Orangutan Sumatra yang berada di ekowisata Bukit Lawang di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
Kawasan Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara dikenal sebagai salah satu objek wisata alam yang ada di pulau tersebut. Kawasan itu juga terletak di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Kini, Bukit Lawang telah menjadi ekowisata unggulan di Sumut.
Ekowisata Bukit Lawang menawarkan sejuta pesona lewat pemandangan alam, flora, dan fauna yang hidup di dalam kawasan konservasi tersebut. Objek wisata alam yang ditawarkan di Bukit Lawang juga beragam mulai dari menyusuri sungai dan trekking di hutan.
Seiring berjalan waktu, kini Bukit Lawang juga menawarkan wisata alam kepada wisatawan lokal maupun mancanegara untuk bisa berinteraksi dengan orangutan Sumatra (Pongo abelii). Tawaran wisata alam untuk bisa melihat orangutan itu berubah sebagai magnet menarik wisatawan mengunjungi Bukit Lawang. Menurut data terakhir pada 1973 sampai 2003, keberadaan orangutan Sumatra di Bukit Lawang diperkirakan mencapai lebih dari 200 individu. Namun belum ada data hingga saat ini.
Orangutan Sumatra yang berada di ekowisata Bukit Lawang di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
Kepala Balai Besar TNGL Mamat Rahma mengatakan orangutan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan itu merupakan spesies semi-liar yang berasal dari kegiatan rehabilitasi.
“Namun ada kalanya juga pengunjung dapat berjumpa dengan orangutan Sumatra liar yang bukan berasal dari kegiatan rehabilitasi,” katanya baru-baru ini kepada VOA.
Kemudian, kekhawatiran pun muncul ke permukaan, akankah aktivitas ekowisata itu menjadi berkah atau malah berubah sebagai ancaman bagi satwa yang sangat amat langka tersebut?
Kekhawatiran muncul seiring dengan semakin banyak wisatawan di wilayah itu yang berpotensi menjadikan spesies endemik Sumatra tersebut bakal terhabituasi atau terbiasa dengan manusia.
“Ada potensi perubahan perilaku orangutan Sumatra yang awalnya orangutan liar menjadi semi-liar karena banyaknya interaksi dengan manusia melalui perjumpaan langsung,” ucapnya.
Sebenarnya orangutan Sumatra di Bukit Lawang sempat memiliki harapan supaya tidak mengalami perubahan perilaku saat pandemi COVID-19 melanda dunia. Saat itu pariwisata di Bukit Lawang seperti mati suri usai terdampak COVID-19.
Wisatawan tak bisa mengunjungi Bukit Lawang apalagi untuk berinteraksi dengan orangutan Sumatra usai ekowisata di wilayah tersebut ditutup oleh pemerintah setempat. Setelah pandemi COVID-19 dinilai telah sedikit mengubah perilaku orangutan lebih alamiah meskipun belum ada kajian khusus.
“Kemungkinan iya karena semakin berkurangnya interaksi manusia dan orangutan Sumatra melalui perjumpaan langsung. Namun sampai saat ini belum dilakukan kajian terhadap ada tidaknya perubahan perilaku orangutan menjadi lebih alamiah ketika berkurangnya kunjungan wisatawan,” ungkap Mamat.
Berdasarkan data dari Balai Besar TNGL pada 2020 tak ada satu pun wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi Bukit Lawang. Namun usai pandemi COVID-19 jumlah wisatawan mulai meningkat. Pada 2021 tercatat tujuh turis asing dan 1.099 wisatawan lokal mengunjungi Bukit Lawang.
Orangutan bermain di pohon di pusat International Animal Rescue di luar kota Ketapang di Kalimantan Barat, 4 Agustus 2016, sebagai ilustrasi.
Kemudian, jumlah pengunjung Bukit Lawang meroket pada 2022 menjadi 5.466 turis asing dan 7.419 wisatawan lokal. Dan pada triwulan pertama 2023, tercatat sudah ada 2.370 turis asing dan 1.288 wisawatan lokal yang mengunjungi ekowisata itu.
“Jumlah kunjungan wisatawan atau turus sejak pandemi COVID-19 hingga tahun 2023 cenderung meningkat,” ujar Mamat.
Melihat begitu meningkat drastisnya jumlah wisatawan ke Bukit Lawang pasca-pandemi COVID-19, Balai Besar TNGL pun melakukan sejumlah upaya agar perilaku orangutan tetap alami tanpa terhabituasi. Upaya tersebut di antaranya menyosialisasikan kepada pengunjung agar menjaga jarak dengan spesies langka tersebut.
“Menjaga jarak dengan orangutan Sumatra ketika berjumpa dan tidak melakukan pemberian makan. Selain itu ke depannya perlu dilakukan pembatasan dan pengaturan pengunjung yang akan masuk ke dalam kawasan TNGL dalam rangka melakukan pengamatan kehidupan liar orangutan Sumatra,” tandas Mamat.
