRIN, juga sepakat dan mengatakan bahwa “kebebasan menjadi sesuatu yang mahal” di era Jokowi.

“Memang Jokowi belum sampai jadi diktator, dia belum 100% otoritarian, tetapi nuansa kepemimpinannya sudah anti-demokratik,” kata Firman.

Menurutnya, situasi ini turut dipengaruhi oleh latar belakang Jokowi yang tidak memiliki sumber daya politik yang kuat. Pada akhirnya, dia memilih berkompromi dengan banyak pihak untuk memuluskan target-target pemerintahnya.

Jokowi, kata Firman, membayar mahal demokrasi melalui kompromi dengan oligarki dan purnawirawan jenderal, termasuk yang memiliki rekam jejak terkait pelanggaran HAM.

“Jokowi dulunya bukan siapa-siapa, tidak punya uang, sangat bergantung pada oligarki, dan ada kompensasi yang harus dibayar atas itu,” kata Firman.

“Pilihan-pilihan politik dia mencerminkan ketidakmandirian dia sebagai presiden untuk membela demokrasi.”

Jokowi merangkul lawan-lawan politiknya, termasuk Prabowo Subianto

Janji Jokowi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga tidak sepenuhnya terwujud.

Selama era pemerintahan Jokowi, tidak satu pun kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan secara yudisial.

Pemerintahan Jokowi pun mengambil jalan melalui penyelesaian non-yudisial.

Jokowi telah mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, akan tetapi tidak ada permintaan maaf dari negara atas terjadinya peristiwa tersebut.

Ketika Mahfud MD mengundurkan diri secara resmi dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM pada Kamis (01/02), dia mengatakan bahwa penyelesaiannya secara hukum “sangat sulit”.

Mahfud mengeklaim, penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial mendapat pujian dan penghargaan dari Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menurut Mahfud, itu terbukti karena Indonesia tidak lagi disebut oleh PBB sebagai negara yang bermasalah dengan HAM.

Namun hingga saat ini, para keluarga korban masih menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini.

Sumarsih, ibu dari korban Tragedi Semanggi I, mengatakan bahwa penyelesaian non-yudisial yang ditempuh pemerintahan Jokowi “tidak cukup” memberi keadilan atas putranya.

Menurut Sumarsih, “rekonsiliasi tanpa proses pengadilan berarti impunitas bagi para pelaku”.

‘Bapak infrastruktur’

Kendati demikian, para ekonom sepakat bahwa salah satu kebijakan paling menonjol di era Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang lebih masif dibanding era SBY.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj pernah menjuluki Jokowi sebagai “bapak infrastruktur”.

Menurut ekonom dari Universitas Padjadjaran, Arief Anshory julukan itu “memang tidak berlebihan”.

Sejak awal menjabat, Arief menilai Jokowi berani melakukan terobosan untuk menggencarkan pembangunan infrastruktur.

Salah satunya dengan menghapus ketergantungan masyarakat terhadap subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Tidak ada yang berani menghapus subsidi BBM sampai seprogresif yang dilakukan Jokowi, karena ekonomi politiknya rumit,” kata Arief ketika dihubungi.

“Dengan cara itu, dia membuat ruang fiskal yang lebih besar untuk pembangunan dan ini diarahkan oleh Jokowi untuk pengeluaran alternatif, salah satunya infrastruktur,” sambungnya.

Jokowi diklaim berhasil menghapus ketergantungan masyarakat terhadap subsidi BBM yang selama ini membebani APBN.

Menurut Eko Listiyanto dari Indef, Jokowi juga gencar melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta sehingga pembangunan infrastruktur terakselerasi.

Beban pembiayaan yang ditanggung negara pun menjadi terbagi. Dari kebutuhan pembiayaan sebesar Rp6.445 triliun untuk membangun infrastruktur pada 2020-2024, hanya 37% yang ditanggung oleh APBN.

Hasilnya, Indonesia di era Jokowi berhasil membangun 42 bendungan, irigasi untuk 1,2 juta hektare lahan, jalan tol sepanjang 2.143 kilometer, jalan nasional sepanjang 5.700 kilometer, 25 bandara, 8,2 juta rumah, 583 jembatan gantung, 29 pasar, dan lain-lain.

Jumlah pelabuhan di Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari 1.655 pelabuhan pada 2014 menjadi 3.157 pelabuhan pada 2022. Jokowi juga mengembangkan tol laut. Kebijakan-kebijakan ini membantu meningkatkan konektivitas Indonesia sebagai negara maritim.

Data Bappenas menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia pun mulai menurun menjadi 14,29% dari produk domestik bruto (PDB).

Lebih dari 2.000 kilometer jalan tol dibangun di era Presiden Jokowi, termasuk di luar Pulau Jawa

Pencapaian Jokowi lainnya, menurut Indef, adalah pembangunan infrastruktur di desa-desa yang banyak terwujud berkat pembangunan dana desa.

