SUMBER GAMBAR, ANTARAFOTO/RENO ESNIR
Keterangan gambar,
Tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) EW, dikawal petugas untuk dilakukan penahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (19/12/2022).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. EW langsung ditahan lembaga antirasuah itu pada hari Senin (19/12).
Penambahkan tersangka kasus ini menunjukkan dugaan suap perkara ini sebagai tindakan menggurita di MA, yang disebut pengamat korupsi karena “penegak hukum memiliki kewenangan besar, dengan kontrol yang sangat kecil”.
Sementara, seorang mantan hakim agung mengatakan celah korupsi itu terjadi pada saat seorang hakim mendapat promosi atau mutasi.
Komisi Yudisial mengaku sudah dilibatkan MA dalam merekomendasikan promosi dan mutasi hakim tersebut.
• Dugaan suap hakim agung: Persidangan MA yang tertutup ‘jadi celah permainan perkara’, KPK diminta usut potensi keterlibatan hakim lain
• Mahkamah Agung potong hukuman 22 terpidana korupsi, Jubir MA: ‘Kami berupaya memberi keadilan bagi terpidana’
• Pegiat kecam putusan MA bebaskan Jokowi dari ‘perbuatan melawan hukum’ atas karhutla di Kalteng, ‘Kalau pemerintah saja tidak patuh, bagaimana pihak lain?’
Seorang petugas KPK menunjukkan uang suap dalam suatu perkara korupsi.
Seorang hakim yustisial – hakim yang diperbantukan untuk hakim agung – berinisial EW, ditetapkan sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung.
Dalam kasus ini KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp2 miliar dalam bentuk mata uang asing untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Sebelumnya dua hakim agung berinisial SD dan GS, serta dua hakim yustisial lainnya ETP dan PN sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Pada saat kasus ini mencuat, BBC menurunkan artikel yang menunjukkan persidangan di MA yang tertutup berpotensi menjadi celah permainan perkara, dan ini terjadi karena adanya keterbatasan lembaga pengawasan.
Namun, mantan hakim agung, Profesor Gayus Lumbuun kembali merespons perkembangan terbaru kasus di MA dengan menggambarkannya sebagai “Indonesia darurat peradaban hukum”.
“Hakim-hakim ini adalah ujung tombak dari peradilan,” katanya.
Dalam kesempatan berbicara kepada BBC, ia juga menyoroti persoalan pada penempatan, promosi dan mutasi hakim yustisial yang diyakini ikut andil dalam membuka celah awal korupsi di MA.
“MA dalam menempatkan jabatan-jabatan tertentu ini, juga sering kali ada pelanggaran-pelanggaran yang dikhawatirkan adanya hubungan baik,” kata Prof Gayus yang menjabat hakim agung periode 2011 – 2018.
Tim promosi dan mutasi (TPM), kata Prof Gayus, semestinya punya pedoman baku untuk meloloskan hakim yustisial atau hakim yang berperan sebagai ketua pengadilan tinggi atau negeri di suatu wilayah. Sebab, kata dia, selama ini TPM “tidak cukup ketat” dalam proses penyeleksiannya.
“Itu perlu, karena pimpinan itu memotivasi anggotanya,” tambah mantan ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang Mahkamah Agung ini.
Dalam beberapa kasus, KPK menangkap tangan hakim di sejumlah daerah terkait korupsi. Hal ini, kata Prof Gayus, tak lepas dari peran TPM yang meloloskan hakim tersebut.
Berdasarkan data dari KPK, dalam satu dekade terakhir terdapat 21 hakim yang terjerat kasus korupsi. Jumlah ini belum semua hakim yang terlibat perkara di MA dalam dugaan suap pengurusan perkara.
Prof Gayus mendorong TPM bentukan MA ini melibatkan lembaga eksternal.
“TPM ini harus orang-orang yang independen, tak cukup pimpinan [di MA] saja. Ini harus terdiri kalau perlu hadirkan KY, KPK kalau perlu, melihat track record ada nggak laporan KPK, terbukti itu [korupsi],” kata Gayus sambil menambahkan “banyak hakim baik nggak menjabat apa-apa” karena tak ada pedoman baku untuk penempatan, mutasi dan promosi hakim.
Selain itu, Prof Gayus juga mendorong adanya regulasi yang memberi sanksi bagi pimpinan badan peradilan untuk mundur dari jabatan ketika ada bawahannya terlibat korupsi. Kemudian, perlu adanya jaminan hukum bagi pihak yang dirugikan pada suatu perkara hukum yang terbukti terdapat suap di dalamnya. Caranya dengan pemerintah membentuk lembaga independen untuk melakukan pengujian atau pemeriksaan ulang terhadap surat dakwaan dari jaksa atau putusan pengadilan dari hakim (eksaminasi).
