BUS KURNIA

Oleh: Dahlan Iskan

YANG menaikkan harga BBM Sabtu lalu mungkin menyesal: mengapa tidak dulu-dulu. Enam bulan lalu, misalnya. Atau lebih awal lagi. Toh risiko sosialnya ternyata kurang lebih sama: ribut.

Kenaikan harga BBM memang ibarat momentum untuk hidup baru. Normal baru. Begitu diputuskan, banyak perhitungan harus dilakukan. Normal baru pun harus kita masuki ketika normal baru yang lama belum sepenuhnya normal.

Dan yang seperti itu sudah terjadi berkali-kali. Dulu maupun kini. Hanya yang sekarang beda: Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berlalu. Anda masih rajin pakai masker. Masker itulah yang mengingatkan Anda: “semenderita-menderita akibat kenaikan harga BBM masih lebih menderita terkena Covid”. Asal Anda tidak membandingkan dengan ini: sudah terkena Covid terkena kenaikan harga BBM pula.

Tapi mengalami penderitaan yang berat kadang positif juga: penderitaan apa pun setelah itu terasa lebih ringan.

Move on.

Kurnia pun move on: Kurnia Lesani Adnan.

Ia pemilik perusahaan bus Siliwangi Antar Nusa (SAN).

Dua tahun ia dipukul Covid-19. Kini ia dihantam lagi kenaikan harga BBM. Tidak baru. Ia sudah mengalami krisis berkali-kali dalam hidupnya. Selalu saja Kurnia mendapat karunia: bertahan sampai sekarang.

Ia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak peristiwa kenaikan harga BBM sepanjang perjalanannya sebagai pengusaha bus.

Pukulan terbesar yang pernah ia alami justru bukan oleh Covid atau kenaikan harga BBM. “Yang berat itu perubahan gaya hidup masyarakat,” ujarnya. Hampir saja itu mematikan bisnisnya. Juga bisnis teman-temannya. “Masyarakat tidak mau lagi naik bus yang asal-asalan,” ujar Kurnia.

Memang konsumen bus adalah orang berpenghasilan rendah. Tapi selera orang miskin pun kini sudah berubah. Kurnia segera menyadari itu. Ia ikut berubah. Bus-bus lama ia jual. Ganti bus baru. Dengan merek yang bergengsi. Agar lebih nyaman. Dengan jumlah kursi yang dikurangi. Dengan layanan yang berbeda. “Sekarang saya hanya bergerak di angkutan bus premium,” ujar Kurnia.

Bahkan Kurnia melangkah lebih jauh. Ia tidak akan mengejar status sebagai pemilik bus terbanyak. Kian banyak memiliki bus belum tentu kian sukses. Punya lebih banyak bus bukan berarti kian banyak dapat laba. Zaman berubah. “Bus saya kini tinggal 85 buah. Tapi semua premium,” ujarnya.

Bus Siliwangi menjalani rute jarak jauh: Bengkulu-Jakarta. Ada yang lebih jauh lagi: Pekanbaru (Riau) – Blitar (Jatim). Sejauh 2.400 km.

Soal tarif ia ikut saja gaya pemerintah: mengumumkan kenaikan tarifnya mendadak. Lima jam setelah pemerintah menaikkan harga BBM Siliwangi langsung ikut. Inilah kenaikan tarif bus tercepat. Siang masih tarif lama sore sudah tarif baru: Pekanbaru-Blitar Rp 740.000.

Apa pun perubahan di dunia ini Kurnia akan tetap menjadi pengusaha bus. Gen di darahnya adalah gen angkutan bus. Bapaknyalah yang mendirikan SAN. Di Bengkulu. Ayah Kurnia orang Bengkulu. Keturunan Pariaman.

Sang ayah, saat muda, seorang sopir. Pegawai Pemda. Ia sopir pejabat pemerintah di Bengkulu.

Tapi ia orang Minang.

