Pemerintah mencabut aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) per hari ini, Jumat (30/12), karena ‘pandemi telah melandai’.
Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusan tersebut di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12) sore.
“Lewat pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan angka-angka yang ada maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM,” kata Jokowi.
Jokowi menyebut “situasi pandemi Covid-19 di Indonesia sudah melandai” berdasarkan kasus harian Covid-19 pada 27 Desember 2022 yang hanya 1,7 kasus per 1 juta penduduk, positivity rate mingguan 3,3 persen, bed occupancy rate 4,79 persen, serta angka kematian 2,39 persen.
Angka-angka itu, kata Jokowi lagi, berada di bawah standar Badan Kesehatan Dunia.
“Jadi tidak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat,” kata dia.
Sebelumnya, kepada BBC Indonesia, Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan aturan soal PPKM akan berakhir pada 9 Januari 2023, dan akan digantikan oleh aturan baru yang “merelaksasi” aktivitas masyarakat, salah satunya melonggarkan kewajiban menggunakan masker di ruang publik.
Rencana itu muncul setelah penularan Covid-19 kian melandai selama beberapa bulan terakhir dan pemerintah “ingin memastikan kegiatan ekonomi tetap lancar”.
“Tapi intinya akan ada aturan yang memastikan bahwa aktivitas masyarakat yang penuh tersebut, yang tidak dibatasi tadi, itu tetap terjaga penularannya rendah. Pastinya itu tadi, penggunaan masker menjadi opsional,” kata Wiku kepada BBC News Indonesia pada Minggu (25/12).
Namun, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan agar pencabutan PPKM tidak dimaknai bahwa situasi sudah sepenuhnya “aman”, yang berujung upaya pengendalian serta penanganan Covid-19 jadi melemah.
Sedangkan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menggenjot vaksinasi booster, khususnya pada lansia, yang sejauh ini baru mencapai sekitar 30%.
“Di dalam negeri kan PPKM itu gambaran dari respons situasi yang dianggap krisis. Ketika PPKM dicabut berarti kan sudah ‘aman’, itu logika yang akan diterima masyarakat dan pemerintah. Ini yang akan memicu kerawanan-kerawanan itu”.
“Situasi kita memang sudah membaik, tapi belum di finish line, ini yang membuat kita harus tetap hati-hati,” tutur Dicky ketika dihubungi.
Indonesia terakhir kali mengalami lonjakan kasus yang signifikan pada Januari-Februari 2022 akibat penyebaran varian Omicron.
Selama empat pekan terakhir, Satgas Covid-19 mencatat sekitar 10.000 kasus per minggu. Namun, Indonesia masih mencatat ada pasien meninggal setiap harinya.
Apa yang berubah jika PPKM dicabut?
Wiku menjelaskan bahwa pencabutan PPKM berarti aktivitas masyarakat tidak akan lagi dibatasi aktivitasnya.
Selama ini, pembatasan kapasitas ditentukan berdasarkan level PPKM yang diberlakukan per daerah.
Beberapa bulan terakhir, banyak daerah telah menerapkan PPKM level 1, yang sebenarnya juga sudah bisa beraktivitas dengan kapasitas 100%.
“Kalau PPKM dicabut, dari sisi kapasitas tak ada lagi peraturan pembatasannya, yang ada adalah memastikan perlindungan masyarakat tetap terbentuk dalam bentuk herd immunity [kekebalan kelompok] melalui persyaratan vaksinasi,” jelas Wiku,
Tetapi dia Wiku mengatakan persyaratan vaksinasi untuk masuk ke ruang publik dan beraktivitas akan tetap berlaku.
Kebijakan untuk tes, pelacakan kontak jika terjadi peningkatan kasus juga akan tetap dilaksanakan meski Wiku mengakui bahwa saat ini “sudah serba minimal”.
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan pencabutan status PPKM itu “tidak terlalu berpengaruh banyak”.
