PBB KELUARKAN IRAN DARI BADAN HAK-HAK PEREMPUAN

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merilis resolusi yang mengeluarkan Iran dari Badan Hak-hak Perempuan. Resolusi ini muncul atas prakarsa Amerika Serikat.

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menghapus Iran dari Badan Hak-hak perempuan pada Rabu (14/12). Keputusan itu menyusul kampanye bersama oleh Washington, atas penumpasan brutal Teheran terhadap protes yang dipimpin perempuan.

Aktivis pro-demokrasi Iran memuji pengusiran Iran itu dari Komisi PBB tentang Status Perempuan (UNCSW) untuk sisa masa jabatan 2022-2026.

Kemenangan diplomatik AS

Penghapusan Iran dari UNCSW berdasarkan suara mayoritas anggota, meski langkah ini ditentang oleh sekutu Iran yakni Rusia dan Cina.

Sebanyak 29 anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) memberikan suara setuju, delapan negara menentang, dan 16 abstain. Keluarnya Iran dari UNCSW menandai kemenangan diplomatik bagi Washington.

Resolusi tersebut mencabut keanggotaan Iran dari UNCSW. Dalam teks resolusi itu menyebut bahwa kepemimpinan Iran “terus melemahkan dan semakin menindas hak asasi perempuan dan anak perempuan, termasuk hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, sering kali dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan.”

Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini

Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.

Reformasi Setengah Hati

Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat “Reformasi Putih” yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.

Monarki Tanpa Oposisi

Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi

Arus Balik Khomeini

Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.

Sekulerisme Islam

Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.

Kebangkitan Islam Militan

Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.

Pengkhianatan Ayatollah

Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.

Dekade Berdarah

Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan “pelanggaran berat Hak Azasi Manusia.” Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.

Derita di Balik Jeruji

Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.

Eksekusi Massal

Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.

Selain itu, Iran disebut melakukannya “dengan menjalankan kebijakan yang secara terang-terangan bertentangan dengan hak asasi perempuan dan anak perempuan” dan mandat komisi “serta melalui penggunaan kekuatan mematikan yang mengakibatkan kematian para pengunjuk rasa damai, termasuk perempuan dan anak perempuan.”

UNCSW adalah badan antar pemerintah global utama yang didedikasikan khusus untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Iran telah dicengkeram oleh demonstrasi sejak kematian Masha Amini pada 16 September. Amini adalah seorang perempuan Kurdi Iran yang ditangkap karena diduga melanggar aturan berpakaian.

Pihak berwenang sejak itu telah melakukan ribuan penangkapan dalam tindakan keras terhadap mereka yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan dan menjatuhkan setidaknya 11 hukuman mati sehubungan dengan protes tersebut.

Pada awal November, Wakil Presiden AS Kamala Harris mengatakan negaranya akan bekerja sama dengan negara lain untuk mengeluarkan Iran dari komisi tersebut. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton juga berkampanye untuk langkah tersebut.

“Pemungutan suara ini adalah tanda lain dari tumbuhnya konsensus internasional tentang Iran dan tuntutan pertanggungjawaban,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam sebuah pernyataan.

“Hari baik lainnya untuk hak asasi manusia Iran”

Roya Boroumand, salah satu pendiri Abdorrahman Boroumand Center yang berbasis di Washington, dan kelompok hak asasi manusia Iran, mengatakan bahwa hasilnya adalah “hari baik lainnya untuk hak asasi manusia universal dan solidaritas internasional.” Dalam cuitannya di Twitter ia juga menyebut “Perempuan Iran didengar!”

Mahsa Alimardani, seorang peneliti Iran untuk kelompok kebebasan berekspresi Pasal 19, memposting di Twitter, “sebuah langkah bersejarah dan tanda yang jelas oleh komunitas internasional bahwa kejahatan Republik Islam tidak akan ditoleransi.”