Loket pertama jual-beli perkara
Peneliti dari PUKAT-UGM, Zaenur Rohman mengemukakan apa yang disebut “korupsi peradilan” ini sudah “menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 98”.
“Ada program reformasi di tubuh MA ketika itu dibuat cetak biru pembaruan MA. Dari cetak biru ada program perbaikan di internal MA, termasuk rekrutmen, pembinaan, pengawasan kelembagaan dan seterusnya.
“Ternyata pembaruan di MA belum mampu menghilangkan praktik jual-beli perkara,” kata Zaenur kepada BBC News Indonesia.
Praktik korupsi ini belum bisa terputus, salah satunya karena “penegak hukum itu memliki kewenangan yang sangat besar, dengan kontrol yang sangat kecil. Ini kemudian menyebabkan potensi pelanggaran semakin besar.”
Ia menuding MA masih bersikap tertutup atas kasus ini, terbukti belum ada pengakuan dari lembaga ini telah gagal memutus mata rantai jual-beli perkara.
Hal lain yang Zaenur soroti adalah adanya ketimpangan kesejahteraan antara hakim dan pegawai non hakim di badan peradilan. Pegawai non hakim antara lain panitera, sekretaris, panitera pengganti, jurusita, administrasi, dan lainnya. Umumnya, kata dia, korupsi masuk lewat pintu pegawai tingkat terendah.
“Mafia perkara itu, selalu melibatkan pegawai-pegawai di tingkat rendah. Justru merekalah jadi loket pertama dari mafia peradilan yang melakukan perkara,” kata Zaenur.
Dalam perkara suap MA ini terdapat lima pegawai non hakim yang ditetapkan sebagai tersangka, mereka adalah panitera pengganti berinisial ETP, PNS kepaniteraan yaitu DY dan MH, serta PNS lainnya A dan NA.
Seperti diketahui gaji hakim agung mencapai puluhan juta rupiah, belum termasuk uang dari perkara yang ditanganinya.
BBC telah menghubungi juru bicara MA, Andi Samsan Nganro tapi belum mendapat respons. Namun, sebelumnya, Ketua MA, Syarifuddin mengatakan, “Ini musibah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.”
MA mengambil langkah membentuk tim khusus dan melakukan mutasi termasuk rotasi staf serta panitera pengganti yang cukup lama dan bermasalah. Lalu, membaca Pakta Integritas bersama-sama untuk meneguhkan kembali menolak korupsi.
KY mulai dilibatkan dalam mutasi hakim yustisial
Di sisi lain, juru bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting mengaku pihaknya sudah dilibatkan MA dalam memberikan masukan terhadap mutasi hakim yustisial.
“Kita juga mengapresiasi langkah MA yang sudah membuka ruang ke KY berkontribusi dalam rangka pemberian masukan terhadap para calon-calon hakim yustisial di MA, melalui data rekam jejak yang dimiliki KY,” katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (19/12).
Namun, Miko masih belum bisa memastikan apakah lembaganya akan terus dilibatkan dalam proses dalam mutasi dan promosi hakim yustisial di MA. “Kita nggak tahu. Itu subjek untuk direspons MA, karena yang melakukan promosi mutasi kan MA,” Katanya.
Bagaimana pun, kata dia, perkara ini menjadi titik bagi MA, KY dan KPK untuk lebih ketat mengawasi hakim ke depannya melalui kerja sama antar lembaga.
Dengan MA, kata Miko pihaknya sudah membuat tim penghubung dengan MA. Selain membicarakan mutasi dan promosi hakim, KY juga menjajaki integrasi pusat data pengawasan hakim.
Dengan KPK, tambah Miko, KY telah memiliki nota kesepahaman untuk pertukaran informasi. Saat KY memeriksa etik hakim dan menemukan indikasi korupsi maka akan dilaporkan ke KPK. Begitu pun sebaliknya.
“Itu sangat substansial, dan pesan bagi para pelaku penyimpangan berpikir dua kali, karena ini saat di mana ketiga lembaga ini sedang memperketat mekanisme pengawasan yang ada,” katanya.
Dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA, sudah terdapat 14 tersangka yang meliputi hakim agung (2), hakim yustisial (3), pegawai kepaniteraan MA (5), pengacara (2), dan debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (2).
KPK menduga terdapat uang suap sekitar 202.000 dolar Singapura (setara Rp2 miliar) untuk mengurus perkara pidana dan perdata KSP Intidana.
sumber: bbc