Menlu RI Retno Marsudi memberikan sambutan dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Perempuan Afghanistan, 8 Desember 2022. (Twitter/@Menlu_RI)
JAKARTA — Masyarakat internasional tidak boleh diam dan harus melakukan sesuatu untuk membantu rakyat Afghanistan, termasuk kaum perempuannya.
Konferensi internasional pertama yang membahas pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Afghanistan yang berlangsung di Bali telah berakhir. Semua peserta pertemuan sepakat untuk mendukung pemenuhan hak-hak dasar bagi seluruh rakyat Afghanistan, terutama perempuan, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan.
Dalam jumpa pers bersama Asisten Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah Al Khater, Kamis (8/12), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan pertemuan ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan situasi terkini di Afghanistan.
“Kedua, untuk menegaskan kembali dukungan terhadap seluruh rakyat Afghanistan tanpa kecuali. Ketiga, untuk menekankan kembali sokongan kita atas hak-hak perempuan (Afghanistan), terutama mengenai pendidikan untuk perempuan. Keempat, untuk mengidentifikasi kesenjangan dan mengumpulkan sumber-sumber daya untuk mendukung pendidikan bagi perempuan di Afghanistan. Kelima, untuk memutuskan langkah-langkah apa yang akan diambil,” kata Retno.
Menlu Retno menambahkan konferensi tersebut juga khas karena dihadiri perwakilan pemerintah dari beragam negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, lembaga filantropi, para pelaku usaha. Terdapat perwakilan dari 38 negara, empat organisasi internasional, sembilan organisasi non-pemerintah dan komunitas bisnis, serta sembilan tokoh perempuan terkemuka dan akademisi yang menghadiri pertemuan bersejarah tersebut.
Retno yakin berinvestasi pada isu-isu perempuan berarti berinvestasi untuk masa depan yang lebih cerah. Dengan memberi peluang kepada kaum hawa, mereka akan mampu berkontribusi penting pada masyarakat.
Mengutip data dari UN Women, lanjutnya, lebih dari sebelas juta wanita dan anak-anak perempuan Afghanistan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. UNDP juga menyebutkan pembatasan terhadap kaum hawa di Afghanistan dapat merugikan perekonomian negara di Asia tengah itu sebesar US$ 1 miliar atau sekitar lima persen dari produk domestik bruto Afghanistan.
Mempertimbangkan keadaan tersebut, menurut Retno, masyarakat internasional tidak boleh diam dan harus melakukan sesuatu untuk membantu rakyat Afghanistan, termasuk kaum perempuannya.
Karena itu, dia menjelaskan ada tiga hal yang harus dilakukan.”Menciptakan situasi yang kondusif untuk partisipasi perempuan (Afghanistan) di masyarakat dan lingkungan yang kondusif ini harus diwujudkan serta dipelihara,” ujar Retno.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Indonesia dan Qatar untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi kaum perempuan di Afghanistan di antaranya dengan mengadakan pertemuan ulama dari tiga negara, Indonesia-Afghanistan-Qatar yang telah berlangsung di Doha Juni lalu. Komunikasi dan koordinasi dengan para ulama Afghanistan terus akan dilakukan.
Selain itu, Retno menambahkan semua pihak harus mendorong ke arah kemajuan dalam pembentukan pemerintahan Afghanistan yang inklusif yang menghormati hak-hak perempuan. Kemudian, harus ada jaminan pendidikan bagi semua rakyat Afghanistan, termasuk pendidikan bagi masyarakat dan pendidikan jarak jauh.
Hal ketiga adalah memobilisasi dukungan internasional dalam konteks pendanaan dan teknis. Retno mengatakan perlunya komitmen untuk memberikan bantuan jutaan dolar Amerika Serikat untuk mendukung pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Afghanistan.
Pada konferensi pers tersebut, Asisten Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah Al Khater mengatakan konferensi yang membahas pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Afghanistan ini merupakan sebuah pondasi penting untuk proses dalam jangka panjang terkait strategi untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi kaum perempuan dan rakyat Afghanistan.
Dia menambahkan Qatar berkomitmen untuk memberikan bantuan bagi rakyat Afghanistan. “Sejauh ini sejak Agustus 2021, kami telah menjanjikan bantuan sekitar US$ 75 juta, sebagian besar disalurkan untuk pendidikan. Kami berharap akan ada lebih banyak investasi pada masa depan terutama melalui kolaborasi dengan Indonesia, yang telah kami bahas adalah program beasiswa dari Qatar dan Indonesia untuk para pelajar Afghanistan, diharapkan dengan komposisi 50:50 antara lelaki dan perempuan,” tutur Lolwah.
Menurut Lolwah, dalam konferensi tersebut program beasiswa untuk para pelajar Afghanistan ini juga bukan hanya diberikan oleh Qatar dan Indonesia, tapi ada juga keinginan serupa dari negara-negara lain.Program lainnya adalah membuka peluang ekonomi untuk rakyat Afghanistan melalui pemberian modal untuk usaha kecil, juga memberikan kesempatan bagi pihak swasta Afghanistan untuk bertukar pengalaman dengan pelaku usaha di sejumlah negara.
Lolwah menegaskan seluruh peserta konferensi sepakat pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat Afghanistan, termasuk kaum hawa. Dia menegaskan bahwa membatasi hak-hak perempuan bukan bagian dari ajaran Islam.
Dia menambahkan, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim berkewajiban untuk menentang pembatasan atas hak-hak perempuan Afghanistan.
Sekretaris Jenderal Asian Muslim Network (AMAN) Ruby Kholifah menilai upaya yang dilakukan Indonesia tersebut merupakan hal yang penting dan harus dilakukan. Meskipun pemerintah Indonesia tidak mengakui pemerintahan Taliban, tapi menurutnya hal tersebut merupakan kewajiban sebagai bagian dari negara yang memiliki komitmen untuk menjaga perdamaian dunia.
Menurutnya, konferensi ini sebenarnya lebih difokuskan pada penggalangan dukungan internasional untuk menolong Afghanistan, khususnya pendidikan untuk perempuan karena memang saat ini Taliban semakin tidak terlalu memberikan ruang untuk pendidikan bagi peremuan.
“Saya rasa Indonesia penting untuk melakukan sesuatu. Ini mungkin juga bagian dari ekspresi terbuka Indonesia tentang bagaimana komitmen Indonesia untuk menolong orang-orang Afghanistan tanpa harus melalui pemerintahan yang sekarang tidak mengakui. Saya rasa upaya ini perlu dikembangkan lebih banyak lagi,” ungkap Ruby kepada VOA.
Dia menilai tidak masalah jika konferensi ini tidak melibatkan pemerintahan Afghanistan. [fw/lt]
sumber: voa