Ia pilih berhenti. Ia menyukai mesin mobil. Ia bisa memperbaiki kerusakan apa pun. Maka, daripada berhenti, ia dipindah ke bagian perbengkelen di Pemda. Zaman itu semua Pemda punya bengkel mobil sendiri.

Ia jadi kepala bengkel.

Statusnya tetap pegawai.

Ia orang Minang.

Ia berhenti.

Sang ayah bersatu dengan kakaknya. Mereka membeli bus kecil. Elf. Bus mereka terus bertambah. Berkembang lagi ke bus besar. Terus pula bertambah.

Lalu pecah kongsi.

Sang ayah mendirikan SAN.

Kurnia lahir.

Nakal.

Sekolahnya ogah-ogahan. Untung bisa tamat SMP.

Sejak SMP, Kurnia sudah lebih senang ”sekolah” di bus. Ia ikut perjalanan jauh Bengkulu-Jakarta. Dan ke mana saja bus ayahnya berkelana. Syukurlah di Jakarta Kurnia sempat lulus STM.

Mengapa bus Bengkulu ini bernama Siliwangi?

Zaman itu di penyeberangan Merak-Bakauheni begitu banyak preman. Dalam persaingan antarpreman pun yang kalah pengusaha. Apalagi banyak oknum di dalam preman itu.

Ayah Kurnia cari godfather. Ia pernah menjadi sopir Jenderal Himawan Sutanto. Sudah seperti keluarga. Ketika sang jenderal tugas ke luar negeri pun Kurnia ditawari ikut serta.

Kelak, ketika sang ayah sudah menjadi pengusaha bus, hubungan baik itu sangat berguna. Ia mengadu soal perpremanan di Merak-Bakauheni.

“Beres,” ujar Sang jenderal. “Bilang saja bus itu milik saya,” tambahnya.

Tidak hanya kata-kata. Sang jenderal juga menulis oret-oret: jangan ada yang ganggu bus-bus miliknya.

Himawan lantas meminta agar bus itu ditambah kata Siliwangi di depan nama lamanya. Himawan adalah Pangdam Siliwangi. Jadilah Siliwangi Antar Nusa (SAN). Tanpa sang jenderal benar-benar memilikinya. Sampai sekarang.

Bus Siliwangi pun tidak disentuh preman. Kurnia menjaga perusahaan itu sebagai generasi kedua. Perubahan demi perubahan ia lakukan.

Salah satu perubahan pelayanan ”zaman baru” adalah begini: misalkan bus itu mogok. Lalu dipinggirkan. Penumpang tidak perlu berlama-lama berdiri di pinggir jalan yang pengap. Perusahaan mendatangkan mobil jemputan. Penumpang diangkut ke tempat yang layak. Bisa ke fasilitas umum, ke masjid atau depot terdekat. Atas biaya perusahaan.

AC adalah mutlak. Tempat duduk yang bisa di-deglak-kan juga wajib. Plus toilet. Video. Jangan sampai tidak ada: colokan listrik untuk charging handphone.

Meski bukan yang terbesar, Kurnia dipilih menjadi ketua umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI). Anggotanya adalah generasi kedua para pengusaha bus. Mereka membangun website. Mereka menjadi satu network yang saling mendukung.

Di dalam IPOMI (berdiri tahun 2012), tergabung sekitar 30 pengusaha muda. Yang terbesar adalah Sinar Jaya: 1.200 bus. Ada lagi nama Rosalia Indah, Gra Mas, dan NPM. Bus mereka kisaran 200 sampai 400 buah.

Ketika menyebut nama NPM dahi saya mengerut. Saya seperti sering melihat bus dengan nama itu. Saya penasaran. Singkatan apa NPM itu. Ternyata itu sebuah seruan: Naikilah Perusahaan Minang. Lupakan kenaikan harga BBM –kalau bisa. (Dahlan Iskan)
sumber: pojoksatu

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.