ADA YANG TAK BERES

B Heri Yulianto – 8 triliun kerugian negara atas BTS 4G itu setara dengan impor sapi RI per tahun. Menurut Jusuf Ateh, Kepala BPKP, nilai kerugian: Rp8.032.084.133.795 (https://www.bpkp.go.id/ 15/05/2023) untuk kasus korupsi BTS 4G sehingga 985 menara mangkrak. Ada sesuatu yang tak beres. Pembaca Seword sudah banyak melihat hasil jarahan kemungkinan mengalir jauh ke partai karena satu tersangka mantan Sekjen Nasdem. Banyak pula yang kebakaran jenggot. Kini waktunya kita menatap ke depan agar uang rakyat tidak disunat.

Maunya kita ingin cepat naik kelas dengan topangan ekonomi digital. Bayangkan jika 8T untuk menaikkelaskan bidang pertanian dan peternakan dengan kualitas lebih baik, tentu akan lebih nyata swasembada pangan dan daging, asalkan impor sapi juga tidak dikorup lagi seperti oleh eks Presiden PKS yang divonis 18 tahun penjara (https://news.detik.com/ 16/11/2021).

Kebetulan penulis banyak diskusi dengan peternak sapi, Pak Siswono Yudo Husodo, mantan Menteri. Kini Indonesia hanya tersedia 18 juta sapi dan kerbau yang tak cukup untuk kebutuhan 271 juta penduduknya. Kelakar Pak Sis, “Karena saking kurangnya sapi, sapi bunting pun ikut dijagal”. New Zealand dengan penduduk hanya 4,5 juta jiwa memiliki sapi 10 juta ekor. Australia dengan penduduk 24 juta jiwa mempunyai sapi 28 juta ekor. Brasil dengan penduduk 210 juta jiwa memiliki 230 juta ekor sapi.

Sudah sekian lama kita menjadi bangsa pengimpor daging dan pangan yang besar. Betapa malunya kita jika impor pangan secara terus-menerus dari tahun ke tahun merangkak naik! Sampai tahun 1970 Indonesia bisa mengekspor sapi dan kerbau, kini kita mendatangkan sekitar 650.000 ekor sapi per tahun dengan nilai 650 juta USD atau setara dengan Rp8.400.000.000.000 (Triliun) dengan nilai kurs 1USD=Rp14.000 (dipatok terendah saja). Bertahun-tahun kita mengimpor beras 2-3 juta ton/tahun. Sejak tahun 2019-2022 kita tidak mengimpor beras umum. Tapi tahun 2021 mengekspor 3.000 ton beras umum, khusus untuk restoran-restoran tertentu.

Dari masalah ini, perlu ada perubahan mendasar di bidang bahan tanam dan lahan pangan. Indonesia kini memiliki sawah kurang lebih 5,5 juta Ha yang dapat ditanami padi dua kali setiap tahun dan kurang lebih 3 juta Ha lahan kering yang dapat ditanami tanaman pangan satu kali setiap tahun. Ratio luas lahan pangan per kapita rakyat Indonesia hanya 480 m2, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras, jagung, ubi dan sayur bagi rakyat. Walaupun APBN sektor pertanian kita kian tambah, tetap saja kita menjadi bangsa importir pangan yang besar, karena luas lahan tanaman pangannya terlalu kecil untuk lebih dari 270 juta penduduk.

Kita dengan penduduk 271.349.889 jiwa (2021) harus bisa mandiri di bidang pangan. Kalau tidak, perkara pangan akan menjadi alat politik negara lain menggoyang kita, dan devisa terkuras untuk impor pangan, yang bisa dipenuhi sendiri. Rusia pernah kejeblos dan dibuat buyar gegara persoalan gandum yang menewaskan 407.000 jiwa pada krisis pangan di tahun 1891. American Review of Review (1892) menggambarkan: negeri Tirai Besi ini telah menjadi bulan-bulanan negara lain. Bahkan seabad kemudian pun masih menjadi olok-olokan! Kasus Rusian ini dapat menjadi pelajaran bagi kita. Maka Indonesia mesti segera memperbanyak ternak, memperluas lahan pangan dan pembenahan di sisi kultural dan legal, antar lain soal waris, bank tanah dan UU Agraria serta teknis budidayanya.

