SUMBER GAMBAR, ANTARA FOTO
Keterangan gambar,
Barang bukti sepeda motor yang diamankan di Gudbalkir Pusat Zeni Angkatan Darat (Pusziad) Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (06/01/2024).
Ratusan kendaraan yang diduga sebagai hasil tindak pidana pencurian motor ditemukan di Gudang Balkir Pusat Zeni TNI Angkatan Darat, Sidoarjo, Jawa Timur.
Pakar militer menilai penyalahgunaan fasilitas militer “sebagai sarana kejahatan” menunjukkan ada pengawasan yang tidak berjalan, entah itu disengaja maupun tidak.
Ghufron Mabruri dari Imparsial mendesak agar TNI “mengusut tuntas” kasus ini untuk menjawab bagaimana fasilitas militer mereka menjadi tempat penyimpanan barang-barang hasil kejahatan.
Tiga prajurit TNI tengah diperiksa oleh Polisi Militer Kodam V/Brawijaya sejauh ini. Akan tetapi, Ghufron mengatakan komandan yang bertanggung jawab atas gudang balkir tersebut “juga harus diminta pertanggung jawaban”.
Menurutnya, temuan ini “sangat ironis” dan “mengagetkan” karena “melibatkan aparat pertahanan yang semestinya taat hukum”.
“Karena ini fasilitias militer, tentu tidak bisa dilepaskan dari kontrol dan pengawasan pimpinan di fasilitas tersebut. Kok bisa barang-barang hasil curian dimasukkan ke gudang militer? Itu sesuatu yang harus ditelusuri, jangan-jangan ada pihak lain yang terlibat di situ,” ujar Ghufron kepada BBC News Indonesia, Senin (08/01).
Sejauh ini, TNI AD menyatakan masih menyelidiki sejauh mana keterlibatan para prajurit dalam temuan 215 motor dan 49 mobil di gudang tersebut. Begitu pula terkait motif dan modus yang digunakan dalam kasus ini.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Kristomei Sianturi, menjanjikan “seluruh pihak yang diduga terlibat akan diperiksa dan ditindak”.
“Semua yang terlibat di situ siapa pasti diperiksa, kan ada komandannya juga, masa komandannya tidak tahu. Paling tidak dia berarti tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai komandan, masa apa yang dilakukan anak buahnya dia tidak tahu,” kata Kristomei ketika dihubungi BBC News Indonesia.
Sementara itu, kendaraan-kendaraan tersebut akan dikirim ke Polda Metro Jaya, dan masyarakat yang merasa kehilangan dapat mengecek ke Polda, apakah barang milik mereka termasuk di antara temuan ini.
Bagaimana kasus ini bermula?
Dalam konferensi pers pada Senin (08/01), Panglima Kodam V/Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Rafael Granada Baay mengatakan kasus ini bermula dari laporan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) kepada Polda Metro Jaya.
Dari kasus itu, polisi menetapkan seseorang berinisial EI yang merupakan seorang warga sipil.
Pada Juni 2023, EI meminta bantuan kepada anggota TNI yakni Kopda AS agar dicarikan lokasi penyimpanan kendaraan yang akan dikirimkan ke Timor Leste. Kopda AS merupakan prajurit yang bertugas di Direktorat Peralatan Angkatan Darat, Sidoarjo.
Kopda AS kemudian berkoordinasi dengan Mayor BPR yang bertugas di Gudang Balkir Pusat Zeni Angkatan Barat di Buduran, Sidoarjo.
Pada Kamis (04/01), tersangka EI dibawa ke Sidoarjo dan diminta menunjukkan lokasi penyimpanan kendaraan tersebut.
Dari situ terungkap bahwa ratusan kendaraan tersebut disimpan di gudang milik TNI AD.
Setelah dicek, kendaraan-kendaraan tersebut ternyata merupakan “kendaraan bodong” yang diduga hasil curian.
Selain Kopda AS dan Praka J, TNI juga memeriksa satu anggota lainnya berinisial Praka J.
Rafael mengatakan ketiganya “bukan anggota organik Pomdam V/Brawijaya”.
Gudang Balkir itu sendiri berada di bawah kendali Pusziad. Namun lantaran lokasi kejadiannya berada di wilayah Kodam V/Brawijaya, maka penyidikannya dilakukan oleh Pomdam V/Brawijaya.
Dihubungi terpisah, Kadispenad Brigjen Kristomei Sianturi mengatakan sejauh mana keterlibatan ketiga anggota TNI tersebut masih didalami, “apakah sebagai penadah, penampung atau yang lainnya”.
“Kami akan kembangkan lagi apakah ada sindikat atau jaringan [curanmor]. Kami butuh waktu untuk menyelidiki itu,” ujar Kristomei.
