SUMBER GAMBAR, BBC/ LULU LUO
Keterangan gambar,
Seperti kebanyakan orang dari bagian timur laut Thailand yang miskin, Wichian Temthong pergi ke Israel untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.
“Saya beruntung atau tidak?” Wichian Temthong merenungkan pertanyaan ini. “Saya kira saya beruntung, sebab saya masih di sini, masih hidup.”
Pria yang bekerja sebagai buruh tani ini adalah satu dari 23 warga Thailand yang disandera, kemudian dibebaskan Hamas bulan lalu.
Kini pria berusia 37 tahun ini kembali ke negaranya, tinggal di kamar kecil di kota pinggiran selatan Bangkok yang menjadi kawasan industri bersama istrinya, Malai.
Walaupun dia selamat, tapi tiga pria muda Israel yang ditemuinya sewaktu ditahan rupanya tidak selamat. Mereka ditembak mati secara tidak sengaja oleh tentara Israel.
Wichian bertandang ke Israel akhir September silam, seperti kebanyakan orang Thailand dari kawasan miskin di bagian timur laut negara itu, yang mencari nafkah di ladang-ladang Israel dengan harapan gaji lebih tinggi.
Setelah sembilan hari, Wichian ditugaskan di perkebunan alpukat di Kibbutz Kfar Aza.
Pada pagi pertamanya di sana – tanggal 7 Oktober – Wichian terbangun mendengar suara tembakan.
Buruh migran asal Thailand lainnya meyakinkan Wichian, kalau hal ini adalah normal.
Namun seiring dengan tembakan yang makin intens menjelang tengah hari, mereka memutuskan untuk mengunci diri di salah satu bangunan.
Belum selesai menutup pintu bangunan, pria-pria bersenjata sudah mendobraknya, salah satu dari mereka memegang granat.
Mereka mulai memukuli orang-orang Thailand ini dengan popor senapan.
“Saya tengkurap seperti ini dan berteriak ‘Thailand, Thailand, Thailand’,” tutur Wichian seraya menunjukkan bagaimana kedua tangannya diletakkan di belakang kepala.
“Tetapi mereka tetap memukuli saya. Yang bisa saya lakukan adalah tetap menundukkan kepala. Satu orang menghentakkan kakinya kepada saya. Saya merangkak ke bawah tempat tidur untuk bersembunyi.
Saya berusaha mengirim pesan teks kepada istri saya, untuk bilang kepadanya saya diculik, tetapi mereka memboyong saya keluar dengan menarik kaki saya.”
Wichian akhirnya dibawa ke dalam terowongan-terowongan yang terletak jauh di bawah tanah Gaza, dan ditahan di sana selama 51 hari.
Ini adalah cobaan yang menyedihkan, sebab dia satu-satunya orang Thailand di selnya.
Dia tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga hanya bisa berkomunikasi melalui gambar-gambar dan gerakan tangan.
Kondisinya sangat muram. Para sandera hanya diberi makan sehari sekali; terkadang tidak lebih dari sepotong roti dan satu buah kurma kering.
“Ketika saya mengalami stres berat mereka akan datang dan berbincang dengan saya, untuk menenangkan, tetapi saya tidak mengerti mereka.
“Satu-satunya cara saya bertahan adalah dengan memikirkan wajah anak-anak saya, istri saya, dan ibu saya.”
“Saat tidak ada lagi yang bisa dilakukan, saya cuma duduk bersandar ke dinding dan meditasi. Saya terus membatin mengenai hal yang sama berulang-ulang, bahwa saya harus bertahan hidup.”
Wichian mengenang sandera-sandera lain yang disekap bersamanya di dalam terowongan; tiga orang Israel – Yotam, Sammy dan Alon – yang tetap berada di tahanan setelah Wichian dibebaskan, tetapi kemudian ditembak mati tentara-tentara Israel yang gugup setelah mereka keluar dari sekapan dan mengibarkan bendera putih, Jumat lalu.
Wichian baru saja membaca berita tersebut, lengkap dengan foto-foto mereka, ketika kami datang untuk mewawancarainya.
“Setiap hari teman-teman asing saya berusaha untuk saling mendukung satu sama lain. Kami akan berjabat tangan dan adu kepalan tangan.
