TIGA PERTANYAAN DARI SERANGAN ISRAEL DI GAZA SELATAN

SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES
Keterangan gambar,
Keluarga korban pengeboman Israel di Khan Younis berduka.

Pertikaian antara Israel dan Hamas, yang telah berlangsung selama dua bulan, merupakan konflik terpanjang serta paling menimbulkan kerusakan di Jalur Gaza sampai sekarang.

Setelah delapan minggu melakukan pengeboman dan melancarkan serangan darat, pasukan Israel mulai bergerak ke selatan sehingga mengakibatkan ratusan ribu orang Palestina harus mengungsi dan hidup dalam kondisi ekstrem.

Pertempuran yang sengit terjadi di posisi pertahanan Hamas baik di utara maupun selatan. Namun, pertikaian yang hingga kini sudah menelan 17.000 korban jiwa di Gaza (termasuk 7.000 anak-anak) menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas, sepertinya masih jauh dari kata akhir.

Diperkirakan ada 137 sandera asal Israel, dari total 245 orang yang diculik Hamas pada 7 Oktober, masih berada di Gaza. Sampai sekarang belum ada kesepakatan untuk membebaskan mereka.

Sejak perang melawan Hizbullah pada 2006, Israel tidak pernah menghadapi konflik yang begitu panjang dan sengit. Karena itu, muncul sederet pertanyaan, apa yang Israel ingin capai pada fase kedua dari serangan ke Jalur Gaza? Siapa yang mengelola Gaza saat perang berakhir? Apa yang akan terjadi selanjutnya?

1. Apa strategi Israel di bagian selatan Jalur Gaza?

Pada 1 Desember, Israel melanjutkan pengeboman-pengeboman dan serangan darat di kawasan utara ke bagian selatan Jalur Gaza.

Gempuran sebagian besar berpusat di Kota Khan Younis karena pasukan Israel meyakini kota itu menjadi tempat persembunyian beberapa petinggi Hamas, termasuk pemimpin sayap politik Hamas, Yahya Sinwar, serta kepala kelompok bersenjata Hamas, Mohammed Deif.

Namun, serangan juga berlanjut di bagian utara yang sudah diduduki tentara Israel, terutama kamp pengungsi Jabalia serta kawasan permukiman Kota Gaza yaitu Zaytoun, Shejaiya, Al-Daraj, dan Al-Tuffah, menurut koresponden BBC Rushdi Abu Alouf.

Menurutnya, perang sudah memasuki “tahap yang lebih kompleks.”

Ratusan ribu orang masih tinggal di area-area ini sehingga angka kematian warga sipil sangat mungkin terus bertambah.

Perang telah memasuki fase baru, akan tetapi, menurut Eitan Shamir, direktur Lembaga Kajian Begin-Sadat, yang berafiliasi dengan Universitas Bar Ilan di Israel, dalam wawancaranya dengan BBC Mundo berkata, “tujuan-tujuannya belum berubah, Israel terus berkeinginan untuk menghancurkan Hamas, petinggi-petingginya, gudang senjatanya, dan membasmi sebanyak mungkin teroris yang bisa ditemukan.”

Akan tetapi, imbuh Eitan Shamir, ada kemungkinan “Israel lebih berhati-hati dalam melakukan pengeboman dibandingkan di utara” karena adanya tekanan dari Amerika Serikat untuk menghindari jatuhnya korban sipil.

Sejauh ini, mereka telah meluncurkan peta online yang kontroversial dan rumit. Dalam peta itu, militer Israel memperingatkan area-area mana yang akan dibom. Namun, menurut organisasi-organisasi hak asasi manusia dan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan di Gaza, sistem ini tidak realistis dan tidak berfungsi.

Bahkan Washington DC tidak teryakinkan.

Ada “kesenjangan”, kata Menteri Luar Negeri AS, Anthony Blinken, antara niat Israel untuk melindungi warga sipil dan “hasil nyata yang kami lihat di lapangan.”

