SEPAK BOLA DAN DINAMIKA POLITIK INTERNASIONAL

Ilustrasi pertandingan sepak bola Euro 2020. Foto: Getty Images

Fakhri Sabiq Muawal – Sepak bola merupakan salah satu olahraga yang paling populer di seluruh dunia. Berbagai hal yang berhubungan dengan sepak bola dari dalam dan luar lapangan selalu saja menjadi perbincangan. Dimulai dari hasil pertandingan, taktik pelatih, geliat transfer pemain, serta gosip heboh di luar lapangan. Hal itu kian menegaskan bahwa sepak bola bukan hanya sekedar pertandingan belaka. Sepak bola terkait dengan berbagai aspek seperti budaya, ekonomi, sosial, hingga politik terutama politik internasional. Sebagai salah satu cabang olahraga yang paling digemari di seluruh dunia, tidak sedikit aktor-aktor politik menggunakan sepak bola sebagai “alat” untuk meraih tujuan mereka dalam berpolitik.

Sepak Bola sebagai “Alat” Diplomasi Publik

Seperti yang dikatakan sebelumnya, sebagai salah satu cabang olahraga yang paling digemari di dunia, sepak bola merupakan alat yang efektif untuk diplomasi publik atau sekedar untuk melakukan promosi dan membentuk persepsi positif masyarakat dunia terhadap suatu negara. Melalui ajang empat tahunan seperti Piala Dunia, semua negara berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dalam upaya menyebarkan persepsi kepada masyarakat dunia. Hal tersebut tidak hanya terjadi di dalam lapangan tapi juga di luar lapangan. Semua negara berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik agar dipilih oleh FIFA menjadi tuan rumah dari Piala Dunia. Terpilihnya suatu negara untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomi seperti peningkatan pariwisata lokal namun juga terkait dengan upaya diplomasi publik dari suatu negara dalam upaya membentuk citra positif kepada masyarakat dunia.

Tentu masih kuat dalam ingatan tahun 2010, Afrika Selatan terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia. Hal tersebut tentu dimanfaatkan oleh Afrika Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membentuk citra positif tidak hanya bagi negaranya namun juga bagi seluruh Afrika. Afrika Selatan melakukan promosi budaya mereka lewat maskot, pernak-pernik pertandingan, dan masih banyak lagi. Afrika Selatan juga mampu membentuk citra positif sebagai negara yang cukup maju sehingga mampu menggelar Piala Dunia serta memberikan pesan kepada dunia bahwa Benua Afrika tidaklah buruk.

Hal ini juga yang coba dilakukan oleh Qatar. Dengan status mereka sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, mereka sudah melakukan ancang-ancang dalam upaya membentuk citra positif negara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Qatar sendiri sudah melakukan berbagai upaya promosi secara langsung terkait dengan pelaksanaan Piala Dunia di negara mereka. Akan tetapi, secara tidak langsung, aktivitas pebisnis Qatar dalam sepak bola juga menjadi aspek dalam pembentukan citra positif negara mereka sebagai negara yang kaya dan makmur. Sebagai contoh adalah aktivitas Nasser Al Khelaifi, seorang pebisnis Qatar sekaligus Presiden klub PSG. Dengan pendanaan yang besar, PSG berhasil mendatangkan bintang sepak bola dunia seperti Neymar dan Messi yang akan berguna dalam mempromosikan Piala Dunia Qatar di tahun depan.

Isu Imigran

Beralih dari diplomasi publik, isu imigran juga merupakan salah satu isu yang acap kali dibahas dalam studi Hubungan Internasional. Hal tersebut juga terkait erat dengan sepak bola. Negara-negara di Eropa tentu sadar betul kehadiran imigran di negaranya membawa berkah tersendiri bagi mereka terutama pada bidang sepak bola. Seperti halnya kehadiran Sami Khedira dan Mesut Ozil yang menjadi tulang punggung lini tengah Timnas Jerman dalam menjuarai Piala Dunia 2014. Selain itu, Belanda juga mendapatkan berkahnya dengan kehadiran pemain-pemain imigran seperti Ruud Gullit, Clarence Seedorf, dan yang terbaru Georginio Wijnaldum yang menjadi kapten negara tersebut pada Euro 2020. Prancis sebagai Juara Piala Dunia pada tahun 2018 juga mendapatkan keuntungan dari para pemain imigran dari bekas negara jajahannya. Kehadiran pemain-pemain “kulit hitam” justru berperan positif dan membawa negara tersebut menjadi juara dunia.

Isu imigran dan rasialisme sangat melekat terutama setelah banyaknya imigran asal Afrika yang masuk ke negara-negara Eropa. Secara umum mereka membawa ciri fisik khusus yaitu memiliki kulit yang hitam. Seperti yang dikatakan sebelumnya, Timnas Prancis yang menjadi juara Piala Dunia pada 2018 mendapatkan keuntungan dari para pemain imigran terutama dari bekas negara jajahannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan peran pemain-pemain seperti Paul Pogba, Kylian Mbappe, Samuel Umtiti, dan Ngolo Kante yang menjadi pemain kunci di Timnas Prancis kala itu. Hal itu berperan besar dalam mengubah stigma masyarakat terhadap para imigran. Dengan kenyataan tersebut semakin menegaskan bahwa pengaruh imigran khususnya kepada negara-negara Eropa pada sepak bola cukup besar yang juga akan menebarkan semangat dan pesan anti rasialisme kepada dunia.

