CHINA MENGHADAPI ‘INFEKSI COVID PALING PARAH’ USAI KEMATIAN PERTAMA DALAM ENAM BULAN

SUMBER GAMBAR,REUTERS
Keterangan gambar,
Beberapa wilayah di Beijing diberlakukan kebijakan penguncian saat kasus Covid melonjak

Beijing sedang menghadapi infeksi Covid-19 paling parah setelah pemerintah mengumumkan kematian akibat virus corona pertama di negara itu dalam enam bulan seiringnya melonjaknya kasus positif.

Tiga kematian dilaporkan tercatat di ibu kota China sejak Sabtu, sehingga jumlah kematian resmi di negara ini mencapai 5.229 kasus.

Kematian terbaru membuat sebagian kota yang menjadi rumah bagi lebih dari 21 juta orang, kembali diberlakukan penguncian alias lockdown.

Kasus kematian tersebut muncul di tengah aksi protes atas kebijakan nol-Covid China.

Strategi kontroversial –yang ditujukan untuk menekan penyebaran wabah– telah membuat jutaan orang “terkurung” dan warga yang dinyatakan positif Covid dikarantina secara paksa.

Di Beijing, pihak pemerintah telah menerapkan penguncian di Distrik Haidian dan Chaoyang. Begitu juga toko-toko, sekolah, dan restoran tutup.

Mereka yang berpergian ke ibu kota harus melakukan tes untuk tiga hari pertama kunjungan, dan tetap di dalam rumah sampai diberikan izin.

Jutaan orang lain di seluruh negeri juga berada di bawah kebijakan penguncian. Ini lantaran kasus positif terus melonjak meskipun ada upaya dari pihak otoritas.

Pada Minggu (20/11), setidaknya ada 24.730 kasus baru tercatat, mendekati puncak infeksi harian di bulan April lalu.

Pengetesan Covid-19 massal dan pelacakan kontak adalah bagian dari strategi nol-Covid China

Beijing melaporkan 316 kasus baru hingga pukul 15:00 waktu setempat di hari Senin (21/11), seperti dikutip dari Reuters. Di antara tiga kematian yang dilaporkan sejak Minggu sore, terdapat seorang pria berusia 87 tahun.

Wakil Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kota Beijing, Liu Xiaofeng, menggambarkan situasi di sana sangat kompleks dan terlihat sangat parah.

Sehari sebelumnya, seorang juru bicara kotamadya telah memperingatkan bahwa Beijing bakal menghadapi “situasi pencegahan epidemi yang suram dan rumit”, menurut surat kabar China Daily.

Sementara China mengatakan kebijakan nol-Covid yang ketat berarti kematian akibat virus corona jauh lebih sedikit daripada sebagian besar negara lain di dunia – meskipun angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.

Namun kisah soal perawatan darurat yang tertunda bagi orang yang sakit parah di fasilitas karantina bakal terulang.

Dalam beberapa hari terakhir gelombang kemarahan di media sosial mencuat, menyusul laporan seorang bayi meninggal karena perawatan medis terlambat akibat penguncian.

Awal bulan ini terjadi aksi demonstrasi di sebelah barat Kota Lanzhou setelah seorang ayah berkata keterlambatan membawa anak laki-lakinya yang masih balita ke rumah sakit menyebabkan kematian akibat keracunan karbon monoksida.

Kemudian di bulan Oktober, ada laporan seorang gadis remaja berusia 14 tahun di Provinsi Henan sekarat setelah jatuh sakit di pusat karantina.

Di tempat lain, pemimpin Hong Kong John Lee dinyatakan positif Covid, sehari setelah dia bertemu Presiden China Xi Jinping dalam pertemuan di Thailand.

Guangzhou kena lockdown setelah terjadi lonjakan kasus Covid baru-baru ini.

Warga bentrok dengan aparat di Guangzhou

Sebelumnya sekelompok warga di kota industri, Guangzhou, China bagian selatan, berusaha meloloskan diri dari wajib karantina wilayah alias lockdown. Mereka bentrok dengan polisi karena kemarahan sudah memuncak menyusul kebijakan pembatasan guna mencegah penularan virus corona.

Rekaman dramatis menunjukkan beberapa orang menjungkirbalikan kendaraan polisi dan merobohkan pembatas khusus – yang digunakan untuk membatasi mobilitas warga. Tim antihuru-hara telah dikerahkan di daerah tersebut.