Khan Younis adalah bukti dari pernyataan ini.

Kota itu telah menampung ratusan ribu pengungsi dari kawasan selatan dan juga menampung banyak pasien yang dipindahkan dari rumah sakit-rumah sakit di Kota Gaza.

Rumah sakit-rumah sakit di kota ini sudah kewalahan. Dokter-dokter harus tidur di gubuk-gubuk yang terbuat dari plastik di depan pusat kesehatan dan nyaris tidak bisa makan, seperti yang diutarakan salah satu dokter di rumah sakit Eropa kepada koresponden diplomatik BBC, Paul Adams. Setiap hari mereka hanya menerima beberapa biskuit dan kaleng minuman.

Distribusi makanan, minuman, selimut, dan kebutuhan pokok lainnya menjadi sesuatu yang nyaris mustahil didapatkan. Makanan-makanan langka dan beberapa orang sudah harus membayar US$135 (Rp2,1 juta) untuk sekantong tepung terigu.

Program-program bantuan PBB, seperti disebutkan kepala bantuan kemanusiaan PBB, Martin Griffiths, sudah tidak lagi beroperasi, bukan hanya karena kebutuhan yang diperlukan tidak masuk, melainkan juga kurangnya tempat-tempat yang aman untuk pendistribusiannya.

Ini artinya “Jika Anda berencana untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza sekarang, Anda harus merencanakan kemungkinan pengiriman akan terputus, kemungkinan akan diserang, kemungkinan akan dijarah, kemungkinan akan dihentikan, kemungkinan akan dialihkan, kemungkinan tidak akan berhasil,” ujar Griffiths minggu ini.

Ketika pertempuran mulai beralih ke Khan Younis, militer Israel meminta kepada penduduk untuk berpindah ke Kota Rafah dan sebuah jalur pantai sempit yang telah dirancang Israel sebagai “zona humaniter,” yakni Al Mawasi.

Namun, zona humaniter ini, menurut juru bicara Unicef di Gaza, James Elder, adalah tanah-tanah tandus yang “tidak punya air, tidak ada fasilitas, tidak ada perlindungan dari udara dingin, tidak ada akses pelayanan kesehatan.”

Menurut PBB, sekitar 600.000 orang diperintahkan untuk evakuasi ke selatan. Padahal banyak yang merasakan bahwa tidak ada lagi tempat untuk pergi.

Semua hal mengindikasikan bahwa perang akan berlanjut hingga tahun depan. Sumber-sumber di Amerika Serikat dan Israel memperkirakan bahwa operasi militer Israel akan berlanjut ke tingkat yang paling sengit setidaknya sampai Januari.

Dari situ, menurut analisis Shamir, tahap baru akan dimulai dan ini dapat berlangsung hingga berbulan-bulan ke depan.

“Ini akan menjadi operasi pembersihan, di mana militer akan berusaha memastikan tidak ada lagi perlawanan yang tersisa dan gudang-gudang senjata Hamas ditemukan. Selain itu, ada juga masalah terowongan-terowongan yang sangat rumit, sebab banyak sandera yang mungkin ada di sana.”

2. Siapa yang akan mengelola Gaza setelah perang?

Ini adalah salah satu pertanyaan yang sejauh ini mustahil dijawab.

Israel berulang kali menyatakan di banyak kesempatan bahwa tujuan utama mereka di Gaza adalah untuk memusnahkan Hamas.

Setidaknya dalam beberapa minggu pertama semenjak perang dimulai, otoritas Israel meyakinkan bahwa mereka tidak berniat untuk kembali menguasai Jalur Gaza, kendati fakta bahwa beberapa anggota sayap kanan ekstrem dalam tubuh pemerintahan mempertimbangkan kemungkinan tersebut.

