KAPAN YESUS LAHIR?

Monique Rijkers – Benarkah Yesus ulang tahun setiap tanggal 25 Desember? Beberapa tahun belakangan ini umat Kristen mempertanyakan rujukan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. Monique Rijkers mengulik soal polemik Natal ini.

Selain tidak ada satupun ayat yang spesifik, Natal dianggap sebagai tradisi pagan yang diadopsi menjadi peringatan agama Kristen. Hal ini menimbulkan polemik sehingga sejumlah kalangan tidak lagi merayakan Natal meski beragama Kristen.

Seorang warga Alor di Nusa Tenggara Timur pada November 2019 silam menerima putusan kasasi hukuman penjara selama enam bulan karena dianggap bersalah telah menista Yesus. Sebelumnya Pengadilan Tinggi Kupang menjatuhkan vonis 18 bulan penjara, namun Mahkamah Agung mengembalikan masa hukuman selama enam bulan seperti vonis Pengadilan Negeri Kalabahi.

Kasus ini boleh jadi baru pertama kali terjadi di Indonesia, dipenjara karena mempertanyakan kebenaran agamanya sendiri. Lamboan Djahamao mempertanyakan kelahiran Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 Desember di akun Facebooknya dengan menulis “Ajaran Gereja bisa salah dan menyesatkan karena tidak ada satu pun ayat yang mencatat kalau Yesus lahir pada 25 Desember.” Meski ia mengaku Kristen, dalam pledoinya Lamboan Djahamao berterima kasih pada Majelis Ulama Indonesia yang mefatwakan tanggal 25 Desember sebagai budaya kafir.

Seiring dengan perkembangan teknologi internet, banjir arus informasi melanda umat beragama. Beberapa tahun belakangan ini, polemik soal Natal sebagai hari kelahiran Yesus mencuat di kalangan umat Kristen yang sebetulnya berawal dari situs-situs non-Kristen.

Tanggal 25 Desember disebutkan dirayakan oleh orang-orang Romawi dalam bentuk Festival Saturnalis guna memperingati Kelahiran Dewa Matahari (Natalis Solis Invicti). Meski Romawi kemudian menjadi kerajaan Kristen sejak tahun 313 Masehi, Festival Saturnalia dituding terus diperingati dalam bentuk perayaan Natal.

Tradisi pagan?

Tuduhan Natal adalah perayaan pagan yang dicomot dari tradisi pra-Kristen menurut Yogie Prihantoro, M.Th lulusan The Center for Middle Eastern Christianity-ETSC dan Dominican Institute for Oriantal Studies, Kairo ini sebagai ‚kengawuran‘ dan tidak ilmiah.

Dalam sebuah percakapan, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Semitik Moriah di Tangerang, Jawa Barat ini menyebut ada tiga fakta tentang Natal yang berkaitan erat dengan peringatan kelahiran Yesus yang sangat penting bagi umat Kristen.

Fakta pertama, Yogie Prihantoro merujuk dari tulisan Bapa Gereja Santo Hyppolitus yang hidup pada tahun 170-235 Masehi yang dicatat dalam buku berjudul, “Commentary on Prophet Daniel 4:3” (Komentar Atas Nabi Daniel 4:3) yang tertulis, “Untuk kedatangan TUHAN kita yang pertama sebagai manusia yang telah lahir di Betlehem delapan hari sebelum Januari, hari keempat dalam minggu itu, pada tahun ke-42 pemerintahan Kaisar Agustus.”

Fakta kedua bersumber dari buku berjudul “The Coptic Didascalia” yang ditulis pada tahun 189 Masehi yang menulis, “Saudara-saudaraku, tetapkanlah hari-hari perayaan junjungan agung kita (Yesus Kristus) tepatnya di setiap tanggal 25 bulan kesembilan kalender Ibrani (Kislev) atau setiap tanggal 29 bulan keempat kalender Mesir (Kyakh).”

Bulan Kislev mengacu pada kalender Gregorian atau Masehi jatuh pada bulan November atau Desember. Di masa itu Natal sudah dirayakan oleh jemaat gereja generasi awal.

Lebih lanjut, kolektor naskah-naskah Alkitab kuno ini menambahkan fakta ketiga yang menegaskan perayaan Natal sudah lebih dulu diperingati oleh umat Kristen baru kemudian ditetapkan sebagai pemujaan terhadap Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tahun 274 Masehi oleh Kaisar Markus Aurelius Probus.