Di tengah kemerosotan ekonomi, kebijakan nol-Covid di China kini berada di bawah tekanan yang besar.

Ketegangan telah meningkat di kawasan Distrik Haizhu, yang saat ini warganya berada dalam perintah agar tetap berada di rumah.

Wilayah ini adalah rumah bagi banyak buruh lepas yang miskin. Mereka mengeluh tak akan mendapat uang kalau tidak bekerja dan kekurangan makanan, di tengah melonjaknya biaya hidup di bawah kebijakan pengendalian Covid.

Selama beberapa malam, mereka bertikai dengan petugas penegak disiplin Covid berpakaian putih. Kemudian pada Senin malam, kemarahan warga tiba-tiba meledak sampai ke jalan-jalan Guangzhou dengan aksi pembangkangan massal.

Lagi-lagi, rumor yang tidak berdasar mengambil peran penting di balik itu semua.

Desas-desus yang menyebar adalah perusahaan tes Covid telah memalsukan hasil PCR. Dengan jumlah kasus yang tinggi artinya perusahaan bisa menghasilkan lebih banyak keuntungan.

Di bagian utara negara itu, rumor serupa juga telah memberi tekanan.

Pejabat di Provinsi Hebei mengumumkan bahwa kota Shijiazhuang akan menghentikan tes Covid secara massal. Tapi itu justru menimbulkan spekulasi bahwa populasi di sana akan digunakan sebagai kelinci percobaan. Mereka dipantau apa yang akan terjadi kalau virus dibiarkan menyebar tanpa terkendali.

Diskusi isu ini telah muncul di platform media sosial dengan tagar #ShijiazhuangCovidprevention.

Banyak penduduk setempat yang panik, lalu menimbun obat-obatan China yang disebut bisa membantu mengatasi infeksi Covid. Persediaannya di kota disebut hampir habis untuk saat ini.

Kabar burung serupa yang viral telah menyebabkan buruh secara besar-besaran minggat dari kawasan industri Foxcoon di pusat kota Zhengzou dua pekan lalu. Hal ini telah memukul rantai pasok global iPhones, Apple.

Pemerintah daerah di seluruh China sedang berjuang untuk mempertahankan pendekatan nol-Covid tanpa merusak ekonomi mereka. Namun, angka penjualan dari pabrik dan retail menunjukkan dampak yang menghancurkan akibat pandemi, dan kebijakan pemerintah dalam menanggulanginya.

Tidak ada satu pun provinsi yang melaporkan adanya nol kasus dalam beberapa hari terakhir.

Sekitar 20 juta orang di jantung kota besar Chongqing, China bagian barat, telah dikenakan kebijakan lockdown yang ironisnya oleh orang-orang disebut sebagai “manajemen statis sukarela”. Ini karena, meskipun belum ada pengumuman resmi, penduduk diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah oleh petugas setempat.

Pemerintah daerah di seluruh China sedang berjuang untuk mempertahankan pendekatan nol-Covid tanpa merusak ekonomi mereka.

Di dunia internet terdapat lelucon bahwa pemerintah kota Chongqing tidak ingin mengumumkan lockdown di hari yang sama ketika langkah-langkah pelonggaran nol-Covid di seluruh China diumumkan.

Karena upaya penanganan Covid masih mendominasi di sini, bahkan perubahan kecil dalam cara mengelolanya bisa menyebabkan kekhawatiran dan kepanikan.

Pada awal pekan ini, pejabat di distrik Chaoyang, Beijing, memutuskan untuk menutup banyak posko tes Covid di pinggir jalan, dan memindahkannya ke wilayah perumahan warga. Artinya, posko PCR makin berkurang. Masalahnya adalah banyak perkantoran yang membutuhkan hasil harian dari tes Covid itu untuk pegawainya, atau mereka tidak bisa masuk kerja.

Jadi, dari posko yang dibuka, antreannya makin panjang.

Dari buruh yang terperangkap di Tibet – yang berunjuk rasa agar bisa meninggalkan Lhasa – sampai lockdown di seluruh wilayah Xinjiang, kebijakan nol-Covid tidak berjalan mulus.

Serangkaian perubahan yang diumumkan pekan lalu telah sedikit mengurangi aturan nol-Covid. Hal ini dipandang akan lebih banyak pelonggaran yang mungkin terjadi. Tapi kalaupun pemerintah mempertimbangkan melonggarkannya, ini mungkin tidak dilakukan secara buru-buru.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.