Angka kemiskinan di era Jokowi juga menurun dari 28,51 juta pada 2015 menjadi 25,9 juta pada 2023 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Tetapi, apakah pembangunan infrastruktur itu mampu mengurangi ketimpangan? Baik Eko dan Arief sama-sama mengatakan bahwa hasilnya belum terlihat.

Dengan pembangunan infrastruktur yang jor-joran, tingkat ketimpangan di era Jokowi tidak turun signifikan.

“Infrastruktur yang gencar dibangun seperti jalan tol, lebih berat untuk kelas menengah, sehingga mereka kian produktif dan termanjakan, tetapi kelas bawahnya tidak,” kata Eko.

“Memang ada bantuan sosial untuk kelas bawah, tapi itu hanya mempertahankan daya beli, tapi tidak mendorong lonjakan kelas ekonomi.”

Selain itu, ciri khas Jokowi yang menginginkan pembangunan berjalan cepat melalui penunjukan BUMN serta penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk menerabas hambatan-hambatan yang ada, dinilai justru menimbulkan inefisiensi biaya.

Salah satu contohnya adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung – salah satu proyek mercusuar era Jokowi – yang biaya pembangunannya membengkak sebesar Rp18,36 triliun.

Menurut Eko, itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mencapai target Jokowi sebesar 7% meski pembangunan infrastruktur sudah begitu gencar.

Sejak 2015 hingga 2023, pertumbuhan ekonomi stagnan pada rata-rata 4,12%. Namun perlu dicatat pula bahwa pandemi menjadi salah satu faktor yang turut menghambat.

Arief Anshory bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan ke depannya. Pemicunya, kata dia, adalah regulasi yang tidak efisien dan kualitas institusi pemerintahan yang diabaikan “dengan rusaknya demokrasi dan penegakan hukum”.

Pembangunan infrastruktur era Jokowi juga menimbulkan ongkos sosial seperti konflik agraria hingga pelanggaran HAM.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa proyek strategis nasional (PSN) – yang menjadi jurus Jokowi mempercepat pembangunan – telah menyebabkan 115 konflik agraria dengan luas 516.409 hektar dan berdampak terhadap 85.555 KK pada 2020-2023.

Di antaranya seperti yang terjadi di Rempang, Wadas, dan Air Bangis, di mana warga menentang proyek investasi berselimut PSN.

Pemerintah kemudian meresponsnya dengan mengerahkan aparat yang berujung pada kekerasan dan intimidasi.

Secara umum, jumlah konflik agraria di era Jokowi pun meningkat pesat dibandingkan pendahulunya, SBY.

KPA mencatat terdapat 2.939 konflik agraria pada 2015 hingga 2023. Sedangkan pada era SBY pada 2005-2014, jumlahnya sebanyak 1.520 kasus.

Dalam wawancara dengan BBC pada 2020 lalu, Jokowi mengatakan bahwa “prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu”.

“…Tapi memang bukan saya tidak senang dengan urusan HAM, atau tidak senang dengan lingkungan, tidak, kita juga kerjakan itu,” kata Jokowi kepada wartawan BBC News, Karishma Vaswani.

“Tapi memang, kita baru memberikan prioritas yang berkaitan dengan ekonomi karena rakyat memerlukan pekerjaan. Rakyat perlu ekonominya tambah sejahtera,” tuturnya.

Di balik karpet merah investasi

Selain fokus pada infrastruktur, Jokowi juga begitu mendorong investasi. Salah satunya dilakukan dengan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Bagi pemerintah, UU Cipta Kerja penting untuk menggaet investasi demi menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sebab, Indonesia akan menghadapi bonus demografi yang puncaknya akan dicapai pada 2030, di mana mayoritas penduduknya adalah kelompok produktif.

Jokowi sendiri memiliki target untuk mencapai “Indonesia Emas” pada 2045. Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru ditentang luas.

Eko dari Indef menilai UU tersebut lebih patut disebut sebagai “Undang-Undang Investasi” dibanding “Cipta Kerja” karena “menekan kesejahteraan buruh”.

Sejak UU Cipta Kerja itu disahkan pada 2020 – meski sempat dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi – target investasi di era Jokowi memang terus meningkat hingga hampir dua kali lipat.

Kontributor utama peningkatan investasi asing berasal dari sektor hilirisasi nikel yang didominasi oleh investor China.

Ini juga merupakan salah satu kebijakan yang menonjol di era Jokowi, yang melarang nikel mentah diekspor. Kebijakan ini pun sempat digugat oleh Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Alhasil, penanaman modal untuk pembangunan smelter nikel pun meningkat. Sebuah dokumen ringkas dari Indef menunjukkan bahwa kebijakan ini memang memberi nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Namun di sisi lain, gencarnya eksploitasi nikel turut mempercepat laju deforestasi. Lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat lebih dari 200.000 hektare lahan di Sulawesi Tengah telah menjadi lahan konsesi untuk pertambangan nikel.