Penentuan tanggal kelahiran

Meski Natal bukan tradisi pagan yang berkaitan dengan dewa-dewa, umat Kristen masih mempersoalkan tanggal dan bulan kelahiran Yesus Kristus. Polemik umumnya berawal pada kisah kelahiran Yesus yang terdapat di Alkitab yang menyebutkan malaikat mendatangi para gembala di padang guna memberitahukan kelahiran seorang juruselamat.

Jika Yesus Kristus lahir pada bulan Desember maka di Betlehem sedang berada dalam musim dingin, sehingga tidak mungkin ada gembala menjaga domba di padang rumput. Untuk menjawab soal ini, kita patut mengetahui di masa itu domba-domba dipelihara di dalam gua-gua, sehingga meski cuaca dingin gembala-gembala tetap akan menjaga domba di dalam gua yang terletak di padang.

Gereja Kelahiran Yesus (Nativity Church) di Betlehem dibangun oleh Ratu Helena dari Byzantium di atas bekas gua yang dianggap sebagai lokasi Maria melahirkan Yesus. Karena itulah umat Katolik umumnya mengenal “Gua Maria” karena gua menjadi lokasi peristiwa luar biasa, yakni seorang perawan Yahudi melahirkan bayi yang kelak memiliki pengikut terbesar di seluruh dunia yakni sekitar 2,4 milyar orang.

Meski argumentasi bulan Desember sebagai musim dingin bisa diterima sebagai bulan kelahiran Yesus. Namun sesungguhnya banyak umat Kristen yang melupakan fakta bahwa Yesus Kristus lahir dari keluarga Yahudi yang memiliki perhitungan bulan berbeda dengan kalender Masehi.

Alkitab menyediakan informasi detail namun tersembunyi mengenai waktu kelahiran Yesus Kristus. Pertama bisa dilihat dari kisah kelahiran Yohanes Pembaptis yang mendahului kisah kelahiran Yesus Kristus.

Dalam Lukas 1:5-25 dijabarkan tentang imam di Bait Suci bernama Zakharia yang mendapat kabar dari malaikat tentang kelahiran anak yang ia nanti-nantikan (Yohanes Pembaptis).

Dalam tradisi Yahudi yang tertulis dalam Alkitab, seorang imam mempunyai jadwal yang teratur untuk melayani di dalam Bait Suci. Imam Zakharia termasuk dalam rombongan Abia.

Rombongan Abia adalah rombongan ke delapan dari 24 rombongan imam yang ada (lihat di 1 Tawarikh 24:1-19). Jika dihitung maka saat Imam Zakharia menjalani tugasnya terjadi pada bulan ke empat (Tammuz), dengan demikian diperkirakan persetubuhan akan terjadi setelah masa tugas yakni pada bulan ke lima kalender Yahudi. Sembilan bulan kemudian Yohanes Pembaptis lahir pada bulan Iyar (bulan kedua kalender Ibrani) yang jatuh pada bulan April atau Mei.

Dari Alkitab pula diketahui Maria, ibu Yesus Kristus yang sedang mengandung di bulan pertama berkunjung ke rumah Elizabet, ibu Yohanes Pembaptis yang sedang mengandung di bulan keenam (Lukas 1:36). Berpatokan pada informasi inilah maka bisa dihitung bulan kelahiran Maria setelah mengandung selama sembilan bulan yakni melahirkan pada bulan Tishri yang jatuh pada bulan September atau Oktober menurut kalender Masehi.

Berdasarkan perhitungan kalender Yahudi ini maka Yesus diperkirakan lahir pada bulan September atau Oktober berdekatan dengan Hari Raya Yahudi Sukkot (Feast of Tabernacle) yang dianggap memenuhi nubuatan tentang nama Yesus sebagai Imanuel yang berarti TUHAN ada bersama-sama dengan manusia. Jika Yesus lahir pada bulan September atau Oktober sesuai kalender Yahudi, dengan demikian Lamboan Djahamao sepatutnya tidak perlu dipenjarakan karena status Facebooknya bukan penistaan agama tetapi pertanyaan agama yang bisa dijawab secara ilmiah, tanpa perlu ada gugat-menggugat.

Makna Natal menepis polemik

Sebagai ranah privat, berkeyakinan dan beragama memang urusan pribadi. Namun keinginantahuan umat Kristen yang disampaikan lewat media sosial secara publik idealnya tidak perlu berakhir di depan hakim. Keinginantahuan pada religiusitas sesungguhnya sangat bagus dimiliki setiap individu ketimbang beragama tanpa pengertian, beribadah tanpa pengetahuan dan beriman tanpa nalar. Pertanyaan tentang iman sejatinya harus dilihat sebagai bentuk pembelajaran dan proses memperdalam pengenalan akan Tuhan tanpa kehilangan daya kritis.

Kasus Lamboan Djahamao di Nusa Tenggara Timur tak perlu terjadi dan jangan sampai terulang kembali sebab yang terpenting dari kelahiran Yesus Kristus adalah mempercayai bahwa Natal adalah peristiwa yang benar terjadi dua ribu tahun lampau ketika Tuhan menjadi manusia dan berada di antara manusia (Imanuel).

Perbedaan tanggal dan bulan hanya soal kronologi, bukan teologi. Kapan merayakan Natal bukan persoalan utama dan bisa dikompromikan, buktinya dua aliran Kristen yakni Gereja Kristen Timur dan Gereja Kristen Barat merayakan Natal pada tanggal yang berbeda-beda. Gereja Orthodox (Kristen Timur) menggunakan kalender versi Julian yang berlaku sejak masa Kaisar Romawi Julius (Julius Caesar) yang menetapkan Natal pada tanggal 7 Januari, sedangkan Gereja Roma Katolik dan Gereja Protestan (Kristen Barat) menggunakan rujukan kalender Gregorian versi Paus Gregory XIII yang merayakan Natal pada tanggal 25 Desember.

Tampaknya perbedaan tanggal kelahiran Yesus Kristus yang sudah berlangsung ribuan tahun tidak menjadi masalah krusial. Menurut Yogi Prihantoro yang pernah kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir umat Kristen di Mesir merayakan Natal dua kali karena Kristen Koptik yang lebih banyak jumlah pengikutnya merayakan Natal pada 7 Januari sementara umat Kristen Katolik Roma dan Protestan yang lebih sedikit jumlah pengikutnya merayakan Natal pada 25 Desember.

Meski dalam perbedaan waktu perayaan, tujuan merayakan Natal adalah ucapan syukur atas nuzulnya Sang Kalimatullah (Firman Allah) yang telah menjadi manusia Yesus Kristus. Memahami makna Natal jauh lebih penting daripada sekadar seremoni tanpa esensi. Selamat merayakan Natal 25 Desember dan 7 Januari. (hp)

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.Foto: Monique Rijkers
sumber: dw.comAPAN YESUS LAHIR?*

Monique Rijkers – Benarkah Yesus ulang tahun setiap tanggal 25 Desember? Beberapa tahun belakangan ini umat Kristen mempertanyakan rujukan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. Monique Rijkers mengulik soal polemik Natal ini.

Selain tidak ada satupun ayat yang spesifik, Natal dianggap sebagai tradisi pagan yang diadopsi menjadi peringatan agama Kristen. Hal ini menimbulkan polemik sehingga sejumlah kalangan tidak lagi merayakan Natal meski beragama Kristen.

Seorang warga Alor di Nusa Tenggara Timur pada November 2019 silam menerima putusan kasasi hukuman penjara selama enam bulan karena dianggap bersalah telah menista Yesus. Sebelumnya Pengadilan Tinggi Kupang menjatuhkan vonis 18 bulan penjara, namun Mahkamah Agung mengembalikan masa hukuman selama enam bulan seperti vonis Pengadilan Negeri Kalabahi.

Kasus ini boleh jadi baru pertama kali terjadi di Indonesia, dipenjara karena mempertanyakan kebenaran agamanya sendiri. Lamboan Djahamao mempertanyakan kelahiran Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 Desember di akun Facebooknya dengan menulis “Ajaran Gereja bisa salah dan menyesatkan karena tidak ada satu pun ayat yang mencatat kalau Yesus lahir pada 25 Desember.” Meski ia mengaku Kristen, dalam pledoinya Lamboan Djahamao berterima kasih pada Majelis Ulama Indonesia yang mefatwakan tanggal 25 Desember sebagai budaya kafir.

Seiring dengan perkembangan teknologi internet, banjir arus informasi melanda umat beragama. Beberapa tahun belakangan ini, polemik soal Natal sebagai hari kelahiran Yesus mencuat di kalangan umat Kristen yang sebetulnya berawal dari situs-situs non-Kristen.

Tanggal 25 Desember disebutkan dirayakan oleh orang-orang Romawi dalam bentuk Festival Saturnalis guna memperingati Kelahiran Dewa Matahari (Natalis Solis Invicti). Meski Romawi kemudian menjadi kerajaan Kristen sejak tahun 313 Masehi, Festival Saturnalia dituding terus diperingati dalam bentuk perayaan Natal.