Faktanya di lapangan saat ini, aktivitas masyarakat pun sudah sangat longgar.
“Tapi toh yang sekarang terjadi, sudah beberapa bulan terakhir kondisi kita sudah semakin membaik, cuma ada riak-riak kecil tapi angka perawatan di rumah sakit dan kematian tetap rendah,” kata dia.
Apa yang dimaksud dengan aturan pakai masker ‘opsional’?
Salah satu bentuk adaptasi baru yang akan diterapkan, kata Wiku, adalah aturan menggunakan masker yang menjadi “opsional”.
Opsional yang dimaksud, menurut Wiku, adalah penggunaan masker akan didorong berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab masing-masing orang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
“Di kita, ke depan kurang lebih akan didorong orang akan bertanggung jawab kalau tempatnya kerumunan dan dia tidak merasa sehat makai dia harus pakai masker,” jelas Wiku.
“Untuk orang lain yang merasa bahwa dia lagi enggak fit dan kemungkinan ada orang lain yang enggak fit, ya pakai masker. Kalau enggak ada orang lain kenapa harus pakai masker.”
“Tapi dengan orangnya sudah vaksinasi dan imunitasnya lagi tinggi karena dia lagi fit berarti dia tak usah pakai masker.”
Namun Wiku mengatakan apabila suatu waktu kasus Covid-19 kembali meningkat, yang dipicu oleh munculnya varian baru yang mengkhawatirkan, maka aturan itu “bisa saja diubah kembali”.
Sejauh ini, pemerintah memang sudah mengizinkan untuk membuka masker di luar ruangan. Sedangkan menggunakan masker di kerumunan, di dalam ruangan, dan di transportasi publik masih wajib.
Bagaimana pengaruhnya terhadap pengendalian kasus?
Epidemiolog Dicky Budiman berpendapat pencabutan PPKM akan memiliki dampak tidak langsung terhadap upaya pengendalian dan penanganan kasus.
Meski, pemerintah masih wajib melakukan upaya pengendalian dan menanggung perawatan pasien Covid-19 sepanjang status darurat kesehatan belum dicabut.
Dicky khawatir pencabutan PPKM akan dimaknai sebagai “situasi aman yang semu” bagi masyarakat dan pemerintah daerah, sehingga berujung upaya tes dan deteksi dini ikut menurun.
“Akibatnya orang yang sakit banyak yang tidak bisa dikelola oleh fasilitas kesehatan walaupun pemerintah masih menanggung penanganan,” kata Dicky.
Kelompok yang paling rentan dalam kondisi ini, lanjut dia, adalah lansia dan anak-anak yang tidak bisa atau belum bisa divaksin.
Pemerintah juga disebut masih memiliki tugas untuk menggenjot vaksinasi booster, terutama bagi lansia, yang sejauh ini baru mancapai sekitar 30%.
Selain itu, dia menyarankan agar pemerintah menunggu hasil evaluasi penyebaran kasus setelah libur Natal dan Tahun Baru. Sebab, lebih dari 40 juta orang diperkirakan bepergian selama musim liburan ini.
Pemerintah juga diminta mewaspadai situasi di China, di mana penyebaran Covid-19 sedang “menggila” dan mungkin saja memicu munculnya varian baru.
Pengawasan di pintu-pintu masuk negara, kata dia tetap penting dilaksanakan.
Sebaliknya, epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo berpendapat pencabutan PPKM “tidak perlu dikhawatirkan”, sepanjang status darurat kesehatan tidak ikut dicabut.
Pelonggaran pembatasan aktivitas masyarakat, menurut dia, sudah bisa dilakukan mengingat hampir seluruh masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi Covid-19 menurut survei serologi.
Tingkat kekebalan yang tinggi itu pula, yang menurut Windhu, membedakan situasi di Indonesia dengan China yang selama ini menerapkan kebijakan “nol Covid”.
