Penjaga Konstitusi – Entah siapa konsultan politik paslon Prabowo-Gibran, entah siapa yang merancang strategi peperangan paslon pasangan ini. Saya menyebut apa yang mereka lakukan saat ini adalah strategi “Menyebar Paku” di jalan raya.
Saya menduga strategi menyebar paku ini dirancang oleh dua orang, yaitu Prabowo dan Joko Widodo. Kedua orang ini saat ini adalah kombinasi yang cukup meresahkan. Jokowi, dengan tangan dinginnya mampu menggerakkan siapa yang dia kehendaki untuk menghancurkan orang-orang yang melawannya demi mencapai tujuannya. Jokowi pandai dalam mencari celah dan belokan hukum, sehingga sekalipun proses yang dia tempuh tidak etis tetapi tidak melanggar hukum, contohnya putusan MK nomor 90 (dugaan saya, Jokowi ada di balik putusan kontroversial ini).
Sedangkan Prabowo adalah mantan tentara, naluri seorang prajurit melekat di otaknya dan mengalir di dalam darahnya. Dia tahu bagaimana cara memenangkan sebuah pertandingan. Dia tahu bagaimana berjalan sedikit di depan lawan sambil melakukan gerakan-gerakan yang mengganggu dan membuat lawan-lawannya kerepotan.
Kombinasi keduanya dalam merancang strategi adalah kekuatan yang tidak mudah dikalahkan. Mereka melakukan apa yang saya sebut “Menyebar Paku” di jalan raya politik menuju 2024. Untuk bisa melakukan strategi ini mereka harus berada di barisan depan dari pada lawannya. Jokowi, melalui iparnya di MK berhasil melakukan itu. Hal itu menjadi sempurna ketika Jokowi memberikan restu kepada Gibran untuk maju menjadi cawapres Prabowo. Jokowi menempatkan pasangan Prabowo-Gibran di depan pasangan yang lain.
Ketika Prabowo-Gibran sudah mulai melangkah, Ganjar-Mahfud masih sibuk mengurus paku yang disebar dari gedung Mahkamah Konstitusi. Sambil terus melangkah maju, Prabowo-Gibran terus menarasikan kompetisi yang adil, jujur dan terbuka. Mereka terus berteriak kompetisi yang fair, tidak boleh curang dan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mendengar itu, pasangan Ganjar-Mahfud kesal dan membalas, “kalian yang curang, kalian yang melanggar hukum kog kalian juga yang berteriak-teriak untuk jujur dan adil.”
Prabowo-Gibran dengan santai membalas, “Ah kalian ini takut kalah, kalian mulai panik, tidak punya strategi, mulai mencari-cari kesalahan lawan.” Pembelaan yang terus diulang adalah, “biar rakyat yang menilai.” Sebelum berkata demikian, mereka memastikan bahwa rakyat yang menyaksikan pertandingan dengan dekat adalah para pendukungnya. Sehingga ketika mereka berkata “biar rakyat yang menilai” maka rakyat pendukung Prabowo-Gibran lah yang akan ikut berteriak “kami mendukung Prabowo-Gibran.”
Sekalipun MKMK menyatakan ketua MK bersalah, namun putusan batas usia tidak dapat diubah. Itulah hebatnya Jokowi, dia tahu celah dan belokan hukum. Dengan tenang Jokowi bisa berkata, “itu wilayah yudikatif, saya tidak mau berkomentar”. Itu makin membuat pasangan Ganjar-Mahfud dan pendukungnya kesal. Jokowi berhasil mengaduk-aduk emosi lawan. Jokowi membuatnya menjadi sempurna ketika dia tanpa dosa berkata, “Pemilu kali ini terlalu banyak drakornya.” Itu pernyataan rendah dan menjengkelkan karena rakyat waras tahu benar bahwa dia adalah sutradara dari drakor itu.
Jokowi yang membuat drama berteriak jangan terlalu banyak drama, Prabowo-Gibran yang menyebar paku berteriak jangan curang. Kalau Jokowi dan Prabowo konsisten melakukan ini sepertinya mereka akan memenangkan kontestasi ini. Itu dengan catatan kalau rakyat, kaum cendekiawan dan tokoh bangsa tidak melawan. Sampai saat ini Jokowi dan Prabowo masih memegang kendali permainan, tentara, polisi dan aparatur negara dalam kendalinya. Di sisi lain tokoh bangsa dan kaum cendekiawan tidak maksimal melakukan perlawanan.
Kalau pun Prabowo-Gibran menang, ini akan menjadi sejarah politik paling buruk di Indonesia dan tentu akan terjadi banyak hal yang aneh dan sulit di dalam pemerintahan kelak. Bukan tidak mungkin antara Prabowo dan Jokowi (menggunakan Gibran) akan saling serang di tengah jalan pemerintahan mereka dan yang akan menjadi korban adalah Indonesia.
Bagaimana mencegah ini? Secara hukum pasangan Prabowo-Gibran harus dinyatakan tidak memenuhi kualitas sebagai paslon (di diskualifikasi) dari kontestasi pilpres atau secara politik Jokowi dinyatakan bersalah karena telah melakukan intervensi (perlu pembuktian ekstra keras). Kalau kedua cara itu tidak bisa ditempuh, maka pemilih akan memberikan penghakiman di bilik suara. Tentang hal ini saya tidak terlalu yakin, karena mayoritas pemilih lebih senang untuk tegak lurus dengan Jokowi bukan dengan konstitusi, sepertinya Jokowi lebih tinggi dari konstitusi. Kalau kecurangan ini tidak bisa dihentikan, dan kalau mereka menang biarkan mereka berkuasa dan ketika mereka berkuasa maka mereka akan hancur dengan sendirinya karena bertikai di dalam koalisi yang saling cari selamat.
sumber: seword