MEMBAYANGKAN CALEG-CALEG DAERAH BERTARUNG PEMIKIRAN DAN IDE, APA MUNGKIN

Indra Seword – Perdebatan tentang penetapan antara sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup untuk 2024 ini cukup menarik jika dilihat dari segi yang selain untuk menekan biaya politik, juga menarik dari sudut pertarungan ide dan gagasan.

Yaitu pertarungan ide dan gagasan antara sesama caleg dalam satu partai, maupun grand desain pemikiran dari partai yang ditawarkan ke publik. Yang kemudian oleh masing-masing caleg, diterjemahkan sesuai kepandaian mereka.

Mendengar cerita Budiman Sudjatmiko manakala ia kampanye untuk nyaleg di DPR RI, yang menawarkan kepada rakyat suatu gagasan untuk membuat UU Desa, itu sebenarnya di dalam fikiran saya, sungguh sulit untuk masuk akal.

Sebab mengingat kebiasaan saat pemilu, kita belum siap dengan hal yang dilakukan Budiman, apalagi di daerah-daerah yang masih kental dengan budaya geliat feodalisme dalam menentukan pilihan.

Selain itu juga tentang uang yang diberikan oleh calon kepada pemilik suara, melalui tim-tim yang dibentuk bahkan sampai tingkat RT. Artinya jika pertarungan ide dan gagasan dipaksakan oleh calon maka bisa dipastikan, kekalahan akan diterimanya.

Begini, untuk membuat orang faham atau mengerti sepakat dengan tawaran yang berbentuk ide dan gagasan, itu butuh waktu. Itu masih membuat mengerti. Belum membuat sepakat dan kemudian menentukan pilihan.

Karena membutuhkan waktu yang lama dan proses tahapan pertemuan yang intens, akan sangat mudah dikalahkan oleh jejaring uang dengan memanfaatkan kecenderungan feodalisme di masyarakat.

Disitulah sebab saya sulit menerima cara Budiman dalam berkampanye, atau entah dengan cara atau metode bagaimana ia menawarkan ide untuk kampanye seperti itu, yang mungkin saja saya tidak sampai akal untuk menerkanya.

Saya hanya menangkap kalimat yang seperti itu dan memaknainya sajauh jangkauan alam berfikir saya, kemudian, membayangkan jika hal itu dilakukan oleh caleg-caleg daerah. Apa mungkin itu bisa ditiru?

Oke kita bicara tentang karakter masyarakat juga, bahwa setiap daerah yang namanya melek huruf, melek teknologi, melek akses politik, melek media sosial itu berbeda-beda. Sehingga daya penerimaannya juga berbeda-beda.

Jika memang ide bisa dipertarungkan dalam proses pencarian dan pengumpulan suara, lantas bagaimana caranya, jika hanya sekedar membayangkan saja itu sudah mustahil.

Maka memang sepertinya, sistem pemilu proporsional tertutup perlu juga untuk diterapkan, agar dinamika demokrasi kita lebih berbobot dan berdaya intelek daripada sekedar berdaya intrik-intrik.

Selain itu, dalam hal ini partai politik akan benar-benar menjalankan kaderisasi dan menghargai kader, tidak kemudian menjadi sebuah partai yang sekedar menjadi kendaraan politik, yang kesaktiannya hanya pada stempel rekomendasi sebagai pengusung atau pendukung paslon.

Jadi yang diketahui rakyat, itu hanya nama dan citra partai, tentang orang-orang partai itu siapa dan bagaimana, itu urusan nomer 2. Toh dalam prakteknya juga sulit dibilang kalau didalam partai itu ada demokrasi.

Rahayu…
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.