Namun, para penentang mencatat bahwa Iran telah terpilih menjadi anggota badan tersebut dan bahwa mengeluarkannya akan menjadi “preseden yang berbahaya.”

Lika-Liku Kesepakatan Nuklir Iran

Donald Trump telah secara resmi menarik AS dari perjanjian nuklir internasional dengan Iran. Pemerintah AS terdahulu telah dengan susah payah menegosiasikannya selama bertahun-tahun dengan lima mitra internasional.

Yang menjadi masalah

Fasilitas nuklir Iran Bushehr adalah salah satu dari lima fasilitas yang dikenal oleh pengamat internasional. Israel, Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah sepakat bahwa usaha Iran memperkaya uranium – untuk keperluan energi domestik, menurut para pejabat di Teheran – dapat menjadi ancaman bagi kawasan jika hal itu berujung pada pengembangan senjata nuklir.

Akhir dari masalah

Pada 2006, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Cina, Rusia, Prancis, Inggris) dan Jerman (P5+1) memulai proses negosiasi yang melelahkan dengan Iran yang akhirnya mencapai kesepakatan pada 14 Juli 2015. Negara-negara tersebut sepakat memberikan kelonggaran sanksi pada Iran. Sebagai gantinya, pengayaan uranium Iran harus terus dipantau.

Rakyat Iran setuju

Di Teheran dan kota-kota lain di Iran, warga merayakan apa yang mereka yakini sebagai akhir dari isolasi ekonomi bertahun-tahun yang memberi efek serius pada kesehatan dan gizi masyarakat karena kurangnya akses ke pasokan medis dan makanan untuk warga biasa. Banyak juga yang melihat perjanjian itu sebagai bukti bahwa Presiden Hassan Rouhani berusaha untuk membuka Iran ke dunia dengan cara lain.

Peran IAEA

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) ditugaskan untuk memantau kepatuhan Iran kepada kesepakatan itu. Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano (kiri) pergi ke Teheran untuk bertemu dengan Rouhani pada bulan Desember 2016, hampir satu setengah tahun setelah kesepakatan itu ditandatangani. Dalam laporan yang disampaikan setiap tiga bulan, IAEA berulang kali menyertifikasi kepatuhan Iran.

Sang oponen

Setelah delapan tahun dengan Barack Obama, PM Israel Benjamin Netanyahu menemukan sosok presiden AS yang ia inginkan dalam Donald Trump. Meski Trump tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi dan ilmu nuklir, ia menyebut perjanjian internasional tersebut sebagai “kesepakatan terburuk yang pernah dinegosiasikan.” Hal ini juga menjadi pokok kampanye pemilunya di 2016.

Siapa yang masih ada?

Meskipun ada sertifikasi IAEA dan protes dari Kemlu AS, Trump tetap menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei. Pihak-pihak lain telah berjanji untuk tetap berada dalam kesepakatan. Diplomat top Uni Eropa, Federica Mogherini (kiri), sudah melakukan pembicaraan dengan para menteri luar negeri dari (ki-ka) Iran, Prancis, Jerman dan Inggris.

Pengamat PBB juga mengatakan inisiatif itu telah menyebabkan beberapa ketidakpuasan di antara para diplomat, termasuk sekutu AS yang merasa mereka tidak punya pilihan selain mendukungnya.

“AS memaksa Rusia keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan April, tetapi ada mekanisme formal untuk itu,” kata Richard Gowan, Direktur PBB di International Crisis Group.

“Pemungutan suara melawan Iran ini belum pernah terjadi sebelumnya setahu saya dan itulah sebabnya cukup banyak negara merasa mual tentang hal itu,” katanya kepada AFP.

Negara-negara di komisi perempuan dipilih oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, yang anggotanya dipilih oleh Majelis Umum. Teheran menuduh Washington menekan negara-negara menjelang pemungutan suara.rs/ha (AFP)
sumber: dw.com

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.