Pendudukan Gaza dari 1967 sampai 2005 begitu merugikan dan tidak populer. Karena itu, sebagaimana dipaparkan koresponden-koresponden BBC di sana, Israel tidak mau mengelola teritori tersebut.

Salah satu opsi yang telah dipertimbangkan pengamat-pengamat internasional adalah Otoritas Nasional Palestina yang mengelola wilayah-wilayah terbatas di Tepi Barat, dan telah dipaksa untuk meninggalkan Gaza setelah konfrontasi yang singkat dan berdarah dengan Hamas pada 2007, bertanggung jawab atas Jalur Gaza.

Akan tetapi, Otoritas Palestina, yang tingkat popularitasnya minim, tidak mau dilihat datang ke Gaza di balik punggung militer Israel. Mereka juga telah menegaskan bahwa untuk memimpin Jalur Gaza harus ada komitmen politik kepada Tepi Barat dan solusi perdamaian global di dalam kerangka dua negara.

Kemungkinan lainnya yang diutarakan berbagai pihak di Israel adalah opsi pihak internasional mengambil tanggung jawab untuk mengelola Gaza.

Akan tetapi, Benjamin Netanyahu minggu ini bersikeras bahwa Gaza harus bersih dari kekuatan militer setelah perang, dan ini adalah sesuatu yang hanya dapat dipercayakan kepada militer Israel.

Menurut Netanyahu, pihak-pihak internasional tidak efektif dalam proses demiliterisasi area-area lain yang menyimpan kekuatan-kekuatan berbahaya terhadap Israel. Ini membuatnya tidak berniat untuk menerima solusi serupa bagi Gaza.

Warga Palestina mendatangi RS Nasser di Khan Younis, bagian selatan Jalur Gaza, setelah Israel melancarkan gempuran udara, pada Jumat (1/12).

Israel, menurut Eitan Shamir, menginginkan jaminan bahwa Jalur Gaza tidak punya potensi ancaman militer, dan mereka akan mempertahankan pasukan mereka di sana selama yang dibutuhkan untuk mencapai hal ini. Tetapi mereka tidak tertarik untuk mengelola kehidupan sehari-hari dari 2,3 juta penduduk Gaza.

“Israel tidak mau harus memastikan anak-anak pergi ke sekolah dan sekolah-sekolah buka jam 8, bahwa sampah-sampah dikumpulkan atau air dijernihkan,” ujar periset Israel itu, yang menambahkan bahwa sulit untuk menjawab siapa yang akan didapuk untuk mengelola Gaza. “Sekarang ini, tidak ada yang tahu.”

Banyak orang mengkritik Israel karena tidak mempersiapkan rencana untuk setelah perang berakhir.

Akan tetapi, menurut direktur Lembaga Kajian Begin-Sadat, “rencana apa pun yang datang dari Israel untuk dilaksanakan pihak lain akan dilihat sebagai sesuatu yang mencurigakan, dan siapa pun yang mengontrol Gaza akan dianggap melakukannya demi memenuhi kepentingan Israel.”

Tugas setelah perang akan beragam dan investasi yang besar akan dibutuhkan untuk kembali membangun Jalur Gaza.

Pada Oktober 2014, setelah perang musim panas berakhir, donor-donor internasional, banyak dari mereka adalah negara-negara Teluk Persia, menjanjikan US$5,4 miliar. Akan tetapi, sebagian besar dari uang itu, tidak dikucurkan.

Kebutuhan-kebutuhan setelah perang terkini akan menjadi lebih besar karena lebih dari setengah rumah-rumah di Jalur Gaza dan sebagian besar infrastrukturnya sudah dihancurkan, walaupun untuk saat ini tidak terdengar janji bantuan rekonstruksi.

Bukan berarti negara-negara Arab mau mengambil beban tanggung jawab untuk pengelolaan Jalur Gaza.

Negara-negara Arab kemungkinan tidak akan mengambil peran tersebut, ujar Nathan Brown, profesor ilmu politik dan isu-isu internasional di Universitas Georgetown, mengingat “mereka tidak pernah mau bertanggung jawab akan Gaza.”