Kajian terbaru dari Climate Rights International (CRI) menemukan bahwa hilirisasi industri nikel di Halmahera, Maluku Utara menyebabkan 5.331 hektare deforestasi hutan tropis. Selain itu, sumber air bersih, irigasi, serta laut tempat masyarakat mencari ikan menjadi tercemar oleh limbah.

Pertambangan nikel di Mandiodo, Sulawesi Tenggara menyebabkan air laut tercemar.

Menanggapi dampak lingkungan dan sosial yang timbul, Eko dari Indef mengatakan, “Peningkatan [nilai tambah] itu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.”

Pola investasi semacam ini, menurut dia, merupakan buah dari Undang-Undang Cipta Kerja yang diwariskan oleh Jokowi. UU itu tidak lagi mewajibkan analisis dampak lingkungan (Amdal), sehingga aspek keberlanjutan menjadi salah satu hal yang kian terabaikan.

Hal lain yang juga menjadi catatan Indef, masifnya investasi itu nyatanya juga belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target Jokowi.

“Investasi memang naik, tapi kan yang tidak terlalu memedulikan efek keberlanjutan. Aspek-aspek yang tadinya bisa diseleksi, malah dilonggarkan,” kata Eko.

“Secara nilai, investasi memang naik tetapi kerugiannya ada pada lingkungan, tipe investasinya yang padat modal, dan tidak ramah bagi buruh. Akhirnya investasi bertambah, tapi pertumbuhan ekonomi stuck,” sambungnya.

Sementara itu, ekonom dari Universitas Padjadjaran Arief Anshory menilai gencarnya pembangunan smelter belum berdampak bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

“Bahwa hilirisasi meningkatkan nilai tambah itu betul, tapi apakah menaikkan kesejahteraan? Tidak, karena pembangunan smelter itu padat modal, bukan padat karya,” kata Arief.

Dinasti politik Jokowi

Gong dari semua itu, kata Firman Noor dari BRIN, adalah bagaimana Jokowi dinilai “cawe-cawe” dalam Pilpres 2024.

Salah satu yang paling disorot adalah bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh ipar Jokowi, Anwar Usman, memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka – putra sulung Jokowi – untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden dengan menghapus batasan usia minimum.

Jokowi dinilai berupaya meneruskan ambisi dan warisannya dengan mengestafetkan tampuk kekuasaan kepada putranya yang mendampingi calon presiden Prabowo Subianto – pesaingnya dalam dua pemilu sebelumnya.

Itulah mengapa isu “Jokowi tiga periode” sempat berembus, tetapi kemudian ditentang oleh banyak pihak.

Firman mengatakan pada titik inilah Jokowi yang dulunya dinilai “tidak mandiri secara politik”, terlihat menjadi “king maker” – seseorang atau kelompok yang mempunyai pengaruh besar terhadap suksesi kerajaan atau politik.

“Semakin lama Jokowi semakin berkembang, berani taruh orang demi kepentingan politiknya, sehingga dia disebut sebagai king maker,” kata Firman.

Jokowi dinilai telah melakukan “pengkondisian politik” untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Gestur Jokowi bahkan memperlihatkan bahwa dia tak sejalan dengan partainya, PDI-Perjuangan, yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Beberapa kebijakan Jokowi seperti membagikan bantuan sosial (bansos) pun dituding sebagai bentuk politisasi demi memenangkan Prabowo Gibran.

Hasilnya, Pemilu 2024 dikhawatirkan tak lagi netral. Cawe-cawe Jokowi dan keluarganya pun membuat isu etika politik mewarnai kontestasi kali ini, kata pengamat politik dari BRIN Devi Darmawan.

“Ketika Jokowi masuk ke dalam politik elektoral, bagaimana kita bisa menyatakan pemilu kita bebas nilai dan bebas dari campur tangan kekuasaan tertentu? Ketika presiden menunjukkan keberpihakannya, ini menunjukkan pemilu kita tidak lagi netral,” tutur Devi.

Sementara menurut Firman, semua upaya itu dilakukan Jokowi demi melanjutkan warisan-warisannya. Sebab jika Prabowo-Gibran yang terpilih dengan narasi keberlanjutannya, maka lima tahun ke depan sangat mungkin terasa seperti keberlanjutan pemerintahan Jokowi.

“Jokowi berambisi untuk melanjutkan warisan dia. Dia sangat ingin dikenang dengan proyek-proyek mercusuarnya. Dia juga sangat ingin soft landing, dalam arti tidak ada yang mengganggu dia setelah selesai menjabat,” kata Firman.

Kembali ke Solo, Joko Sugiyarto tak mampu menyembunyikan kekecewaannya terhadap Jokowi.

“Kalau dulu dia lebih memikirkan negara, tapi sekarang lebih memikirkan keluarganya,” tutur Sugiyarto.

Wartawan di Solo, Fajar Shodiq berkontribusi dalam liputan ini
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.