PIALA DUNIA 2022: SALIMA MUKASANGA BERHARAP BISA ‘MEMBUKA PINTU’ BAGI WASIT PEREMPUAN

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES
Keterangan gambar,
Wasit Salima Mukansanga mencetak sejarah di Piala Bangsa-Bangsa Afrika tahun ini, dan akan melakukannya lagi di Piala Dunia.

Salima Mukansanga, warga Rwanda, berharap terpilihnya dia sebagai wasit di Piala Dunia 2022, akan membuka pintu bagi calon-calon wasit perempuan lainnya di Afrika. Ini pertama kalinya seorang perempuan menjadi ‘pengadil di lapangan’ dalam 92 tahun sejarah kompetisi sepak bola bergengsi itu.

Awal tahun ini, dia menjadi perempuan pertama yang memimpin laga di Piala Afrika, yang pertama kali diadakan pada 1958, sementara tahun lalu dia menjadi wasit di Olimpiade Tokyo.

Perempuan berusia 34 tahun itu berharap bahwa menjadi satu dari enam perempuan pionir – bersama wasit Stephanie Frappart dan Yoshimi Yamashita serta tiga asisten wasit – dalam turnamen piala dunia putra itu akan menciptakan peluang bagi lebih banyak perempuan.

“Ini suatu kehormatan dan keistimewaan karena tidak pernah terjadi sebelumnya,” kata Mukansanga kepada BBC Sport Africa.

“Artinya Anda akan menjadi yang pertama dan akan membuka pintu bagi perempuan lain, terutama di Afrika.

“Anda membawa banyak beban di pundak Anda dan Anda harus melakukannya dengan baik, sehingga orang lain dapat melihat bahwa pintunya terbuka dan mereka juga dapat melewatinya.

“Itu berarti peluang itu ada — dan terserah kita untuk mengambilnya dan menjadi produktif darinya.”

Menjadi wasit untuk badan sepak bola dunia FIFA sejak 2012, Mukansanga memenangkan tempatnya di beberapa panggung olah raga terbesar setelah mengalami rentetan penolakan pada awal perjalanan hidupnya.

Penolakan awal

Sebagai seorang gadis muda, dia memilih berkonsentrasi pada sepak bola setelah diberi tahu bahwa dia belum cukup umur untuk menjadi bagian dari tim bola basket U-17 nasional — tetapi akhirnya sepak bola lah yang menyulut semangat dalam dirinya.

“Ketika saya pergi menonton pertandingan, saya melihat orang-orang di dalam [lapangan] yang disebut wasit,” jelasnya di Piala Afrika pada Januari.

“Mereka bisa mengambil keputusan dan mengubah segalanya di lapangan, jadi saya bersemangat dan sejak saat itu, ketika saya masih di sekolah dasar, saya mulai memikirkan orang-orang itu.”

Dia mulai menjadi wasit di sekolah menengah, dan dia belajar dengan cepat.

“Saya tidak tahu banyak yang harus dilakukan – aturan yang harus diikuti, mentalitas, serta sikap profesional – tapi saya mulai belajar selangkah demi selangkah.

“Itu sangat sulit. Ketika Anda membaca aturan permainan, itu mudah untuk dipahami tetapi di lapangan, perlu waktu untuk terbiasa dengan pekerjaan ini.”

Karier singkatnya sebagai pemain amatir menuntunnya pada sebuah iklan tentang pelatihan untuk menjadi wasit.

Namun setelah mendekati PSSI-nya Rwanda (Ferwafa) untuk bergabung dalam kursus wasit itu, dia ditolak karena usianya terlalu muda.

Maka, sosok dengan kepribadian halus, namun memiliki tekad kuat ini, memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dirinya sendiri dan belajar tentang peraturan sepak bola FIFA secara mandiri.

Kerja kerasnya dihargai ketika dia akhirnya diberi kesempatan oleh Frwara untuk belajar dengan calon wasit lainnya.

Perjalanan berkelok-kelok Mukansanga telah membawanya dari menjadi wasit pertandingan liga putra di Rwanda, ke Piala Bangsa-Bangsa Wanita 2016, Piala Dunia Wanita 2019, dan Olimpiade Tokyo.

Pada 18 Januari, tonggak yang lebih besar – berada di tengah kemenangan Zimbabwe atas Guinea – datang selama Piala Bangsa-Bangsa Afrika putra di Kamerun. Dalam pertandingan tersebut, Mukansanga membagikan enam kartu kuning dan memisahkan pemain yang bertengkar dalam penampilan yang tenang dan terpuji.

“Setelah peluit akhir, saya benar-benar emosional — saya sangat, sangat bahagia,” katanya kepada wartawan saat itu.