Tradisi pagan?

Tuduhan Natal adalah perayaan pagan yang dicomot dari tradisi pra-Kristen menurut Yogie Prihantoro, M.Th lulusan The Center for Middle Eastern Christianity-ETSC dan Dominican Institute for Oriantal Studies, Kairo ini sebagai ‚kengawuran‘ dan tidak ilmiah.

Dalam sebuah percakapan, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Semitik Moriah di Tangerang, Jawa Barat ini menyebut ada tiga fakta tentang Natal yang berkaitan erat dengan peringatan kelahiran Yesus yang sangat penting bagi umat Kristen.

Fakta pertama, Yogie Prihantoro merujuk dari tulisan Bapa Gereja Santo Hyppolitus yang hidup pada tahun 170-235 Masehi yang dicatat dalam buku berjudul, “Commentary on Prophet Daniel 4:3” (Komentar Atas Nabi Daniel 4:3) yang tertulis, “Untuk kedatangan TUHAN kita yang pertama sebagai manusia yang telah lahir di Betlehem delapan hari sebelum Januari, hari keempat dalam minggu itu, pada tahun ke-42 pemerintahan Kaisar Agustus.”

Fakta kedua bersumber dari buku berjudul “The Coptic Didascalia” yang ditulis pada tahun 189 Masehi yang menulis, “Saudara-saudaraku, tetapkanlah hari-hari perayaan junjungan agung kita (Yesus Kristus) tepatnya di setiap tanggal 25 bulan kesembilan kalender Ibrani (Kislev) atau setiap tanggal 29 bulan keempat kalender Mesir (Kyakh).”

Bulan Kislev mengacu pada kalender Gregorian atau Masehi jatuh pada bulan November atau Desember. Di masa itu Natal sudah dirayakan oleh jemaat gereja generasi awal.

Lebih lanjut, kolektor naskah-naskah Alkitab kuno ini menambahkan fakta ketiga yang menegaskan perayaan Natal sudah lebih dulu diperingati oleh umat Kristen baru kemudian ditetapkan sebagai pemujaan terhadap Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tahun 274 Masehi oleh Kaisar Markus Aurelius Probus.

Penentuan tanggal kelahiran

Meski Natal bukan tradisi pagan yang berkaitan dengan dewa-dewa, umat Kristen masih mempersoalkan tanggal dan bulan kelahiran Yesus Kristus. Polemik umumnya berawal pada kisah kelahiran Yesus yang terdapat di Alkitab yang menyebutkan malaikat mendatangi para gembala di padang guna memberitahukan kelahiran seorang juruselamat.

Jika Yesus Kristus lahir pada bulan Desember maka di Betlehem sedang berada dalam musim dingin, sehingga tidak mungkin ada gembala menjaga domba di padang rumput. Untuk menjawab soal ini, kita patut mengetahui di masa itu domba-domba dipelihara di dalam gua-gua, sehingga meski cuaca dingin gembala-gembala tetap akan menjaga domba di dalam gua yang terletak di padang.

Gereja Kelahiran Yesus (Nativity Church) di Betlehem dibangun oleh Ratu Helena dari Byzantium di atas bekas gua yang dianggap sebagai lokasi Maria melahirkan Yesus. Karena itulah umat Katolik umumnya mengenal “Gua Maria” karena gua menjadi lokasi peristiwa luar biasa, yakni seorang perawan Yahudi melahirkan bayi yang kelak memiliki pengikut terbesar di seluruh dunia yakni sekitar 2,4 milyar orang.

Meski argumentasi bulan Desember sebagai musim dingin bisa diterima sebagai bulan kelahiran Yesus. Namun sesungguhnya banyak umat Kristen yang melupakan fakta bahwa Yesus Kristus lahir dari keluarga Yahudi yang memiliki perhitungan bulan berbeda dengan kalender Masehi.

Alkitab menyediakan informasi detail namun tersembunyi mengenai waktu kelahiran Yesus Kristus. Pertama bisa dilihat dari kisah kelahiran Yohanes Pembaptis yang mendahului kisah kelahiran Yesus Kristus.

Dalam Lukas 1:5-25 dijabarkan tentang imam di Bait Suci bernama Zakharia yang mendapat kabar dari malaikat tentang kelahiran anak yang ia nanti-nantikan (Yohanes Pembaptis).

Dalam tradisi Yahudi yang tertulis dalam Alkitab, seorang imam mempunyai jadwal yang teratur untuk melayani di dalam Bait Suci. Imam Zakharia termasuk dalam rombongan Abia.

Rombongan Abia adalah rombongan ke delapan dari 24 rombongan imam yang ada (lihat di 1 Tawarikh 24:1-19). Jika dihitung maka saat Imam Zakharia menjalani tugasnya terjadi pada bulan ke empat (Tammuz), dengan demikian diperkirakan persetubuhan akan terjadi setelah masa tugas yakni pada bulan ke lima kalender Yahudi. Sembilan bulan kemudian Yohanes Pembaptis lahir pada bulan Iyar (bulan kedua kalender Ibrani) yang jatuh pada bulan April atau Mei.

Dari Alkitab pula diketahui Maria, ibu Yesus Kristus yang sedang mengandung di bulan pertama berkunjung ke rumah Elizabet, ibu Yohanes Pembaptis yang sedang mengandung di bulan keenam (Lukas 1:36). Berpatokan pada informasi inilah maka bisa dihitung bulan kelahiran Maria setelah mengandung selama sembilan bulan yakni melahirkan pada bulan Tishri yang jatuh pada bulan September atau Oktober menurut kalender Masehi.

Berdasarkan perhitungan kalender Yahudi ini maka Yesus diperkirakan lahir pada bulan September atau Oktober berdekatan dengan Hari Raya Yahudi Sukkot (Feast of Tabernacle) yang dianggap memenuhi nubuatan tentang nama Yesus sebagai Imanuel yang berarti TUHAN ada bersama-sama dengan manusia. Jika Yesus lahir pada bulan September atau Oktober sesuai kalender Yahudi, dengan demikian Lamboan Djahamao sepatutnya tidak perlu dipenjarakan karena status Facebooknya bukan penistaan agama tetapi pertanyaan agama yang bisa dijawab secara ilmiah, tanpa perlu ada gugat-menggugat.

Makna Natal menepis polemik

Sebagai ranah privat, berkeyakinan dan beragama memang urusan pribadi. Namun keinginantahuan umat Kristen yang disampaikan lewat media sosial secara publik idealnya tidak perlu berakhir di depan hakim. Keinginantahuan pada religiusitas sesungguhnya sangat bagus dimiliki setiap individu ketimbang beragama tanpa pengertian, beribadah tanpa pengetahuan dan beriman tanpa nalar. Pertanyaan tentang iman sejatinya harus dilihat sebagai bentuk pembelajaran dan proses memperdalam pengenalan akan Tuhan tanpa kehilangan daya kritis.

Kasus Lamboan Djahamao di Nusa Tenggara Timur tak perlu terjadi dan jangan sampai terulang kembali sebab yang terpenting dari kelahiran Yesus Kristus adalah mempercayai bahwa Natal adalah peristiwa yang benar terjadi dua ribu tahun lampau ketika Tuhan menjadi manusia dan berada di antara manusia (Imanuel).

Perbedaan tanggal dan bulan hanya soal kronologi, bukan teologi. Kapan merayakan Natal bukan persoalan utama dan bisa dikompromikan, buktinya dua aliran Kristen yakni Gereja Kristen Timur dan Gereja Kristen Barat merayakan Natal pada tanggal yang berbeda-beda. Gereja Orthodox (Kristen Timur) menggunakan kalender versi Julian yang berlaku sejak masa Kaisar Romawi Julius (Julius Caesar) yang menetapkan Natal pada tanggal 7 Januari, sedangkan Gereja Roma Katolik dan Gereja Protestan (Kristen Barat) menggunakan rujukan kalender Gregorian versi Paus Gregory XIII yang merayakan Natal pada tanggal 25 Desember.

Tampaknya perbedaan tanggal kelahiran Yesus Kristus yang sudah berlangsung ribuan tahun tidak menjadi masalah krusial. Menurut Yogi Prihantoro yang pernah kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir umat Kristen di Mesir merayakan Natal dua kali karena Kristen Koptik yang lebih banyak jumlah pengikutnya merayakan Natal pada 7 Januari sementara umat Kristen Katolik Roma dan Protestan yang lebih sedikit jumlah pengikutnya merayakan Natal pada 25 Desember.

Meski dalam perbedaan waktu perayaan, tujuan merayakan Natal adalah ucapan syukur atas nuzulnya Sang Kalimatullah (Firman Allah) yang telah menjadi manusia Yesus Kristus. Memahami makna Natal jauh lebih penting daripada sekadar seremoni tanpa esensi. Selamat merayakan Natal 25 Desember dan 7 Januari. (hp)

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.Foto: Monique Rijkers
sumber: dw.com

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.