MEGAWATI SEBUT ‘PENGUASA SAAT INI’ SEPERTI ORDE BARU – TUDUHAN YANG RELEVAN ATAU ILUSI?

SUMBER GAMBAR, ANTARA FOTO
Keterangan gambar,
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri memberikan pidato untuk pembekalan bagi relawan di acara Rakornas relawan se-Jawa di Jakarta, senin (27/11/2023).

Pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyebut penguasa saat ini bertindak seperti Orde Baru merupakan bentuk penegasan kepada Presiden Joko Widodo bahwa mereka sudah berbeda haluan dan pesan bahwa pertarungan telah dimulai, kata pengamat politik.

Pasalnya hingga jelang kampanye Pilpres 2024, hubungan Jokowi dengan PDIP seperti “benci tapi rindu” yakni antara mengkritik tapi masih merasa mantan gubernur DKI Jakarta tersebut bagian dari partai.

Politisi senior PDIP, Andreas Hugo Pareira, tak menyanggah. Namun dia juga menekankan bahwa yang memulai ‘pengkhianatan’ adalah Presiden Jokowi karena mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan merestui putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.

Akan tetapi Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, berkata pernyataan Megawati itu tidak relevan dan ilusi yang bisa menimbulkan perpecahan.

Kepada siapa pernyataan Megawati diarahkan?

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengutarakan kejengkelannya kepada pemerintah yang disebutnya telah bertindak sewenang-wenang menjelang Pilpres 2024 dalam acara konsolidasi relawan pendukung Ganjar-Mahfud MD, pada Senin (27/11).

Tanpa menyebut nama, di hadapan relawan pendukung capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Megawati menyinggung tindakan sewenang-wenang itu seperti intimidasi dan intervensi kepada masyarakat.

Praktik tersebut, kata dia, seperti era Orde Baru.

“Bolehkah kamu menekan rakyat? Bolehkah kamu memerintah apapun juga kepada rakyat tanya melalui perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia ini?” ujar Megawati yang disambung tepuk tangan para relawan se-Jawa di JiExpo Kemayoran, Jakarta.

“Mestinya Ibu nggak perlu ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Karena apa? Republik ini penuh dengan pengorbanan tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?” sambungnya yang diiringi seruan relawan dan teriakan merdeka.

Dalam pidato sekitar 50 menit itu, Megawati juga meminta relawan agar merapatkan barisan dan tidak takut atas indikasi kecurangan yang diprediksi bakal terjadi.

Serta berpesan supaya para relawan bekerja keras memenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam satu putaran di Pilpres mendatang.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan pidato Megawati itu sebetulnya ditujukan untuk membakar semangat dan moral relawan Ganjar-Mahfud MD yang baru saja memasuki masa kampanye.

Tapi selain diperuntukkan bagi relawan, Megawati juga hendak mengirim pesan kepada Presiden Joko Widodo bahwa pertarungan antara dirinya dengan mantan gubernur DKI Jakarta itu telah dimulai.

Karenanya, Megawati akan bertarung habis-habisan supaya menang satu putaran.

“Pesannya jelas PDIP ingin memposisikan diri berbeda dengan Presiden Jokowi karena situasinya kemarin tidak seperti yang diharapkan yakni Jokowi ternyata mendukung calon yang berbeda dari partai,” ungkap Aditya kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/11).

Namun demikian, narasi Megawati yang menyebut pemerintahan Jokowi mirip Orde Baru, menurut pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, juga ingin mempertegas kalau Jokowi yang saat ini berkuasa sudah berbeda dengan sosok yang dahulu didukungnya.

Pembatasan yang jelas itu, katanya, sekaligus menekankan kalau PDIP tak akan lagi menyokong pemerintahan Jokowi.

“Selama ini kan publik memahami PDIP berada di dua kaki, masih di pemerintahan tapi juga mengkritik. Karena memang tidak mudah melepaskan Jokowi lantaran relasi mereka sudah dalam dan panjang.”

“Tetapi kita akan lihat sejauhmana relasi itu akan diputus oleh PDIP dan seberapa berani? Sebab hubungan Jokowi dan PDIP seperti benci tapi rindu.”

Praktik Orde Baru seperti apa yang dimaksud Megawati?

Politisi senior PDIP, Andreas Hugo Pareira, membenarkan bahwa sindiran yang disampaikan Ketua Umum Megawati memang dilayangkan kepada Presiden Jokowi.

Meskipun Jokowi masih resmi menjadi bagian dari PDIP, tapi dukungannya untuk pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran menjadi bukti kalau posisi mereka sudah berseberangan dan itu adalah bentuk pengkhianatan.

Adapun mengenai tuduhan tindakan sewenang-wenang pemerintahan Jokowi seperti era Orde Baru, kata Andreas, merujuk pada dugaan kuat campur tangan Jokowi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.

Kemudian, adanya isu aparat polisi di tingkah bawah mendukung dan memenangkan pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024 – yang kembali mengarah pada Prabowo-Gibran.

“Putusan MK itu satu peristiwa yang kasat mata bentuk intervensi dan menyebabkan Mahkamah Kehormatan MK memutuskan pelanggaran kode etik terhadap Anwar Usman, pamannya Gibran,” imbuh Andreas kepada BBC News Indonesia.

Hanya saja Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, menyebut pernyataan Megawati itu sebagai ilusi yang bisa menimbulkan perpecahan lantaran tidak sesuai fakta.