“Saya tidak sendirian di lapangan. Emosi itu datang dari rekan-rekan saya dan itu menghasilkan kebahagiaan – karena kami membuat sejarah dan membuat permainan berjalan lancar.

“Kami layak berada di sini. Kami memiliki latar belakang kami, dan dari situ muncul semangat dan kerja keras dan inilah buahnya.”

Namun, untuk menikmati manisnya kemenangan seperti itu dia perlu bertahun-tahun mengatasi rintangan.

Sebuah ‘tonggak yang luar biasa’

Mukansanga menjadi wasit di pertandingan sepak bola di tempat tertinggi di dunia di Gunung Kilimanjaro di Tanzania lima tahun lalu.

Tak lama setelah prestasinya di Piala Bangsa-Bangsa, Mukansanga – yang tugasnya hanya memimpin pertandingan – menguraikan beberapa tantangan yang dia hadapi untuk sukses, mulai dari perbedaan seksual dan budaya hingga biologi dasar.

“Kami mengalami menstruasi – jadi kadang-kadang Anda tidak dapat berlari atau memimpin pertandingan,” dia menerangkan.

“Kalau sedang hamil – Anda tidak bisa lari. Kami melahirkan – jadi butuh waktu untuk pemulihan, mempersiapkan tubuh lagi untuk pertandingan berikutnya.

“Kecepatan pria ada di level teratas jadi kadang-kadang saya tidak bisa berlari seperti pria, tapi saya bisa berbuat lebih banyak, berusaha lebih keras, untuk setidaknya berada di kecepatan yang sama, menjaga jarak dengan pemain dan mempertahankan sudut pandang yang bagus.”

Sesi latihan dan tes kebugarannya dilakukan bersama pria, dengan Mukansanga sangat berterima kasih kepada FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Afrika (Caf) untuk kelas kepelatihan mereka.

Setelah menghadapi sambutan dingin di pertandingan putra, sang perempuan asal Rwanda – yang membuat keputusan cepat di lapangan – menerima tantangan pekerjaan.

“Dalam bidang yang didominasi laki-laki, Anda perlu bekerja dua kali lebih keras – kemudian memiliki passion, karena tanpa passion ini Anda akan lelah dan kemudian meninggalkannya,” jelasnya.

“Tapi kami tidak ingin berhenti. Kami harus selangkah lebih maju dan bekerja, sukses, dan berjuang bersama.”

Kepala instruktur wasit Caf Jerome Damon yakin Mukansanga pantas mendapatkannya.

“Ini benar-benar tonggak yang luar biasa – dia berada dalam posisi unik di mana dia adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa pergi ke Piala Dunia pria senior dan Piala Dunia Wanita senior,” kata Damon.

“Itu tidak pernah dilakukan sebelumnya, sehingga ini menunjukkan bagaimana perwasitan dan perkembangannya di Afrika.”

Mendukung perempuan akan ‘berbuah’

Awal tahun ini, FIFA mengatakan penunjukan ofisial perempuan untuk Piala Dunia pria, yang pertandingannya di Qatar belum diumumkan, merupakan “proses panjang”.

“Yang penting bagi kami adalah kualitas dan bukan jenis kelamin,” lanjut Pierluigi Collina, ketua komite wasit FIFA.

“Saya berharap ke depan, pemilihan ofisial elite pertandingan putri untuk pertandingan penting putra dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

“Mereka pantas berada di Piala Dunia karena mereka selalu menunjukkan performa di level yang sangat tinggi.”

Mukansanga akan bergabung di Qatar bersama Frappart dari Prancis dan Yamashita dari Jepang, serta asisten wasit Neuza Back dari Brasil, Karen Diaz Medina dari Meksiko dan Kathryn Nesbitt dari Amerika Serikat.

“Kami akan bekerja sama untuk kesuksesan perempuan,” kata Mukansanga.

“Jika seorang perempuan mendukung perempuan lain, tentu Anda akan melihat buahnya.

“Ada halangan, hambatan, dan tantangan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berjuang dengan mentalitas yang kuat, komitmen, dan usaha seratus persen – maka kita akan mengatasinya.”

Mukansanga tahu akan ada pengawasan ekstra padanya mengingat perhatian pada turnamen sepak bola terbesar itu.

“Orang-orang tidak akan selalu senang dengan Anda. Jadi, terserah Anda untuk melakukan apa yang harus Anda lakukan — tetap di jalur, jangan keluar dari interpretasi Aturan Permainan dan apa yang dituntut permainan.

“Dan kemudian, pada akhirnya, orang akan berkata: ‘Ya, dia benar’.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.