Sejak Jokowi berkuasa, dia langsung tancap gas. Pembangunan infrastruktur yang sebelumnya diabaikan, dia genjot. Sehingga selama 8 tahun dia berkuasa, tiada hari tanpa kerja. Satu demi satu proyek infrastruktur diresmikan. Pembangkit listrik yang mangkrak era SBY di rampungkan. Jalan tol transjava dan Transumatera di canangkan SBY, tetapi di selesaikan Jokowi. Bandara dan pelabuhan serta KEK dia tuntaskan. Begitu juga irigasi dan bendungan dia bangun. Gebyar pembangunan terasa sekali.
Produktifitas sektor manufaktur terus meningkat. Terbukti sejak era Jokowi Purchasing Manager’s Index (PMI) ditas 50. Itu artinya tidak ada kontraksi. Padahal awal dia berkuasa PMI dibawah 50. Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap ekspor nasional terus meningkat dari USD108,6 Miliar pada tahun 2015 ke USD127,4 Miliar pada tahun 2019. Rata rata kontribusi ekspor industri manufaktur mencapai 75%. Padahal sejak 2000-2014) yang hanya menyentuh angka di bawah 70 persen dari total ekspor nasional.
Tapi dibalik kehebatan itu, ada yang miris. Apa ? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) sektor industri atas dasar harga berlaku (ADHB) senilai Rp877,8 triliun pada kuartal II 2022. Dengan demikian, kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional sebesar 17,84% dari total PDB. Padahal tahun 2013 mencapai 21,57%. Artinya kontribusi sektor industri menyusut 3,73 poin persentase selama kekuasaannya. Sementara pertumbuhan sektor industri rata rata 4,01%, atau dibawah pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data tersebut ada pertanyaan sederhana. Mengapa index PMI diatas 50, tidak terjadi peningkatan industri terhadap PDB, bahkan menurun? jawabnya adalah karena new comer industri engga bertambah significant. Peluang hanya ada pada pengusaha yang sudah eksis saja. Terutama sektor hilirisasi CPO dan nikel. Sementara itu Jokowi lebih focus kepada pengembangan dunia usaha IT, yang investasinya sama dengan ribuan pabrik, tetapi niltai tradeble nya rendah. Lebih besar rentenya.
Apa dampaknya? Rasio pajak terus menurun. Kalau tahun 2013 mencapai 13,60%, selama era Jokowi tidak pernah bisa melewati rasio era SBY. Dampak lebih luas adalah semakin tergantungnya APBN kepada hutang untuk membiayai APBN yang ekspansif. Sementara pertumbuhan ekonomi tidak pernah bisa diatas pertumbuhan era SBY. Selalu dibawah prestasi SBY.
Bagaimanapun setiap kebijakan tidak ada yang sempurna. Pasti ada yang dibangun tentu ada yang dikorbankan. Namun kedepan, peluang pengembangan potensi wilayah terbuka lebar, terutama terbukanya kantong kantong ekonomi baru akibat terbangun infrastruktur ekonomi yang massive itu. Nah itu tugas kepala daerah memanfaatkan ketersediaan infrastruktur untuk berkembangnya downstream SDA. Tugas presiden berikutnya adalah bagaimana mengembangkan industri agar semakin besar menyerap angkatan kerja dan kontribusi pajak.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb