PENGAMAT: PEMILU PROPORSIONAL TERTUTUP BOLEH, TAPI TERBUKA MASIH LEBIH BAIK

Ilustrasi – Bendera partai politik saat kampanye terbuka di Pemilu 2019. (ANTARA/Ampelsa)

Jakarta, Gatra.com – Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana ikut berkomentar terkait kisruh adanya kemungkinan dijalankannya kembali pemilu dengan sitem proporsional tertutup.

Aditya meyakini bahwa pada satu sisi, pergantian sistem pemilu tersebut diperbolehkan. Namun, perubahan sistem pemilu ini harus berdasarkan pada kajian yang mendalam.

“Dan berlangsung secara konstitusional yaitu melakukan revisi Undang-Undang (UU) di ranah parlemen,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima pada Jumat (30/12).

Menurutnya, dalam banyak pengalaman dan literatur kepemiluan, perdebatan tentang pergantian sistem pemilu yang diimplementasikan di sebuah negara adalah hal lumrah dan dapat dilakukan. Hal ini tentu terjadi dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lainnya.

Aditya juga mengingatkan bahwa terdapat fenomena yang disebut yudisialisasi politik, di mana judicial review sebuah UU dapat dilakukan di ranah lembaga yudikatif, bukan legislatif. “Lembaga yudikatif seperti MK ternyata memiliki kewenangan dan pengalaman dalam merubah prosedur, skema, ataupun beberapa substansi kepemiluan kita,” katanya.

Ia menyebut bahwa hal tersebut bisa terjadi karena ada pihak yang merasa keberatan dan dirugikan oleh UU Pemilu yang berlaku. Oleh karena itu, judicial review terhadap sistem pemilu proporsional terbuka saat ini dapat saja dan dimungkinkan adanya perubahan seperti yang disuarakan oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari.

“Hanya saja, saya berpandangan sebaiknya pergantian sistem pemilu secara komprehensif harus dilakukan melalui fungsi legislasi DPR RI, bukan di ranah MK. Kalau perubahan hanya di ranah yudikatif maka perubahan itu hanya bersifat parsial,” kata Aditya.

Aditya meyakini bahwa ide perubahan sistem pemilu harus bersifat keseluruhan, tidak bisa parsial. Hanya saja, masalahnya kini adalah DPR RI sudah menutup pintu adanya revisi UU Pemilu meski Perppu tentang Pemilu sudah dan baru ditetapkan.

Di sisi lain, ia menilai bahwa sistem proporsional terbuka yang sudah dijalankan sejak 2009 masih menjadi yang terbaik untuk dijalankan di Indonesia. Ia tak menampik bahwa sistem ini masih memiliki beragam kekurangan, seperti biaya politik mahal hingga dominasi personalisasi caleg ketimbang partai.

Namun, kata Aditya, sistem yang terbuka ini membuat pemilih lebih mudah mengenali dan mencari tahu latar belakang caleg di dapilnya. Sementara itu, caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya.

“Idealnya, sistem pemilu kita makin mendekatkan kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkan pemilih,” ujarnya.

Dalam situasi tahapan pemilu yang sedang berjalan, Aditya berpandangan bahwa agenda untuk mendorong pergantian sistem pemilu sebaiknya dapat ditunda atau ditahan hingga seluruh tahapan Pemilu 2024 dapat sepenuhnya dijalankan dengan baik.

“Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius di tahun berikutnya 2025 dan seterusnya. Penyelenggara dan pengawas pemilu kemudian dapat fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik,” tutur Aditya.
sumber: gatra

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.