Seekor orangutan betina bernama ‘Kikan’ memakan terong saat jam makan di lokasi rehabilitasi dan reintroduksi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja Lestari, sebagai ilustrasi.
Ancaman mulai dari terhabituasi dengan manusia hingga penularan penyakit turut menghantui orangutan Sumatra Bukit Lawang ketika wisatawan hadir di tengah-tengah mereka. Hal itu diungkapkan ahli orangutan dari Universitas Nasional, Dr Jito Sugardjito.
“Itu buruknya kalau orangutan sudah terhabituasi dengan manusia. Dia (orangutan) sudah terbiasa, artinya tidak aneh lagi dengan manusia. Sehingga saat orangutan jumpa manusia dia bisa turun. Bahayanya macam-macam, bisa penularan penyakit atau zoonosis. Itu yang paling bahaya. Jadi ada penyakit yang diidap orangutan bisa menular ke manusia dan sebaliknya. Jika sudah menular ke orangutan. Dia menular ke populasi (orangutan) liar itu lebih gawat,” katanya kepada VOA.
Jito berpendapat dibutuhkan suatu tata kelola yang baik demi seimbangnya konservasi orangutan dan pariwisata, khususnya di Bukit Lawang. Salah satunya dengan membatasi jumlah wisatawan yang ingin melihat orangutan.
“Harus ada pembatasan pengunjung. Itu tidak boleh semaunya. Sekarang ini cenderung sebanyak mungkin datang, itu mengganggu orangutan,” ucapnya.
Adanya pembatasan jumlah wisatawan di ekowisata itu tentu berdampak baik bagi orangutan, meskipun kebanyakan dari mereka merupakan hasil dari kegiatan rehabilitasi. Namun pembatasan jumlah pengunjung tersebut setidaknya turut membantu orangutan untuk kembali ke sifar alaminya.
“Keputusan (orangutan) untuk liar kembali seperti di Bukit Lawang itu diserahkan kepada individu orangutan itu sendiri. Tapi kadang-kadang orangutan yang sudah kembali liar balik lagi ke feeding site. Karena bisa jadi di hutan paceklik atau tidak ada makanan. Dia ingat pernah dikasih makan di feeding site, nah dia bisa kembali ke situ,” ujar Jito.
Jito juga tak menampik jika pariwisata menjadi salah satu sektor tambahan pendapatan negara. Maka ekowisata di Bukit Lawang harus tetap mengedepankan edukasi yang bertujuan baik untuk orangutan maupun para pelaku wisata.
“Stasiun rehabilitasi seperti di Bukit Lawang harus disiplin. Kunjungan dan jumlah dibatasi. Ditekankan fungsi kunjungan itu untuk edukasi. Jadi supaya tidak mengganggu orangutan,” ungkapnya.
Orangutan Tapanuli bersama bayinya di Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, Sumatera Utara. (James Askew/Program Konservasi Orangutan Sumatera via AP)
Peneliti sekaligus dosen lingkungan dan kehutanan Universitas Sumatra Utara (USU), Onrizal, menjelaskan jalan panjang Bukit Lawang yang berubah menjadi ekowisata. Pada awalnya Bukit Lawang merupakan tempat rehabilitasi orangutan sejak 1973. Lalu, sejak 1991 kawasan itu menjadi tempat pengamatan orangutan Sumatra.
“Awalnya dahulu tahun 1972-1973 Bukit Lawang dijadikan sebagai salah satu pusat rehabilitasi orangutan misalnya hasil sitaan dan sebagainya agar bisa dilepasliarkan. Setelah pusat rehabilitasinya ditutup. Di sana nanti ada tempat pengamatan orangutan termasuk di sana adalah dahulu tempat pemberian makan (feeding side) orangutan di Bukit Lawang yang juga menjadi objek wisatawan,” jelasnya.
Kemudian, setelah berdasarkan hasil evaluasi dengan ketersediaan pakan di Bukit Lawang. Maka didapatkan bahwa hutan menyediakan pakan yang cukup untuk orangutan Sumatra hingga feeding side tersebut ditutup.
“Satu fungsi yang lain adalah memang Bukit Lawang sebagai taman nasional juga sebagai ekowisata. Ini harus diperhatikan, jadi nanti ada batasan di sana apa yang boleh dan tidak agar kegiatan ekowisata tidak mengganggu orangutan,” kata Onrizal.
Demi menjaga perilaku orangutan Sumatra di Bukit Lawang tetap alamiah dan tidak terhabituasi dengan manusia, Onrizal menyarankan diberlakukan kuota wisawatan per hari.
