PERJALANAN 11 HARI MEMBELAH LAUTAN ES MENUJU SALAH SATU TEMPAT TAK BERTUAN TERAKHIR DI BUMI

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES
Keterangan gambar,
Setiap musim panas, kapal pemecah es bertenaga nuklir terbesar di dunia, 50 Let Pobedy, menjelma menjadi kapal eksplorasi yang membawa pelancong ke Kutub Utara.

David De Vleeschauwer & Debbie Pappyn
BBC Travel

Kutub Utara adalah destinasi yang sukar dipahami, namun perjalanan ke ujung dunia ini dapat membantu para pelancong memahami kekuatan sekaligus kerapuhan Bumi yang terus berubah.

Bumi ini dipenuhi dengan tempat-tempat yang menakjubkan, namun masih ada banyak sudut-sudut dunia yang jauh dan jarang dilihat orang.

Dalam buku yang akan segera dirilis berjudul “Remote Experiences: Extraordinary Travels from North to South”, fotografer David De Vleeschauwer dan jurnalis Debbie Pappyn melakukan perjalanan ke 12 wilayah paling tersembunyi, belum dipetakan, dan terpencil di dunia yang tidak tersentuh oleh pariwisata.

Dengan pergi ke tempat-tempat yang tidak dikunjungi oleh banyak orang, keduanya berharap bisa mendorong orang-orang bepergian lebih lambat dan terarah, demi merawat lebih baik planet yang sama-sama kita tinggali ini.

Tidak dimiliki oleh siapa pun, namun diklaim oleh banyak pihak, Kutub Utara yang penuh teka-teki ini sebenarnya adalah lapisan es yang terus menerus bergeser di tengah Samudra Arktik.

Setiap musim panas, kapal pemecah es bertenaga nuklir terbesar dan terkuat di dunia, 50 Let Pobedy, berlayar ke Kutub Utara membawa 100 penumpang di dalamnya. Semuanya ingin menginjakkan kaki di puncak geografis dunia.

Bagi kebanyakan dari mereka, momen ini lebih dari sekedar mewujudkan salah satu daftar keinginan. Ini semua tentang perjalanan.

Ketika kapal itu memecahkan lapisan es setebal tiga meter dalam perjalanan ke sana, suaranya terdengar benar-benar kasar.

Nama kapal itu, 50 Let Pobedy, berarti “50 Tahun Kemenangan” dalam bahasa Rusia, yang mengacu pada peringatan 50 tahun kemenangan Uni Soviet dalam Perang Dunia Kedua.

Untuk memperingati peluncurannya, kapal itu pernah membawa obor Olimpiade ke Kutub Utara pada 2013 menjelang Olimpiade Musim Dingin Sochi.

Dengan sepasang reaktor nuklir berdaya 171 megawatt dan dua generator turbo uap 27,6 megawatt, kapal pemecah es sepanjang 160 meter itu bisa melaju dengan kecepatan 21,4 knot atau hampir 40 kilometer per jam.

Kapal itu bisa berlayar tanpa henti selama hampir enam tahun tanpa perlu merapat ke darat untuk mengisi bahan bakar.

Berkat reaktor nuklir, penghentian untuk mengisi bahan bakar bagaikan masa lalu.

Kapal 50 Let Pobedy bisa berlayar tanpa perlu berhenti di darat untuk mengisi bahan bakar hingga enam tahun berkat tenaga nuklir yang dimilikinya.

Misi utama kapal ini adalah membawa kapal kargo berukuran super besar melalui jalur Timur Laut yang beku pada musim dingin.

Selama musim panas, kapal ini pun berubah menjadi kapal ekspedisi untuk eksplorasi dan petualangan, yang berlayar dari pelabuhan asalnya di Murmansk.

Dari situ, kapal berlayar ke arah Franz Josef Land yang mistis, di mana hanya kapal Rusia yang boleh berlabuh.

Perjalanan jauh ke utara ini mengingatkan akan keeksentrikan para penjelajah sebelumnya yang tidak terhalang oleh situasi ekstream atau takut dengan situasi yang menantang.

Setelah meninggalkan Murmansk, butuh waktu dua hari untuk mencapai area bongkahan es.

Ini adalah wilayah para beruang kutub, di mana pengunjung manusia harus tunduk pada serangkaian aturan baru.

Dari titik ini sampai seterusnya, ada kesunyian yang membekukan, panorama putih yang luar biasa, dan kesuraman dari lautan dingin yang tampak tak berujung.

Ketika 50 Let Pobedy membelah lanskap kosong, deru gemuruh dari laju kapal yang stabil bergema melalui lambungnya yang berwarna merah.