“Kekebalan kita sudah hampir 100% karena infeksi alamiah, karena kita tidak serapat mereka melakukan pembatasannya. Itu yang menyebabkan kita lebih berhasil, karena tingkat kekebalan komunitas kita lebih tinggi. Jadi kita enggak usah khawatir di China naik,” jelas Windhu.
Masih menjadi ‘ancaman’ bagi sebagian orang
Lansia dengan penyakit komorbid disebut masih rentan terhadap Covid-19.
Meski situasi pandemi secara umum sudah terasa membaik, namun bagi sebagian orang Covid-19 masih mengancam.
Salah satunya bagi keluarga Noeratri, 48, yang ayahnya masih dirawat di rumah sakit khusus Covid di wilayah Jakarta Barat hingga Minggu.
Ayah dari Noeratri berusia 76 tahun dan tidak bisa divaksin karena pernah dua kali mengidap stroke, memiliki penyakit gula, serta darah tinggi.
Pekan lalu, ayahnya mengalami demam, pilek, serta menggigil. Hasil tes antigen menunjukkan bahwa ayahnya positif Covid-19.
Ayahnya mulanya ingin dirawat di rumah dan menjalani isolasi mandiri saja, namun beberapa hari kemudian, ayahnya mulai sulit makan. Noeratri pun membawa ayahnya ke rumah sakit.
“Untuk kasus seperti bapak saya, [Covid] masih mengancam. Kemarin juga hasil foto thorax, bapak di paru-paru atasnya sudah ada [bercak] walaupun kalau ditanya masih bisa bernapas normal, tapi kalau enggak mau makan, kan jadi enggak ada asupan energi,” kata Noeratri.
Berkaca dari pengalaman itu, Ratri berharap rencana pemerintah untuk mencabut PPKM tetap diiringi dengan upaya melindungi kelompok rentan.
“Kalaupun dicabut, lebih baik dengan catatan bahwa masih ada sebagian dari kita yang punya kerentanan. Kalau pun mau dicabut, haru sbisa preventif lah, mungkin untuk Natal dan ahun Baru ini peringatan itu masih perlu ada, masih perlu dibatasi,” tutur Noeratri.
Apakah perawatan pasien Covid-19 masih akan ditanggung pemerintah?
Seiring dengan rencana pencabutan PPKM itu, Satgas Covid-19 juga memutuskan untuk menghentikan operasional Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat pada 31 Desember 2022.
Kepala Humas RSDC Wisma Atlet Kolonel Mintoro Sumego mengatakan hanya ada empat orang yang sedang menjalani isolasi di Wisma Atlet pada Minggu (25/12).
“Dalam tiga bulan terakhir ini, pasien kita rata-rata di bawah 100, itu orang-orang yang bergejala ringan tapi tidak punya tempat isolasi mandiri. Mudah-mudahan ini mengarah ke situasi yang membaik,” kata Mintoro.
Namun untuk “berjaga-jaga”, dia mengatakan bahwa masih ada satu gedung, yakni Tower 6, yang akan disiagakan jika terjadi peningkatan kasus.
Jadi, masyarakat yang masih membutuhkan layanan isolasi terpusat tetap bisa datang ke Wisma Atlet.
Sementara itu, Wiku mengatakan pencabutan PPKM juga bukan berarti pemerintah berhenti menanggung penanganan pasien Covid.
“Pemerintah tetap mengurusi pasien Covid, kan kasusnya masih ada, pandeminya masih ada, kasusnya jumlahnya sedikit di Indonesia sekarang, tapi tetap ditangani pemerintah,” jelas Wiku.
Sebab sampai saat ini, pemerintah masih memberlakukan status darurat kesehatan masyarakat. Ketika status darurat kesehatan itu dicabut, Windhu Purnomo mengatakan baru lah pengendalian dan penanganan Covid-19 akan berubah signifikan.
sumber: bbc