Menurut sang analis dalam publikasi untuk Carnegie Endowment for International Peace, negara-negara Arab juga tidak mau untuk bersatu “untuk menyelesaikan sebuah masalah yang mereka anggap disebabkan oleh kecerobohan pihak lain.”

3. Apa yang dapat terjadi di perbatasan dengan Mesir?

Dengan semakin terpojoknya penduduk Jalur Gaza ke selatan, tekanan terhadap perbatasan dengan Mesir menjadi semakin ekstrem.

Menurut koresponden BBC di Gaza, Adnan El-Bursh, puluhan ribu orang berbondong-bondong ke dalam Kota Rafah, yang telah menjadi kamp pengungsi yang besar. Di sana tidak ada makanan dan pemadaman listrik terus terjadi.

“Tatanan masyarakat di Gaza tengah runtuh,” kata Thomas White, direktur Gaza untuk UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina di Timur Tengah, dalam unggahan di X (sebelumya Twitter).

Menurut White, masyarakat di Jalur Gaza berada di titik “keambrukan total” dan sangat rawan “terutama saat malam hari – beberapa konvoi bantuan dijarah dan kendaraan-kendaraan PBB dilempari batu.”

Transit melalui pos perbatasan Rafah, satu-satunya yang tidak dikontrol langsung oleh Israel walau pembukaannya terkait dengan persetujuan Israel, sangat dibatasi.

Sampai sekarang, warga negara asing dan warga Palestina dengan dua kewarganegaraan dan sebagian orang terluka dapat pergi melalui pos tersebut. Sementara jumlah bantuan kemanusiaan yang masuk jauh di bawah yang dibutuhkan penduduk Jalur Gaza.

Pejabat-pejabat Israel yang berbeda-beda mengisyaratkan dalam beberapa kesempatan bahwa warga Palestina dari Gaza dapat berlindung di Semenanjung Sinai, sesuatu yang Mesir ingin hindari dengan segala cara.

“Salah satu hipotesis yang tengah dipertimbangkan tentang apa yang Israel coba lakukan di Gaza adalah mereka ingin mengosongkan wilayah Jalur Gaza untuk mengolonisasinya dan mendorong populasi menuju Mesir,” ujar Ibrahim Award, direktur Pusat Kajian Migrasi dan Pengungsian di Universitas Amerika di Kairo, kepada BBC Mundo.

PBB memperkirakan 1,8 juta orang dari 2,3 juta orang di Gaza, telah mengungsi.

Awad menggambarkannya sebagai “tragedi dalam tiga babak”: pengusiran tahun 1948, yang dikenal sebagai “Nakba”, setelah proklamasi Negara Israel; pengusiran pada 1967 setelah Perang Enam Hari; “dan sekarang pengusiran dari sisa-sisa warga Palestina.”

Hal ini berarti “sebuah malapetaka kemanusiaan, mengingat Mesir tidak memiliki kapasitas untuk tiba-tiba menerima ratusan ribu orang, tetapi ini juga akan semakin memperumit isu Palestina, sesuatu yang Mesir tidak ingin ambil bagian,” ujar sang profesor.

Pada 2008, kewalahan akibat blokade Israel di Jalur Gaza, militan-militan Hamas meledakkan sebagian dari tembok yang memisahkan Gaza dan Mesir yang membuat ratusan ribu orang Palestina memasuki Sinai untuk membeli makanan, bahan bakar, dan perlengkapan lainnya.

Awad meyakinkan bahwa hal seperti ini dapat terjadi lagi, “tetapi yang penting adalah pada 2008 warga Palestina kembali ke Gaza, mereka tidak mau tetap berada di Mesir. Pertanyaannya sekarang adalah apakah mereka diperbolehkan untuk kembali ke tanah mereka.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.