Sebab salah satu ciri Orde Baru, kata Nusron, adalah pemerintahan dikendalikan oleh satu partai dan adanya mobilisasi aparatur sipil negara agar memilih calon yang sedang berkuasa.

“Sekarang apakah ciri-ciri itu ada dalam diri Pak Jokowi? Tidak ada, kekuasaan ini terdesentralisasi ke berbagai partai. Menko Perekonomian dari Golkar, Menteri PAN-RB dari PDIP,” ucap Nusron seperti dilansir Kompas.com.

Nusron justru kembali menuding PDIP sebagai pihak yang lekat dengan Orde Baru setelah terbongkarnya dugaan keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) agar memenangkan calon tertentu yakni Ganjar Pranowo.

Keterlibatan tersebut merujuk pada adanya pakta integritas yang memuat tanda tangan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat dan mantan Pj Bupati Sorong Yan Piet Moso pada Agustus 2023.

“Kita semua paham itu dilakukan oleh pasangan tertentu bukan oleh Pak Jokowi,” ungkap Nusron.

“Dan kita juga sama-sama tahu bahwa aparatur-aparatur ini juga mempunyai kedekatan dengan siapa.”

Untuk diketahui Kepala BIN, Budi Gunawan, sebelumnya adalah ajudan Megawati saat menjabat sebagai Presiden ke-5 RI.

Politisi Partai Golkar ini justru menilai Megawati sedang gelisah sehingga membuat pernyataan seperti itu. Pasalnya Ketua Umum PDIP tersebut berharap Jokowi bisa menjadi alat partai politik.

“Sehingga statement itu menjadi tidak relevan kalau pada hari ini kekuasaan sekarang dianggap menakuti-nakuti dan mengancam. Ini namanya menyebarkan ilusi yang nanti akan menciptakan psywar.”

Presiden Jokowi dituduh neo Orba sudah sejak 2019

Namun begitu, peneliti pusat riset politik dari BRIN, Devi Darmawan, mengatakan sebutan Orde Baru kepada pemerintahan Jokowi ada benarnya.

Kata dia, sebutan neo Orde Baru kepada Presiden Jokowi sudah disampaikan masyarakat sipil sejak periode kedua pemerintahannya yang mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menolak menerbitkan Perppu KPK.

Peristiwa lain, menurut Devi, merujuk pada tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat menangani demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan Omnibus Law Cipta Kerja.

Hanya saja saat itu beberapa elit PDIP menepis sangkaan itu dan tetap menganggap Presiden Jokowi sebagai kader yang menghormati Megawati serta partai.

“Jadi tuduhan neo Orde Baru sudah keluar di awal tahun 2019 yang digelontorkan pengamat, politisi dari oposisi dan masyarakat sipil lewat pelemahan KPK,” jelas Devi kepada BBC News Indonesia.

“Dikatakan karakter Orde Baru kan ketika adanya permainan dalam penegakan hukum dan demokrasi.”

“Saat supremasi hukum tak bisa ditegakkan dan dimanipulasi melalui sikap Presiden Jokowi, artinya Indonesia sudah mengalami perubahan rezim…”

Penilaian serupa juga disematkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Dalam laporan tujuh tahun pemerintahan Jokowi, YLBHI mengatakan ada sejumlah kebijakan yang mengarah pada gejala Orde Baru.

Pertama terlihat dari kebebasan sipil yang semakin menyempit.

Hal itu nampak dari banyaknya kasus kriminalisasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memakan korban 151 orang.

Dari jumlah itu, korban terbanyak menurut catatan YLBHI adalah petani sebanyak 71 orang dan aktivis atau mahasiswa atau pelajar sebanyak 50 orang.

Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan ke-794 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/11/2023). Dalam aksi untuk memperingati 25 tahun Tragedi Semanggi 1 tersebut JSKK meminta Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2 sebelum masa jabatannya selesai.

Hal lain adalah tindakan pembubaran aksi demonstrasi yang menolak UU Omnibus Law tahun 2020, May Day, dan Hari Pendidikan tahun 2021.

“Tidak hanya pembubaran tidak sah, tetapi juga kekerasan serta kriminalisasi kepada peserta aksi damai,” sebut laporan YLBHI.

Kedua terlihat dari impunitas pelanggaran HAM berat.

YLBHI menilai meskipun penuntasan pelanggaran HAM berat menjadi janji Jokowi sejak periode pertama, tapi hingga tujuh tahun berlalu tak kunjung terjadi.

Apalagi Kejaksaan Agung tak kunjung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.

Padahal menurut UU tentang Pengadilan HAM, Kejaksaan adalah penyidik yang tugasnya mencari serta mengumpulkan bukti dari sebuah tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Selain itu, Presiden Jokowi juga tidak berusaha menjalankan putusan MK untuk membuat kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi begitu ngotot mendorong pengesahan RUU Omnibus Law.

Ketiga terlihat dari kegagalan Jokowi menjadikan institusi polisi sebagai penegak hukum.

YLBHI mengatakan selama pemerintahan Jokowi, Polri menjadi salah satu institusi yang paling banyak disorot karena kecenderungannya sebagai “bumper” kekuasaan untuk membungkam kritik dengan penangkapan sewenang-wenang dan kriminalisasi.

Catatan lembaga ini pada 2019 misalnya, mereka menangani 1.144 orang dengan pengaduan penangkapan secara sewenang-wenang.

Lalu pada tahun 2020 penanganan kasus penangkapan sewenang-wenang meningkat menjadi 3.539 orang.

“Diskriminasi penegakan hukum ini juga terlihat dalam kasus-kasus UU
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.