Selain isu rasialisme, terdapat pula isu islamophobia. Dengan banyaknya imigran di Eropa yang berasal dari Kawasan Timur Tengah dan Arab Maghribi, tentu banyak diantara mereka yang beragama islam. Di Eropa, stigma dan isu Islamophobia masih sangat kental di masyarakat. Islamophobia merupakan sebuah perasaan takut dan curiga secara berlebih kepada umat islam. Islamophobia seringkali memberikan stigma kepada umat islam sebagai orang yang keras, konservatif, dan pelaku teroris. Akan tetapi, dengan kehadiran pemain imigran asal Timur Tengah dan Arab Maghribi seperti halnya mantan pemain Timnas Prancis Zinedine Zidane yang merupakan keturunan imigran asal Aljazair, Pogba dan Kante yang juga beragama Islam, terlihat mampu mengurangi serta melunakkan stigma Islamophobia di masyarakat eropa secara khusus di Prancis.

Sepak Bola dan Hubungan antar Negara

Sepak bola juga mampu menggambarkan hubungan antara satu negara dengan negara lain. Sebagai contoh, tak sedikit negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim menolak bermain melawan Israel. Hal ini merupakan bentuk solidaritas negara-negara tersebut dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Hubungan antar negara pun juga dapat terlihat dalam pertandingan Indonesia vs. Malaysia yang seringkali menghadirkan pertandingan dengan tensi tinggi namun juga penuh persahabatan yang juga menggambarkan hubungan yang kompleks antar kedua negara. Hal ini juga terjadi pada sejumlah pertandingan seperti Argentina vs Brazil dan Meksiko vs. Amerika Serikat yang juga seringkali menghadirkan pertandingan dengan gengsi serta tensi yang tinggi.

Pertandingan serta rivalitas dengan gengsi yang tinggi seringkali menjadi cerminan hubungan antar negara dalam politik internasional. Rivalitas tersebut tercipta dengan beragam faktor seperti kedekatan wilayah, aspek historis, serta persaingan negara-negara tersebut dalam politik internasional. Di benua Afrika, kita dapat melihat rivalitas tinggi antara Aljazair dan Mesir. Tak jarang pertandingan tersebut berakhir ricuh karena bentrokan antar suporter dari kedua negara baik saat pertandingan maupun sesudah pertandingan. Hal tersebut menggambarkan rivalitas yang cukup tinggi bagi kedua negara yang berada di Afrika Utara tersebut. Rivalitas juga terjadi di belahan bumi lain di Benua Eropa, misalnya Inggris dan Skotlandia. Pertandingan antarkedua negara tersebut bahkan tercatat sebagai pertandingan internasional pertama di dunia. Rivalitas antara Inggris dan Skotlandia juga seringkali mengakibatkan bentrokan antar kedua suporter. Rivalitas tersebut tak hanya terjadi di lapangan sepak bola melainkan kedua negara tersebut juga seringkali ribut dalam hal politik.

Meskipun demikian, sepak bola tak hanya melulu soal rivalitas dan pertarungan belaka. Sepak bola juga dapat menjadi ajang bagi negara-negara untuk saling bekerja sama. Hubungan antar negara yang bersifat kerja sama seringkali terjadi di luar lapangan seperti ketika Suriname mendapatkan pelatihan sepak bola intensif dari Belanda, kemudian terdapat negara-negara mencoba untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia secara bersamaan seperti Jepang-Korea Selatan pada 2002 dan AS-Kanada-Meksiko pada 2026. Melalui sepak bola, negara-negara pun dapat melakukan kerja sama dalam hal peningkatan kualitas tim nasional mereka. Seperti halnya yang dilakukan Indonesia dalam hal ini PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) baru-baru ini melakukan kerja sama dengan federasi sepak bola Uni Emirat Arab (UAE FA).

Selain itu, terdapat bentuk kerja sama lain seperti menciptakan organisasi internasional yang menaungi negara-negara dalam hal sepak bola seperti FIFA, AFC, bahkan sub organisasi regional seperti AFF yang merupakan organisasi sepak bola negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan meningkatkan kualitas tim nasional melalui kompetisi, pembinaan, dan kerja sama secara berkelanjutan. Maka, hal ini menunjukkan bahwa sepak bola memiliki kemampuan untuk menciptakan rivalitas sekaligus kerja sama antar negara-negara di dunia.

Kesimpulan

Dengan demikian, sepak bola dapat menjadi tempat terjadinya dinamika politik internasional yang cukup dinamis antar negara-negara di dunia. Sepak bola dapat dikatakan sebagai “miniatur” politik internasional yang menghadirkan rivalitas dan konflik namun di satu sisi juga dapat menciptakan kerja sama antar negara-negara di dunia. Sepak bola juga boleh dikatakan lebih dari sekedar pertandingan belaka. Semua karena sepak bola dapat menjadi alat diplomasi publik, penyuara isu imigran, anti rasialisme, dan anti islamophobia, serta menggambarkan dinamika hubungan antar negara dalam politik dunia.

Fakhri Sabiq Muawal adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @fakhrisabiq
sumber: kontekstual

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.