Widodo SP – Seorang teman menulis di status WhatsApp (WA)-nya mengenai keinginan pribadinya untuk mendidik anaknya agar kelak menjadi “manusia”, tak hanya menjadi “orang”. Begini selengkapnya:
“Dari kecil seorang anak dididik sebaik mungkin agar kelak besar nanti bisa menjadi orang. Kalau saya, akan mendidik anak agar besar nanti menjadi manusia. Manut Kersaning Allah.”
Sepintas terlihat tak ada bedanya, antara menjadi “orang” atau “manusia”, terlepas dari bagian terakhir isi status WA tadi, yang tampaknya berkaitan dengan singkatan “MANUt kerSanIng Allah”, dimana setiap huruf kapitalnya kalau disatukan akan menjadi MANUSIA.
Tujuan didikan agar kelak seorang anak diharapkan menjadi “orang”, yang saya pahami kerap kali mengarah pada karir atau jabatan yang baik, sehingga kelak bisa hidup enak, nyaman, dan aman secara materi. Kalau perlu materi yang ada bisa mencukupi tujuh keturunan, itu pun masih sisa.
Faktanya memang ada jabatan tertentu yang kerap kali menjadi sasaran orangtua, agar kelak dapat menjadi terpandang di masyarakat karena anaknya “sudah menjadi orang” , yang bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga.
Memang tidak sepenuhnya salah, tetapi akan sangat berbahaya jika dalam tahap pengejaran status sosial sebagai orang tadi, seseorang mulai mengabaikan pentingnya menjadi “manusia”, yang dapat memanusiakan sesama, atau bertindak dalam batas-batas kewajaran sebagai manusia.
Ya, baru saja negeri ini disajikan oleh para oknum ciptaan Tuhan yang bertindak seperti bukan manusia lagi demi kepentingan atau alasan, yang kalau dipikir secara mendalam … memang tidak seperti manusia.
Masa’ kalau manusia, si pelaku tega bertindak tidak manusiawi semacam itu, yang tega melakukan aksi lekerasan di luar batas terhadap manusia lain, sampai terkapar tak berdaya dan harus berjuang melawan incaran maut?
Ada lagi belakangan ingin, dimana ada kelompok orang yang tanpa sadar sudah berperilaku seperti bukan manusia dengan mengatasnamakan agama atau keyakinan yang dianutnya. Masa’ kalau manusia, tega berlaku barbar kepada manusia lain, setuju dengan aksi menghilangkan nyawa (karena darah orang lain dinyatakan halal buat ditumpahkan, bahkan sampai merampas hak untuk beribadah, yang dijamin oleh negara?
Miris, tetapi itulah fakta hidup di negeri ini. Demi fanatisme buta, entah bagaimana target “menjadi orang” bisa membuat seseorang malah lupa berupaya menjadi manusia normal. Jika seorang manusia itu harus makan untuk hidup (supaya punya kekuatan dan otaknya bekerja dengan optimal), eh yang “bukan manusia” akan berprinsip “hidup untuk makan”, yang terkadang bisa mengarah pada hal-hal yang memuaskan diri, ego, dan kepentingan pribadi … sampai tega “makan” orang lain dengan kejam.
Bagian terakhir, masih dari status WA yang sama, soal *manut kersaning Allah”, tampaknya harus menjadi upaya seumur hidup, agar kita.dapat menjadi manusia normal. Percayalah, orang yang beneran “mengenal Allah” itu, hidupnya akan semakin menjadi manusia. Namun, kalau yang abnormal itu, merasa dekat dengan Allah, biasanya malah kerap melakukan tindakan nyeleneh, sampai orang bisa berkata:
“Itu orang sebenarnya manusia bukan sih?”
Begitulah kura-kura…
sumber: seword