Perlu lebih serius membuka lahan pertanian tanaman pangan baru (food estate) yang luas di luar Jawa. Kenapa? Karena, Pulau Jawa luasnya hanya 7% dari luas daratan Indonesia tetapi sampai kini masih menjadi penyangga 50% pangan nusantara. Sementara lahan pertanian di Pulau Jawa kian hari kian menyusut untuk jalan tol, perluasan kota, industrial estate, real estate dan lain sebagainya yang juga perlu. Setiap tahun seluas 40 ribu hektar lahan pangan Pulau Jawa berubah fungsi. Di Thailand, bagi setiap rakyatnya punya rata-rata 5.000-meter persegi lahan pertanian tanaman pangan. Maka, Thailand bisa menjadi bangsa pengekspor pangan untuk dunia. Setiap rakyat China rata-rata ada 1.000-meter persegi lahan tanaman pangan. Artinya, kita telah lengah, ratio luas lahan tanaman pangan per kapita rakyat Indonesia terus menurun karena penduduknya bertambah sementara lahan pertaniannya kian susut.

Dari hampir 200 juta Ha daratan Indonesia, keseluruhan potensi pertanian yang dimiliki Indonesia luasnya 101 juta Ha. Sisanya untuk kawasan hutan. Areal pertanian yang telah ada menurut BPS luasnya: 47 juta Ha. Lahan cadangan pertanian tersedia 54 juta Ha yang dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang produktif, termasuk perkebunan, atau hutan penghasil kayu yang juga bermanfaat secara ekologis, atau dapat rusak menjadi padang alang-alang atau belukar. Potensi perluasan sawah luasnya 19 juta ha, telah digunakan untuk komoditas lain 9 juta ha, masih tersedia seluas 10 juta ha (terluas di Papua, Kalbar, Kaltim dan Riau) dan potensi perluasan areal pertanian di lahan kering 5,1 juta ha.

Lahan pertanian pangan (+hortikultura) yang ada sekitar 8,5 juta Ha. Dengan pertambahan penduduk 1,3%/tahun diperlukan perluasan lahan pertanian yang luas agar kita dapat swasembada dan menjadi eksportir. Kalau tumbuh 2%/tahun, berarti 170.000 Ha/tahun.

Untuk amannya, Indonesia perlu lahan pertanian tanaman pangan 200.000 Ha/tahun. Untuk dapat segera menjadi negara eksportir pangan tropis, diperlukan perluasan lahan tanaman pangan 300 ribu Ha/tahun. Itupun harus dibarengi dengan mengerem konversi lahan pertanian ke penggunaan lain yang saat ini di P. Jawa sebagai penghasil pangan utama berkisar 40.000 Ha/tahun.

Program tersebut perlu diiringi dengan modernisasi (mekanisasi dan penggunaan teknologi maju di benih, pupuk dan penanggulangan hama) guna meningkatkan daya saing, serta dengan pemilikan lahan per petani yang semakin luas, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pertanian Brazil maju setelah Brazil memberi lahan sekitar 25 Ha/petani, dengan olah tanah menggunakan wheel tractor 50 HP. Dengan peningkatan skala usaha petani Indonesia menjadi 4 Ha/KK disertai modernisasi pertanian, produksi dan produktivitas serta daya saing produk-produk pertanian kita akan meningkat.

Semestinya kita tidak lengah terbuai mimpi karena keenakan tinggal di tanah surga khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi sampai menjadi negara pengimpor pangan selamanya. Potensi dengan luas darataan 1,9 juta Km2, luas lautan 3,11 juta Km2, dengan curah hujan cukup dan sinar matahari sepanjang tahun, justru seharusnyalah Indonesia jadi negara pengekspor pangan. Tentu ada sesuatu yang tak beres. Jika program kesejahteraan pangan tetap dikorupsi, pantaskah koruptor dihukum mati?
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.