Penumpang yang mengenakan berlapis-lapis pakaian tebal dan hangat berdiri di haluan, menyaksikan es terbelah, pecah satu per satu, diikuti oleh birunya Samudra Arktik yang bergelombang, seolah terengah-engah.

Ini bukanlah perjalanan laut biasa di atas kapal pesiar mewah.

Rute ke titik paling utara di planet ini, di mana sumbu rotasi Bumi bertemu permukaannya, membutuhkan waktu 11 hari yang melelahkan dengan laju kurang dari 20 kilometer per jam ketika menembus es.

Kehadiran beruang kutub memberi sensasi ekstra pada pelayaran ini. Di dunia yang beku ini, manusia bukanlah raja.

Bagi para pelancong, perjalanan ini bukan hanya untuk menginjakkan kaki di puncak dunia, tetapi juga untuk tenggelam dalam keindahan alam Arktik.

Menatap hamparan lautan es yang luas terasa menenangkan, bahkan membuat ketagihan.

Matahari tidak pernah terbenam saat musim panas di Arktik, namun cahayanya terus berubah, memantul pada lapisan es yang putih pucat.

Terkadang cuacanya dingin, kelabu, dan membosankan. Di hari-hari lain, ada kilauan cahaya dengan semburat merah muda atau jingga.

Lautan yang beku sering kali diselimuti oleh palet putih yang mengalir.

Panorama yang berubah-ubah itu bisa disaksikan dari dek kapal atau dari jendela di perut kapal yang hangat.

Kegembiraan pun bergejolak di dalam kapal ketika perjalanan akhirnya mencapai Kutub Utara, setelah berhari-hari berlayar.

Beberapa penumpang menggambarkan momen ini sebagai awal yang baru.

Inilah puncak dunia, inilah saatnya bersulang dengan vodka dingin. Semua penumpang berkumpul membentuk lingkaran dan mengangkat gelas mereka, bersulang dengan gembira.

Momen ini terasa penuh kemenangan. Lalu terjadi Polar Plunge yang sebenarnya tidak lebih dari berenang di Samudra Arktik. Sensasi yang mungkin hanya bisa dirasakan sekali seumur hidup.

Para pemberani itu melakukan pemanasan dengan wine rempah dan lebih banyak vodka, sementara awak kapal menyiapkan makan siang barbekyu di atas daratan es.

Hanya dalam beberapa jam di Kutub, kami menyaksikan matahari terbit, merasakan angin bertiup kencang, awan tiba hingga salju turun. Seolah ada empat musim dalam satu jam di puncak dunia.

Kutub Utara memang sulit dipahami: tempat ini tidak ingin ditaklukkan.

Penjangkaran pun berlangsung begitu singkat, hanya sekitar satu menit.

Begitu berlayar, kapal melayang sejauh dua mil atau sekitar empat kilometer.

Dalam perjalanan kembali ke selatan, kapal mencoba menelusuri kembali jejak-jejaknya di lapisan es yang tebal.

Begitu tiba di Pulau Hooker, perahu karet Zodiac membawa penumpang melintasi gletser yang menujulang tinggi di dekat Rubini Rock, demi menyaksikan tebing burung yang spektakuler, tempat bagi lebih dari 70.000 kittiwake, burung camar gading, auk kecil, dan sarang guillemot.

Pemandangan lautan luas yang penuh sesak dengan es dapat juga disaksikan melalui helikopter, termasuk pemandangan Franz Josef Land yang terpencil.

Penumpang juga diajak bergabung dengan tamasya udara ini untuk memahami betapa luasnya gurun beku ini.

Ketika helikopter mengudara, kapal baja raksasa itu seketika berubah menjadi bintik merah kecil di lautan putih yang terang dan berkilau.

Jejaknya di es masih terlihat, membentuk arteri di Samudra Arktik yang gelap dan dingin.

Helikopter menukik di sekitar kapal, membiarkan penumpang memahami betapa tak berujung dan tak lekang oleh waktu pemandangan ini.

Sebelum perjalanan ini, tidak ada yang menyadari bahwa panorama ini membentang sampai Kutub Utara.

Sekarang, setelah menginjakkan kaki di kutub pada lintang 90 derajat utara, para pelancong ini akhirnya memahami betapa luas dan besarnya selimut es putih tebal yang membentang di sekitar puncak dunia kita yang ekstrem dan terasa tak nyata ini.

Artikel ini diadaptasi dari buku yang akan dirilis berjudul Remote Experiences: Extraordinary Travels from North to South.

Versi bahasa Inggris dari artikel ini berjudul The North Pole: One of Earth’s last ‘un-owned’ lands dapat Anda baca di BBC Travel.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.