“Pertama perlu ditetapkan berapa jumlah maksimum pengunjung per hari, termasuk pembagian per kelompok itu berapa maksimal. Kedua, perlu adanya edukasi apa yang boleh dan tidak bisa dilakukan selama berkegiatan di habitat orangutan misalnya tidak boleh ada kegiatan pemberian makanan. Apa contohnya? Nah itu sebelum masuk kawasan dicek bahwa tidak ada yang membawa makanan,” ucapnya.
Selanjutnya, para pemandu di ekowisata Bukit Lawang juga harus diberi edukasi terkait ancaman perubahan perilaku orangutan Sumatra yang bisa terhabituasi akibat interaksi dengan manusia.
“Saya kira itu sangat amat penting sehingga orangutan tidak terhabituasi. Itu hal-hal penting yang perlu diperhatikan agar nanti kegiatan ekowisata tidak mengancam konservasi orangutan,” pungkas Onrizal.
Seorang polisi hutan mengamati populasi orangutan di hutan hujan ekosistem Leuser, yang sebagian besar wilayahnya berada di Provinsi Aceh.
Hal senada juga disampaikan Suci Utami dari Forum Konservasi Orangutan Indonesia (Forina). Menurutnya orangutan liar yang berada di Bukit Lawang juga berpotensi terhabituasi dengan hadirnya wisatawan. Apalagi orangutan Sumatra dinilai lebih sosial dibandingkan jenis lainnya. Tentu itu akan menjadi efek berantai yang bisa merugikan orangutan.
“Kalau orangutan bekas rehabilitasi sudah biasa dengan manusia. Jadi dia tetap akan cari manusia di saat dia membutuhkan makanan. Yang menjadi parah selain perilakunya berubah, orangutan liar itu dikhawatirkan juga nantinya akan ikut (terhabituasi -red). Jadi turut berdampak yang liar juga,” ungkapnya.
Suci menjelaskan orangutan yang telah terhabituasi tentu akan mengalami perubahan perilaku. Salah satu perubahan perilaku tersebut yakni orangutan Sumatra yang terhabituasi bakal menyentuh permukaan tanah. Padahal ancaman kesehatan dapat menyerang orangutan apabila satwa langka itu menyentuh permukaan tanah.
“Parasit itu ada di permukaan tanah. Otomatis yang sering turun ke tanah akan punya parasit lebih banyak dan itu berkaitan dengan kesehatan,” jelasnya.
Salah satu dari 9 (sembilan) orangutan Sumatra yang berhasil dipulangkan dari Malaysia (courtesy: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Kemudian, berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan Forina, kata Suci, orangutan Sumatra liar biasanya akan mengalami stres ketika bertemu dengan manusia.
“Mereka sebenarnya bisa stres walaupun yang sudah terhabituasi kami belum mengetahuinya. Tapi yang liar pasti kadang kala juga bertemu, itu mereka stres dari hasil riset kami orangutan yang liar. Kalau kita mengikuti mereka untuk riset dengan menaati peraturan itu hari pertama dan kedua masih ditemukan hormon stres pada urinenya,” ungkapnya.
“Makanya kami punya aturan kalau sudah mengambil data satu orangutan. Orangutan harus tidak boleh diikuti untuk sebulan ke depan. Supaya orangutan enggak stres,” Suci menambahkan.
Keseimbangan antara konservasi dengan ekowisata di Bukti Lawang sebenarnya bisa dilakukan tanpa merugikan orangutan dari adanya aktivitas pariwisata tersebut. Apalagi di wilayah ekowisata Bukit Lawang telah memiliki prosedur operasional standar (SOP) yang harus dipatuhi oleh para pelaku wisata demi melestarikan orangutan yang berada di wilayah tersebut.
“Makanya jumlah (wisatawan) juga harus diatur dan itu komitmen karena SOP sudah ada. Bukit Lawang itu yang pertama buat SOP untuk pengunjung,” tandas Suci.
Orangutan Sumatra merupakan salah satu jenis satwa liar dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, orangutan Sumatra berstatus critically endangered atau spesies yang terancam kritis dan termasuk appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
Spesies yang saat ini hanya bisa ditemukan di provinsi-provinsi bagian utara dan tengah Sumatra ini kehilangan habitat alaminya dengan cepat karena pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman serta pembalakan liar. Saat ini terdapat 13 kantong populasi orangutan di Sumatra. Dari jumlah tersebut, kemungkinan hanya tiga kantong populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri dari 250 lebih individu.
Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan kehilangan 10-15 persen habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan berkurang dengan cepat. Menurut IUCN, selama 75 tahun terakhir, populasi orangutan Sumatra telah mengalami penurunan sebanyak 80 persen. Di Indonesia sendiri terdapat tiga jenis yakni orangutan Sumatra, orangutan Tapanuli, dan orangutan Kalimantan. [aa/ah]
sumber: voa