“Mereka menghibur saya dengan memeluk saya dan menepuk pundak saya. Tapi kami hanya bisa berkomunikasi dengan gerakan tangan.”
Wichian mengetahui bahwa Yotam adalah pemain drum, dan Sammy gemar mengendarai motornya, dan bekerja di peternakan ayam. Wichian berupaya mengajarkan mereka beberapa kata dalam bahasa Thailand.
Dia bercerita dua dari sandera Israel itu sudah disekap bersamanya sejak hari pertama. Yang ketiga bergabung bersama mereka pada 9 Oktober.
Wichian berkisah para penyekap mereka tidak memperlakukan sandera dengan kejam, tetapi dalam beberapa minggu pertama di bawah tanah kadang-kadang mereka dipukuli dengan kabel listrik.
“Kami selalu lapar. Kita hanya bisa menyesap air. Sebuah botol besar harus bisa untuk bertahan empat hingga lima hari, botol kecil untuk dua hari.”
Wichian dalam foto-foto ini bersama istri dan kedua anaknya. Ia mengatakan, akan kembali ke Israel untuk mendapatkan kesempatan menambah penghasilan dan menabung lebih banyak lagi.
Dia benar-benar menderita karena tidak bisa mandi. Mereka diperbolehkan tidur siang hari, tidak pada malam hari. Mereka selalu dalam keadaan lembab – tidak ada yang bisa kering di terowongan bawah tanah.
Wichian menyibukkan diri dengan berusaha membersihkan area tempat hidup mereka. Dia bahkan membantu penjaga-penjaga Hamas yang datang ke dalam terowongan setelah bom menghantam tempat itu.
Satu bulan kemudian, keempat sandera dipindahkan ke terowongan baru. “Sekitar pukul 19.00, mereka membawa kami ke atas. Tapi begitu saya melihatnya, hati ini rasanya ingin lari kembali ke terowongan bawah tanah.
“Anda bisa melihat cahaya terang di mana-mana dari pertempuran udara. Saya mendengar pesawat tanpa awak, terbang dari segala penjuru, dan suara tembakan. Kami harus berlari selama 20 menit, berusaha untuk menghindari pesawat tanpa awak.”
Wichian berujar para penyekapnya mendorong dirinya untuk menghitung hari di sebuah kalender, dan bahkan membawakannya jam, sebab Wichian terus menanyakan waktu kepada mereka.
Akhir dari penderitaan Wichian tiba-tiba saja datang. “Mereka datang menunjuk ke saya dan berkata ‘kamu, kamu pulang, Thailand’.”
Dia melihat sinar mentari siang hari untuk pertama kalinya setelah 51 hari, dan dirinya diserahkan kepada Palang Merah, lalu dibawa melintasi perbatasan ke Mesir.
“Selama saya di bawah sana tidak pernah sekalipun saya meneteskan air mata. Namun begitu saya naik, dan melihat dua orang Thailand lainnya dibebaskan, saya memeluk mereka dan menangis sejadi-jadinya.”
“Kami berpelukan bersama, dan duduk dengan air mata berlinang, bertanya kepada diri kami sendiri bagaimana bisa kami selamat.”
“Begitu saya kembali ke Thailand mereka memberi saya nama baru. Mereka memanggil saya ‘si penyintas’ dan ‘Tuan Banyak Untung’.”
Kendati demikian, Wichian tetap harus membayar utang yang cukup besar – sekitar 230,000 Thai baht (Rp101,9 juta) – untuk membayar ongkos kepergiannya ke Israel. Dia tidak sempat memperoleh penghasilan selama berada di sana.
Jadi, sama seperti istrinya, Wichian mengambil pekerjaan di sebuah pabrik. Gajinya rendah – hanya sekitar 800 baht (Rp354,851) per hari. Mereka tidak bisa menabung banyak. Kedua anak mereka tinggal bersama kakek dan neneknya di kampung halaman mereka di Provinsi Buri Ram.
Wichian sesekali susah tidur, dan terbangun memanggil-manggil ibunya. Tapi, dia mengaku berkeinginan untuk kembali ke Israel, demi kesempatan untuk menambah penghasilan, dan menabung lebih banyak lagi.
sumber: bbc