Pengawasan fasilitas militer dipertanyakan
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menduga kasus ini adalah implikasi dari “praktik lazim komersialisasi aset militer” tanpa pengawasan yang jelas.
Menurutnya, ada dua motif yang mungkin melatari komersialisasi aset semacam ini. Pertama, untuk mencari tambahan pendapatan demi keuntungan pribadi, atau yang kedua, demi penggalangan dana untuk kegiatan di lingkup satuan yang tidak terakomodasi oleh anggaran negara.
Terlepas dari apa pun motifnya, Khairul mengatakan patut diduga hal ini terjadi “secara sistematis”.
“Pastinya sulit dibayangkan ini terjadi tanpa izin pimpinan. Jadi perlu dibuktikan apakah pengelola aset ini sejak awal mengetahui yang di gudang itu barang hasil kejahatan atau tidak,” kata Khairul.
Andaipun para prajurit tersebut tidak terlibat langsung dalam sindikat pencurian motor –yang sejauh ini keterlibatannya masih didalami–, Khairul mengatakan bahwa menampung atau menadah barang-barang hasil kejahatan pun sudah termasuk tindak pidana.
Dia juga menambahkan, penting bagi TNI untuk mengaudit dan memeriksa bahwa fasilitas-fasilitas militer lainnya tidak menjadi tempat penyimpanan barang-barang hasil kejahatan.
Sejauh ini, Khairul mengatakan kasus ini adalah yang pertama terungkap ke publik di mana fasilitas militer menjadi tempat penadahan barang hasil kejahatan.
Harapan penyelesaian di peradilan umum
Terkait penyelesaian kasusnya, Imparsial berharap para prajurit yang terlibat dapat diadili di ranah peradilan umum, bukan peradilan militer.
Mengingat kasus yang terjadi merupakan kasus pidana umum, Ghufron mengatakan penyelesaiannya juga semestinya dilangsungkan di peradilan umum.
Selama ini, penyelesaian terhadap kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI digelar di ranah peradilan militer yang dinilai “tertutup, tidak cukup transparan, dan tidak cukup akuntabel”.
“Akhirnya muncul kekhwatiran bahwa proses peradilan yang ada berujung pada impunitas, terutama untuk menutupi keterlibatan pihak-pihak lain dalam dugaan kejahatan tersebut,” ujar Ghufron.
Sementara itu, Kadispenad Kristomei Sianturi mengatakan bahwa peradilan militer tetap menjadi jalur yang digunakan dalam penyelesaian kasus ini, selain pemberian sanksi disiplin. Dia membantah kekhawatiran bahwa peradilan militer disebut “tidak transparan dan tidak akuntabel”
“Hari ini apa sih yang bisa ditutupi? Toh semua hasil peradilannya bisa dicek secara online, bisa dicek hasilnya,” kata Kristomei.
Menambah panjang kasus pidana yang melibatkan TNI
Ghufron mengatakan kasus ini menambah panjang daftar keterlibatan anggota TNI dalam kasus kriminal, meskipun ini merupakan kasus pertama di mana fasilitas militer terungkap ke publik menjadi tempat penyimpanan barang-barang hasil tindak kriminal.
Pada 11 Desember 2023, tiga prajurit TNI divonis penjara seumur hidup karena membunuh seorang warga Aceh setelah berupaya memeras keluarganya sebesar Rp50 juta.
Belum lagi sejumlah kasus pengeroyokan dan penganiayaan yang menyorot profesionalisme aparat TNI beberapa pekan terakhir. Seperti yang terjadi di Manado pada pekan lalu, di mana anggota TNI memukul pengendara motor dari rombongan iring-iringan jenazah.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada September 2023 lalu juga mengakui bahwa terjadi peningkatan kasus kriminal yang dilakukan oleh anggota TNI.
Menurut Ghufron, situasi ini terjadi akibat sejumlah faktor. Mulai dari kesejahteraan prajurit TNI yang dianggap masih buruk sehingga berpengaruh pada profesionalitasnya, serta proses peradilan militer yang tidak menimbulkan efek jera.
“Ini harus menjadi perhatian pemerintah karena berdampak pada banyak hal, termasuk aspek profesionalisme militer,” tutur Ghufron.
“Kalau yang di Sidoarjo ini dugaannya mereka terlibat langsung dalam tindak pidana, pada kasus-kasus lain ada juga yang jadi beking pengamanan di tempat hiburan sampai pusat-pusat ekonomi.”
“Dan dari beberapa kasus yang kami pantau, kecenderungannya seperti itu, motifnya ekonomi dan ini terkait dengan masalah kesejahteraan,” sambung Ghufron.
sumber: bbc