SUMBER GAMBAR,RAMI ALSAYED/GETTY
Keterangan gambar,
Akibat gempa yang mengguncang Jenderes, Suriah, satu keluarga bertahan di depan rumahnya yang roboh, 14 Februari 2023.
Tenda-tenda pengungsi berdiri sangat dekat di dinding perbatasan Turki dan Suriah, mereka nyaris bisa menyentuhnya.
Mereka yang berada di Suriah saat ini bisa saja terlantar akibat perang saudara yang telah berlangsung lebih dari satu dekade di negara itu. Namun, mereka bisa juga merupakan penyintas gempa. Bencana kemanusiaan bagitu tumpang tindih di Suriah.
Gempa bumi, yang tidak dibatasi oleh perbatasan internasional, telah membawa malapetaka pada dua negara, yakni Turki dan Suriah. Meski begitu, di Suriah, bantuan internasional telah terganggu oleh pos-pos pemeriksaan.
Di Turki Selatan, ribuan petugas penyelamatan dengan peralatan pengangkat beban berat, paramedis, dan anjing pelacak telah memenuhi jalanan dengan tujuan mencari korban-korban yang selamat.
Tetapi, di wilayah barat laut Suriah yang dikuasai oleh oposisi, fenomena seperti itu sama sekali tidak terjadi.
Saya baru saja melewati perbatasan setelah tinggal di Kota Antakya, Turki selama empat hari, di mana penyaluran bantuan begitu ramai.
Bunyi sirene ambulans berdengung sepanjang malam, puluhan pengerek tanah mesinnya mengaum dan mengoyak beton 24 jam sehari.
Sementara di antara kebun-kebun zaitun di Desa Bsania, Provinsi Idlib di Suriah, yang ada hanya kesunyiaan.
Rumah-rumah di area perbatasan ini masih baru dibangun. Sekarang, lebih dari 100 rumah musnah hingga tinggal pecahan-pecahan dan debu putih, bagaikan hantu yang melayang-layang di atas tanah pertanian.
Saat saya memanjat sisa-sisa desa yang berkapur, saya melihat celah di tengah reruntuhan. Di dalamnya terdapat kamar mandi berubin merah muda yang masih utuh sempurna.
Gempa tersebut telah menelan rumah Abu Ala’, dan merenggut nyawa kedua anaknya.
Abu Ala’ telah menguburkan putri dan putranya yang masih remaja.
“Kamar tidur saya di sana, itu rumah saya,” ia menunjuk ke arah tumpukan puing-puing.
“Istri saya, anak perempuan saya, dan saya sendiri saat itu sedang tidur di sini. Wala’, berusia 15 tahun, sedang berada di ujung kamar dekat balkon (saat gempa).
“Sebuah buldoser berhasil menemukannya, [maka] saya mengambilnya dan menguburkannya.”
Di dalam kegelapan, Abu Ala’ dan istrinya berpegang erat pada pohon-pohon zaitun di tengah gempa-gempa susulan yang mengguncang lereng bukit.
Pasukan Pertahanan Sipil Suriah, dikenal dengan sebutan Helm Putih dan beroperasi di daerah yang dikuasai oposisi, berusaha melakukan evakuasi semampunya dengan menggunakan beliung dan linggis.
Para penyelamat, yang menerima dana dari pemerintah Inggris, kekurangan peralatan penyelamatan modern.
Abu Ala’ tak kuat menahan kesedihannya saat menceritakan pencarian putranya yang berusia 13 tahun, yang bernama Ala’.
“Kami terus menggali sampai sore esok harinya. Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada para pria itu. Mereka melewati neraka untuk menemukan anak laki-laki saya.”
Dia menguburkan anak laki-laki itu di samping saudara perempuannya.
Bsania bukan tempat yang maju atau kaya, tapi itulah rumah mereka.
Desa itu dipenuhi deretan gedung apartemen modern, dengan balkon menghadap pedesaan Suriah hingga ke Turki.
Abu Ala’ menggambarkannya sebagai komunitas yang berkembang. “Kami memiliki tetangga-tetangga yang baik, orang-orang baik. [Mereka] sudah tewas sekarang.”
Abu Ala’, pria yang sangat religius itu, kini merasa tersesat.
“Apa yang harus saya lakukan?” dia bertanya. “Tidak ada tenda, tidak ada bantuan, tidak ada apa-apa. Kami tidak menerima apa-apa selain belas kasihan Tuhan sampai sekarang. Dan saya di sini dibiarkan berkeliaran di jalanan.”
Saat kami hendak pergi, Abu Ala’ bertanya apakah kami punya tenda. Tetapi kami tidak membawa apa-apa yang bisa diberikan kepadanya.
Kota Bsania dulunya merupakan komunitas kecil tapi terus berkembang.
‘Komunitas internasional tangannya berlumuran darah’
Saya bertemu dengan kelompok Helm Putih, yang kami pikir sedang sibuk mencari orang-orang yang selamat. Tetapi kini, sudah terlambat.
Ismail al Abdullah, lelah dari upaya pencariannya, menggambarkan situasi ini sebagai pengabaian dunia terhadap rakyat Suriah. Dia mengatakan komunitas internasional sekarang tangannya berlumuran darah.
“Kami berhenti mencari orang selamat setelah lebih dari 120 jam berlalu,” kata dia. “Kami berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan warga kami, tapi kami tak mampu. Tidak ada yang mendengarkan kami.
“Sejak satu jam pertama kami menyerukan tindakan mendesak, untuk bantuan mendesak. Tidak ada yang merespons. Mereka hanya mengatakan, ‘Kami bersamamu’, itu saja.
“Kami mengatakan kami perlu peralatan. Tidak ada yang merespons.”
Selain beberapa dokter asal Spanyol, tidak ada tim bantuan internasional yang datang ke bagian Suriah ini. Daerah ini adalah kantong perlawanan dari pemerintahan Bashar al-Assad.
Di bawah perlindungan Turki, wilayah itu dikendalikan oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok Islam yang pernah berafiliasi dengan al-Qaeda.
Kini, kelompok itu telah memutuskan hubungan tersebut, tetapi hampir semua pemerintah tidak memiliki hubungan dengan mereka.
Sepanjang waktu kami di Suriah, orang-orang bersenjata, yang tidak ingin direkam, menemani kami dan berdiri di kejauhan.
Lebih dari satu dekade setelah perang sipil terhenti di Suriah, sebanyak 1,7 juta orang yang tinggal di daerah ini terus menentang pemerintahan Presiden Assad.
Mereka tinggal di perkemahan darurat dan tempat penampungan yang baru dibangun. Sebagian besar telah mengungsi lebih dari satu kali, sehingga kehidupan di sini sudah sangat sulit bahkan sebelum gempa.
Bantuan internasional yang sampai ke wilayah ini sangat minim.
Tenaga kesehatan di Suriah kekurangan orang
Kebanyakan dari korban gempa dibawa ke rumah sakit Bab al-Hawa, yang didukung oleh Organisasi Medis Amerika-Suriah.
Mereka menangani 350 pasien setelah gempa terjadi, kata ahli bedah umum Dr Farouk al Omar kepada saya. Semua perawatan dilakukan hanya dengan satu alat ultrasonografi.
Saat saya bertanya tentang perihal bantuan internasional kepadanya, dokter itu hanya menggelengkan kepala dan tertawa.
“Kami tidak bisa membicarakan lagi topik itu. Kami sudah banyak menyuarakan itu. Tetapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dalam kondisi normal, kami tidak memiliki jumlah petugas yang cukup.
“Bayangkan saja bagaimana kondisi nantinya seperti apa setelah gempa,” ujar sang dokter.
Di ujung koridor, seorang bayi mungil berbaring dalam inkubator. Bayi itu Mohammad Ghayyath Rajab. Kepalanya memar dan diperban, dan dadanya yang kecil naik turun berkat alat bantu pernapasan.
Para dokter belum bisa memastikan, tetapi mereka memperkirakan umur bayi itu sekitar tiga bulan.
Kedua orang tuanya tewas dalam gempa bumi, dan seorang tetangga menemukannya menangis sendirian dalam kegelapan di reruntuhan rumahnya.
Kondisi Kota Harem, di Suriah setelah gempa
Di Kota Harem, anak-anak mengangkat bebatuan.
Penduduk Suriah mengatakan mereka telah berkali-kali dilupakan, dan mereka memberitahu saya bahwa mereka sudah terbiasa diabaikan. Tetapi masih ada perasaan marah karena tidak ada bantuan tambahan yang datang.
Di Kota Harem, Fadel Gahab telah kehilangan tante dan saudaranya.
“Bagaimana bisa PBB hanya mengirim 14 truk pembawa peralatan pertolongan?” ia bertanya. “Kami tidak menerima apa-apa di sini. Orang-orang terlantar di jalanan.”
Sekarang sudah bertambah jumlah bantuan yang masuk ke Suriah, tapi masih kurang dan terlalu sedikit, terlalu terlambat.
Dengan tidak adanya tim penyelamat internasional di Harem, anak-anaklah yang memindahkan puing-puing.
Seorang pria dan dua anak laki-laki menggunakan pendongkrak mobil untuk memisahkan sisa-sisa bangunan runtuh, dengan hati-hati memindahkan pakan ternak ke dalam selimut.
Hidup tidak lebih hemat di Suriah, tetapi lebih genting.
Hari itu sudah sampai pada penghujung dan saya harus pulang. Saya melewati perbatasan kembali ke Turki dan tak lama kemudian terjebak kemacetan yang dipadati ambulans dan peralatan konstruksi.
Kemacetan itu lahir dari ramainya respons dari dunia internasional maupun pihak nasional.
Ponsel saya berbunyi dengan pesan dari penyelamat Turki yang memberi tahu saya bahwa timnya menemukan seorang perempuan hidup setelah 132 jam terkubur di bawah rumahnya.
Sementara di Suriah, saat langit berubah menjadi gelap, hanya ada keheningan.
sumber: bbc