KEBEBASAN BERFIKIR

Saya tidak pernah berhenti kagum kepada bapak pendiri bangsa ini. “ Kita bukan negara kebangsaan. Bukan pula negara yang berdiri dengan konsep idiologi. Apalagi agama. Tapi negara yang menghormati kebebasan berpikir diatas prinsip lima saja, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan. “ Saya yakin bapak pendiri bangsa ini adalah mereka orang yang jago dalam hal literasi dan punya kemampuan berpikir secara substansi dan membahasnya secara holistik.

***
Lucunya setelah Indonesia merdeka, kebebasan berpikir itu mulai tergerus sedikit demi sedikit. Era Soekarno, kebebasan berpikir dipasung oleh idiologi sekular, nasionalis, komunis, sosialis dan agama. Terus aja bertengkar engga jelas. Akhirnya bubar tuh Orla. Apa yang dipertengkarkan semua omong kosong. Nyatanya revolusi yang menimbulkan chaos bau amis darah, bukan karena yang dipertengkarkan tetapi karena bokek. Beli beras antri, BBM langka, uang tidak bernilai.

Soeharto berkuasa, lagi lagi kebebasan berpikir semakin barbar dipasung. Orang yang berbeda pendapat dicap dengan stigma Komunis atau PKI. Kaum agamawan dicap dengan stigma tidak Pancasilais. Karenanya tidak ada pertengkaran. 32 tahun penuh senyap. Akhirnya dalam keheningan perbedaan pemikiran itu, Orba jatuh sendiri. Jatuh karena bokek. Kurs terjun bebas karena Devisa minus, inflasi meroket, moneter , rupiah tidak bernilai.

Nah zaman reformasi, terjadi amandement UUD 45 secara luas. Tanpa disadari kita masuk dalam ruang identitas dalam dimensi baru yang dilegitimasi konstitusi. Apa itu? Kebebasan pasar. Bukan kebebasan pemikiran. Karena dalam kebebasan pasar itu ada regulated yang memberikan hak kepada kapital berkuasa. Kita masuk dalam politik identitas kapitalisme. Dikawal dengan sistem demokrasi. One man vote. Individualisme yang tidak punya hak privasi dihadapan KUHP.

Masuk era IT, dan sosial media, bukannya kebebasan berpikir berkembang, malah dipasung oleh opini sempit bagulindan dengan hate speech/ ujaran kebencian. Polarisasi terjadi. Bukan duel pemikiran tentang hal yang substansi. Berdebat tidak saling mencerdaskan. Saling mengkerdilkan satu sama lain. Jangan diharapkan akan ada titik temu. Yang sekularis sinis dengan agamais. Agamais juga sinis kepada sekularis. Satu sama lain saling adu teori dan dalil dengan narasi saling menyudutkan. Satu sama lain merasa paling benar dan soheh.

Diatas pertengkaran dan omong kosong tanpa jeda itu. Sejak era Orla, Orba, Reformasi, ada yang tidak berubah. Etnis China sang saudara tua, yang minoritas, tetaplah berkuasa atas mayoritas sumber daya negeri ini. Mengapa? hanya mereka yang ogah ikut omong kosong. Mereka focus cari cuan. Walau mereka tidak bersuara di mimbar, dan panggung politik, tetapi dengan mindset terbuka. Siapa yang makmur? ya mereka. Mereka yang menghargai kebebasan berpikir dalam dimensi hidup dan pribadinya.

Yakinlah kalau hidup anda selalu mengkawatirkan hal di luar diri anda, maka anda akan berusaha jadi follower tokoh dan infleencer dan anda tidak akan jadi apa apa, kecuali sampah peradaban. Omongan diluar yang provokasi anda itu juga sampah. Camkan itu. Nah, Jadilah diri sendiri dan focus kepada kemandirian akal atas dasar prinsip Ketuhanan, Kemanusiaa, Persatuan, musyawarah dan Keadilan. Anda akan baik baik saja. Kini dan di sini.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.